Zainal Arifin
Penulis
Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan cermin pembentuk identitas dan arah gerak masa depan. Di tengah pergeseran sosial dan religius yang terjadi di Indonesia, penting untuk kembali menoleh pada momen-momen penting dalam perjalanan umat Islam yang memberi inspirasi.
Salah satu babak krusial itu adalah terbentuknya Komite Hijaz oleh Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Inisiatif ini bukan hanya sebuah peristiwa sejarah diplomatik, tapi juga representasi nyata dari cara Islam Nusantara mengambil peran global dengan santun, bijak, dan berakar pada warisan Ahlussunnah wal Jamaah.
Konteks saat itu cukup kompleks. Kerajaan Hijaz (Arab Saudi) berada dalam proses penguasaan oleh kekuatan baru, yakni Dinasti Saud yang berpaham Wahhabi. Kekhawatiran pun merebak di kalangan ulama dunia, termasuk ulama Nusantara, terhadap kemungkinan dihancurkannya situs-situs bersejarah Islam seperti makam Nabi dan para sahabat.
Dalam suasana penuh kecemasan inilah, NU tampil sebagai penjaga tradisi dan peradaban Islam, dengan mengutus delegasi resmi ke Tanah Suci untuk berdialog langsung dengan Raja Abdul Aziz ibn Saud.
Komite Hijaz menjadi bukti betapa ulama Indonesia bukan hanya pengampu lokalitas, tetapi aktor global yang mampu tampil elegan dalam percaturan Islam internasional. Dalam suasana dunia Islam yang kala itu cenderung berkonflik, delegasi NU justru memilih jalan damai dan pendekatan hikmah, sebagaimana firman Allah:
ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
Komite Hijaz: Diplomasi Ulama, Penjaga Tradisi
Perjalanan Komite Hijaz merupakan penanda kuat bahwa diplomasi bukanlah monopoli negara-negara modern, melainkan juga warisan dari ulama tradisional yang paham medan dan mampu membaca zaman. Delegasi NU yang diketuai KH Abdul Wahab Chasbullah membawa pesan penting: Islam tidak tunggal, dan perbedaan mazhab adalah bagian dari kekayaan umat, bukan alasan untuk saling meniadakan.
Saat Raja Abdul Aziz menerima delegasi tersebut, NU menyampaikan permohonan agar mazhab Ahlussunnah wal Jamaah tetap diakui dan situs-situs Islam klasik tidak dimusnahkan. Hasilnya sangat strategis: pemerintah Hijaz mengakui eksistensi mazhab empat, termasuk Asy’ariyah dan Maturidiyah yang dianut mayoritas umat Islam dunia. Ini bukan kemenangan diplomatik semata, melainkan penegasan bahwa jalan damai mampu menghindarkan umat dari konflik horizontal yang tidak perlu.
Inisiatif ini juga menandai lahirnya NU sebagai organisasi yang memiliki visi keummatan melampaui batas negara. NU tidak hanya berdiri untuk kepentingan internal Indonesia, tetapi juga bertanggung jawab atas kelangsungan nilai-nilai wasathiyah dalam tubuh umat Islam sedunia. Ini selaras dengan sabda Nabi:
خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ، وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ
Artinya: "Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan mereka mendoakan kalian." (HR. Muslim).
Jejak Komite Hijaz membentuk DNA NU sebagai penjaga harmoni antara agama dan peradaban. Ini menjadi warisan penting bagi generasi sekarang dalam menghadapi era yang diwarnai ekstrimisme serta tuntutan homogenisasi agama.
Islam Nusantara: Warisan Komite Hijaz dalam Bingkai NKRI
Konsep Islam Nusantara bukanlah produk baru yang muncul tiba-tiba. Ia merupakan hasil dialektika panjang antara Islam sebagai ajaran universal dan realitas kebudayaan lokal yang kaya. Komite Hijaz adalah manifestasi awal dari cara Islam Nusantara menyikapi perbedaan dengan pendekatan kasih sayang, bukan kebencian. NU sebagai lokomotif Islam Nusantara sejak awal menegaskan bahwa Islam bisa akrab dengan tanah air, bukan menjadi musuhnya.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini menumbuhkan tradisi keagamaan yang bersanding erat dengan nasionalisme. NU selalu menegaskan bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari iman. Inilah yang mendorong KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 yang menjadi dasar perlawanan umat Islam terhadap penjajah. Sebab dalam pandangan ulama NU, menjaga tanah air sama dengan menjaga maqashid syariah, yakni menjaga jiwa, agama, akal, harta, dan keturunan.
Konsep kebangsaan dalam NU tidak berdiri sendiri, tetapi bersumber dari kaidah-kaidah fikih yang kuat. Di antaranya:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: "Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan."
