Opini

Harlah Organisasi Kuda Lumping

Kamis, 16 April 2020 | 13:16 WIB

Harlah Organisasi Kuda Lumping

Peringatan hari lahir ke-60 PMII. (Foto: NOJ/istimewa)

Oleh: Muchammad Toha

 

Tepat sekarang ini hari lahir Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) diperingati, sebagai organisasi mahasiswa Nahdlatul Ulama yang terlibat secara aktif di berbagai peristiwa dalam percaturan politik di Indonesia. Kehadirannya cukup mewarnai perjalanan sejarah panjang negeri tercinta ini, kendati pun tidak semua mahasiswa NU berada dalam wadah PMII. Namun sejarah telah mencatat dan masyarakat telah memaklumi bahwa PMII lah organisasi yang benar-benar lahir dari organisasi keagamaan terbesar yang berbasis pesantren ini.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Sehingga yang sering disaksikan adalah pesantren begitu getol dalam membantu tumbuh kembangnya pengkaderan PMII, maka tidak heran bila acara pelatihan dan kegiatan pencerdasan sering diselenggarakan di pesantren. Namun faktanya, ada pesantren yang tidak familier, terlepas karena keluarga besarnya tidak pernah terlibat di PMII atau para pembisik yang tidak sedikit pun menaruh simpati pada PMII. Namun kenyataan ini benar-benar ada dan terjadi.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Sebagai salah satu majelis pembina cabang pada waktu itu, penulis sempat bingung karena adanya beberapa mahasiwa yang datang ke rumah dan berkeluh kesah bahwa mahasiswa yang aktif di PMII dikenai sanksi dan bahkan ada yang dikeluarkan. Dan yang lebih membingungkan lagi pada penulis adalah tokoh pemangku pesantren tersebut termasuk kiai pejuang di kalangan NU dan menduduki jabatan struktural di tingkat cabang maupun wilayah. 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Sebagai santri, tidak mungkin penulis berani ngeluruk (hadir) memaksa mengubah sikap keputusan kiai. Yang bisa penulis lakukan adalah berkomunikasi dengan person yang dekat kiai dan akhirnya mendapat solusi terbaik yaitu mahasiswa dikeluarkan tapi tetap dibantu untuk pindah ke pesantren lain dan akhirnya semua dapat dinyatakan lulus sarjana walaupun dari perguruan tinggi di pesantren berbeda.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Berangkat dari kejadian di atas ada beberapa hal yang perlu dicatat di kalangan mahasiswa aktivis PMII, bahwa untuk menjadi seorang aktivis tidak harus menanggalkan kesantriannya dan meninggalkan tradisi yang mengiringi ibadah. Maka seharusnya tidak terjadi pada mahasiswa aktifis PMII setelah membaca Das Kapital atau khatam dalam memahami Madilog, kemudian membangga banggakan hingga sundul langit dan melupakan kitab pesantren yang telah dikaji bertahun-tahun.

 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Padahal sejujurnya PMII adalah pencetak kader unggul yang bisa membahasakan posisi dan hubungan agama, politik dan sosial budaya pada masyarakat Indonesia. Dasar keunggulan itu adalah umumnya kader PMII berasal dari pesantren atau lembaga pendidikan keagamaan, tentunya memiliki pemahaman agama yang lumayan mapan dibandingkan mereka yang hanya studi di lembaga umum.

 

Lalu ketika bergumul mendapat tambahan ilmu pergerakan, analisis sosial dan politik yang lebih mendalam, tentunya akan muncul dan melesat dari kawah candradimuka PMII para satria muda yang tidak tedas tapak paluning gerinda, yang membedakan dua benda laksana keris dan jemparing anak panah. Tapi justru sebaliknya, menyatukan dua senjata yaitu laksana bayonet dan laras panjangnya.

 

Kiranya ini penting dipahami para kader sekarang, sehingga tidak elok bila telah menyatakan diri sebagai aktivis PMII yang telah mengkaji berbagai teori sosial kemudian kendor dalam kegiatan keagamaan. Aktif di seminar, kajian dan sarasehan, tapi mulai agak susah hadir di tahlilan, manaqiban, ratiban atau istighosahan. Padahal kegiatan tersebut menjadi ciri khas NU yang bukan saja untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tapi juga sebagai penjagaan terhadap umat yang sekarang sedang menghadapi rongrongan dari kalangan yang sangat bernafsu untuk menghilangkan amaliah itu semua.     

 

Maka tidak heran bila yang dulu masyarakatnya ijo royo-royo kemudian berubah menjadi ijo loyo-loyo.  Hal tersebut karena salah satu sebabnya kader PMII yang lumayan paham agama, kini lebih aktif mengkaji teori-teori baru yang lebih mengasyikkan walau kadang sangat beresiko. Dan umatnya yang setia menunggu kehadirannya dan tak kunjung tiba akhirnya diasuh oleh mereka yang adanya tiba-tiba dan pandainya mencela dan menyalah-nyalahkan amaliah para ulama ikhlas yang memiliki saham besar dalam mencapai Indonesia merdeka.