Islam Nusantara tidak merasa terancam oleh tradisi lokal. Justru ia merangkul dan mensucikan tradisi dengan pendekatan tauhid. Tahlilan, maulidan, ziarah kubur, dan amaliah lainnya bukanlah bentuk bid’ah tercela, melainkan manifestasi dari kecintaan umat terhadap Nabi dan para wali. Hal ini juga menjadi identitas NU sebagai penjaga peradaban Islam yang ramah, bukan marah.
Dengan semangat yang dibawa dari Komite Hijaz, NU meneguhkan diri sebagai penyeimbang antara iman dan kebangsaan. Ia tidak tunduk pada politik identitas yang sempit, dan tidak pula larut dalam sekularisme liberal. Jalan tengah ini dibuktikan dalam sejarah panjang keikutsertaan NU dalam pembangunan bangsa tanpa harus kehilangan akarnya sebagai organisasi keagamaan.
Membaca Tantangan Zaman: Saatnya Komite Hijaz Baru
Indonesia hari ini sedang berada di tengah peradaban yang cepat berubah. Tantangan tidak lagi datang dari penjajah asing, melainkan dari infiltrasi ideologi ekstrem, arus digital yang tidak terbendung, dan kecenderungan masyarakat untuk terpolarisasi oleh isu-isu identitas. Dalam konteks ini, semangat Komite Hijaz layak untuk dibangkitkan kembali, bukan sebagai nostalgia sejarah, tetapi sebagai inspirasi gerakan yang relevan.
Misi Komite Hijaz kini bisa diperluas dalam bentuk partisipasi ulama dan intelektual NU dalam dialog lintas bangsa, kajian lintas agama, serta kontribusi pada isu-isu global seperti perubahan iklim, keadilan sosial, dan etika teknologi. Dunia membutuhkan model Islam yang berakar dan bersifat global. Islam yang tidak eksklusif, tapi tetap memiliki identitas.
Peran santri dan pesantren pun harus diperkuat untuk menjadi garda depan dalam dakwah digital. Santri hari ini bukan hanya harus mahir membaca kitab kuning, tetapi juga mampu mengisi ruang-ruang digital dengan narasi Islam yang rahmatan lil ‘alamin . Sebab sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
Artinya: "Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat yang adil dan pilihan (ummatan wasathan)." (QS. Al-Baqarah: 143).
Semangat berdiplomasi dan menjaga ukhuwah yang dulu diwujudkan lewat Komite Hijaz bisa diadaptasi hari ini dengan membangun sinergi antara ulama, akademisi, dan pemerintah. NU sebagai organisasi besar memiliki kapasitas untuk membentuk gugus kerja lintas isu dan lintas generasi. Inilah tantangan zaman: bagaimana warisan para muassis dihidupkan dalam bentuk baru yang menjawab realitas hari ini.
Penutup
Mengenang Komite Hijaz bukan sekadar menggali sejarah, tetapi membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan. Dari Komite Hijaz, kita belajar bahwa Islam tidak harus keras untuk kuat, tidak harus kaku untuk sah, dan tidak harus seragam untuk benar. NU telah membuktikan bahwa menjaga tradisi adalah bagian dari perjuangan, bukan keterbelakangan.
Islam Nusantara, dengan seluruh dinamikanya, merupakan refleksi keberhasilan integrasi antara iman dan budaya, antara syariat dan kebangsaan. Dan Indonesia sebagai rumah besar umat Islam dunia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga warisan ini tetap hidup, dinamis, dan mampu menjawab tantangan zaman.
Kini saatnya generasi muda NU menyusun “Komite Hijaz” baru dalam berbagai bentuknya: entah itu dalam bentuk lembaga kajian, gerakan literasi, atau forum diplomasi Islam global. Sebab sebagaimana kata pepatah Arab:
من لا ماضي له لا حاضر له
Artinya: "Barangsiapa tidak punya masa lalu, maka ia tidak punya masa kini."
Mari kita jaga warisan itu. Kita rawat nilai-nilainya. Dan kita lanjutkan jalannya. Karena masa depan Islam yang teduh dan Indonesia yang damai bergantung pada sejauh mana kita mampu meneladani jejak para ulama, termasuk jejak langkah Komite Hijaz yang telah mengajarkan kita tentang keteguhan, kebijaksanaan, dan cinta yang tak terbatas pada satu bangsa saja.
Terpopuler
1
Innalillahi, KH Taufik Ketua PCNU Pamekasan Wafat
2
Kronologi Kecelakaan yang Menimpa KH Taufik Hasyim Ketua PCNU Pamekasan
3
Safari Kepulauan, Ketua Ansor Jatim Sapa Kader di Sapeken dan Kangean
4
Jejak Keilmuan KH Mohammad Sholeh: dari Talun ke Makkah
5
Adab dan Doa yang Dianjurkan Dibaca Jamaah Haji saat Pulang ke Tanah Air
6
Peduli Lingkungan, IPNU-IPPNU Ponorogo Tanam Vetiver Demi Konservasi Tanah
Terkini
Lihat Semua