 

Demikian juga yang terjadi di beberapa perguruan tinggi umum, kehadiran mahasiswa baru akan menjadi rebutan para aktivis organisasi mahasiswa intra maupun ekstra kampus. Berbagai cara dilakukan agar mahasiswa baru ikut dalam organisasi mereka, mulai membantu mencari kos sampai memberikan kursusu dan sebagainya.

 

Namun yang terjadi, kader PMII kadang justru terlalu baik dalam mengukur kemampuan para mahasiswa baru yang datang dari pelosok daerah dengan pemahaman agama yang berbeda, alias menyamakan pemahaman agama mereka dengan dirinya. Sehingga dalam merekrut calon kader, para aktivis mahasiswa PMII lebih menonjolkan menu-menu yang sedang digandrunginya (bukan agama), padahal mahasiswa baru yang masuk sedang haus belajar agama. Sementara mahasiswa PMII telah mempelajarinya sejak balita sampai belia.

 

Akhirnya para mahasiswa baru luluh hatinya bergelayut pada mereka yang menyodorkan peningkatan pemahaman agama karena mereka tahu yang dibutuhkan masih pada tataran belajar membaca kitab suci, kisah tentang sahabat Nabi. Lalu pada tahapan berikutnya dikenalkan cara berbusana dan bagaimana sapaan yang benar menurut agama sesuai pemahaman mereka yang mengajari.

 

Maka ketika libur semester pertama dalam kuliah, mahasiswa baru ini pulang dengan busana yang berbeda, dulu rambutnya awut-awutan menjuntai bagaikan ekor kuda di hutan belantara menjadi tertutup rapat sampai bawah dada dan tidak kelihatan tangannya. Sementara mahasiswa prianya yang dulu berangkat dengan penampilan kusam menjadi rapi. Yang dulu rambutnya panjang menjadi rambut dagunya yang panjang. Dulu berangkat celanya robek rowak-rawek berubah menjadi rapi walau panjangnya agak dikurangi.

 

Melihat perubahan ini pasti orang tua dan keluarga yang sama sedang belajar agama senang dan bangga luar biasa. Luapan gembira yang tiada tara sampai melupakan anaknya yang baru pulang kuliah ternyata sekarang tidak akrab lagi dengan tetangga dengan aneka tradisi budayanya. Bahkan pada akhirnya seluruh keluarga terpengaruh dan rela mengambil pilihan hidup yang berbeda dengan mayoritas masyarakat sekitar karena telah merasa paling benar dan paling tahu tentang agama.

 

Sebaliknya mahasiswa aktivis PMII yang dulu santun, berkopyah, bersarung, rajin marhaban dan istighosah, tiba-tiba berubah menghadap kiai tanpa tutup kepala, bahasanya jadi keras memekak telinga karena mungkin terlalu lama aksi di jalan raya. Dulu yang selalu bersarung ke mana-mana, lalu busana itu berubah terbelah tengahnya menjadi celana. 

 

Itu tidak masalah, tapi yang kurang pantas adalah sobeknya di mana-mana dari lutut sampai pantatnya, megaphone toa dikempit ke mana-mana sedangkan tasbih tidak pernah disentuh. Sehingga cukup beralasan ketika ada seorang kiai yang sedih melihat kader PMII seperti ini. Sementara masyarakat butuh kehadiran kader-kader unggul dalam ilmu agama dan memahami tentang tradisi dan budaya dengan berwajah dan berbudaya santri.

 

Maka, di hari ulang tahunnya yang ke-60 ini momen di mana kader harus menyadarkan dirinya bahwa PMII ini adalah organisasi yang membawa mulia dan membawa berkah. Dengan bergabung lewat PMII, yang tadinya bukan siapa-siapa dan tidak kenal siapa-siapa menjadi kenal dan diperhitungkan siapa saja dan akan menambah kemuliaan. Dengan menjadi bagian dari PMII yang dulu tidak mungkin bisa diraih tanpa besarnya rupiah berubah tanpa biaya, maka tidak heran bila kader-kadernya menuai sukses dalam berbagai karier dan bidangnya. Ini artinya membawa berkah.

 

Sebagai penutup di hari bahagia kelahirannya, mari rawat dan jaga PMII sehingga tidak seperti kuda lumping dijepit dan dibawa tampil ke mana-mana tapi tidak ada perawatannya. Pemain lonjak-lonjak tanpa membawa apa-apa, pasti dianggap orang gila. Maka kehadiran kuda lumping itulah sehingga masyarakat tahu apa dan siapa si penari sekaligus mengenal nama atraksinya walaupun pada awalnya tidak mengenal sang pemain.

 

Aktivis PMII, alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

ADVERTISEMENT BY ANYMIND


Terkait