• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Opini

Sistem Pendidikan Nahdlatul Ulama; Menjaga Tradisi Luhur untuk Eksistensi

Sistem Pendidikan Nahdlatul Ulama; Menjaga Tradisi Luhur untuk Eksistensi
Ilustrasi sistem pendidikan NU. (Foto: NOJ/ ISt)
Ilustrasi sistem pendidikan NU. (Foto: NOJ/ ISt)

Oleh: Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah MPdI *)

 

Sebuah sistem memang sangat penting untuk dikembangkan dan dilaksanakan, karena dengan sistem segala sesuatu akan berjalan sesuai dengan kesepakatan yang ada. Sebagai organisasi besar dan sangat khas akhirnya NU akan meluncurkan sistem pendidikan yang selama ini sebenarnya sudah ada dan sangat khas. Sistem pendidikan NU ini sebenarnya sebuah kodifikasi dari sistem-sistem yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat, karena pendidikan NU itu sendiri memang berdiri dari sebuah kemandirian dan keinginan masyarakat untuk mempertahankan nilai-nilai luhur guru dan masyayikh. Tentu, guru dan masyayikh itu sendiri juga bermula dari keinginan mereka untuk menjaga nilai luhur, serta diyakini nilai tersebut langsung bersambung dari ajaran Nabi Muhammad SAW, yang kemudian upaya untuk mempertahankan dan menjaga nilai ini dikenal dengan sistem sanad.

 

Jadi, sistem pendidikan NU sebenarnya ada nilai teologis yang sakral yang ingin diwadahi dan dikodifikasi agar bisa menjadi sistem transformasi nilai yang lebih relevan dengan kondisi zaman. Dalam draft awal Susdik NU pasal 1 disebutkan bahwa Pendidikan Nahdlatul Ulama adalah usaha jamiyah yang mendasar, terencana, dan sistematis untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar pelajar/santri secara aktif mengembangkan potensi dirinya berlandaskan mabda’ Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.

 

Pernyataan tersebut menegaskan bahwa pondasi pendidikan yang diharapkan adalah Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah. Karena memang paham Ahlussunnah wal Jamaah sudah banyak dipakai oleh organisasi Islam lainnya. Akan tetapi NU menegaskan ada Aswaja an-Nahdliyah, karena NU menyadari Islam yang masuk ke bumi Nusantara oleh para wali melalui transformasi yang sangat khas yaitu dengan melalui relung-relung kehidupan masyarakat lokal. Kemudian permata yang ditemukan di dalam relung-relung tersebut dijaga dan diarahkan ke ajaran Tauhid. Model transformasi inilah yang kemudian diyakini oleh para muassis NU untuk bisa dikembangkan dalam sistem pendidikan yang khas.

 

Sistem pendidikan NU ini memang tampaknya dikembangkan untuk penataan kelembagaan yang selama ini di NU agak kompleks. Dalam satu sisi NU ingin melakukan penataan manajemen secara modern, sehingga NU akan memiliki data base yang bagus dan bisa mengelola keuangan secara profesional dan akuntabel. Namun di sisi yang lain NU sendiri berdiri dari para kiai yang secara independen mereka memiliki cara sendiri untuk mengembangkan lembaga yang mereka dirikan. Sehingga ini menjadi semacam benturan kepentingan pengelolaan, dan perlu kearifan para pengembang sistem untuk bisa mewadahi model manajemen yang pas dalam sistem pendidikan NU.

 

Manajemen kelembagaan di dalam sistem pendidikan NU harus mempertimbangkan sentralisasi kiai sebagai figur yang menjalankan sistem kelembagaannya seperti pesantren. Selain sentralisasi kiai juga harus mempertimbangkan manajemen perkumpulan sebagai wadah sebuah organisasi yang di dalamnya ada sistem yang terbuka dan harus dipertanggungjawabkan secara organisasi. Sehingga akan terlihat sistem pendidikan yang baik dan bisa mewadahi kepentingan kiai sebagai sosok otonom yang harus menjalankan sistem pendidikannya menurut model kepemimpinannya.

 

Maka menurut hemat penulis sisdiknas harus memberikan landasan kebebasan akademik pesantren dalam penetapan manajemennya. Akan tetapi harus diikat dalam satu bingkai nilai yang sama yaitu Aswaja, dan itu berlaku mulai dari tingkat dasar, menengah, perguruan tinggi sampai pendidikan pesantren.

 

Pesantren merupakan cikal bakal lembaga pendidikan NU yang mengawali proses transformasi nilai-nilai luhur tersebut. Cukup unik ketika para kiai mengawali pesantren dari mushala, langgar atau masjid sebagai langkah awal bertemunya relasi guru-murid yang kemudian berkembang menjadi sistem pemondokan yang juga berawal dari santri yang datang dari daerah jauh. Kemudian mereka harus istifadah dulu kepada guru di tempat tersebut dengan cara mukim.

 

Dalam draft sisdiknu pasal 1 ayat 19 juga dinyatakan bahwa “Pendidikan pesantren adalah pendidikan Nahdlatul Ulama yang diselenggarakan oleh dan berada di lingkungan pondok pesantren dengan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kekhasan pesantren dengan berbasis kitab kuning atau dirasah Islamiyah dengan pola pendidikan muallimin. Sedangkan pendidikan mu’allimin adalah sistem pendidikan pesantren yang bersifat integratif dengan memadukan ilmu agama Islam dan ilmu umum yang bersifat komprehensif dengan memadukan kegiatan intra, ekstra, maupun kokurikuler.”

 

Sistem tersebut menegaskan bahwa pesantren tidak mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. Para kiai sadar bahwa semua ilmu baik umum atau agama yang dipelajari oleh santri jika diorientasikan untuk mengenal Tuhan, maka hukumnya wajib dituntut. Para kiai biasanya mempersilahkan santrinya jika lulus nanti jadi apa saja silahkan asalkan tetap menjadi orang yang baik dan bermanfaat untuk masyarakat. Doktrin ini menjadikan lulusan pesantren lebih merdeka, karena tidak dituntut untuk berprofesi tertentu seperti di sekolah atau perguruan tinggi pada umumnya.

 

Selain pesantren, NU juga mengembangkan Lembaga Pendidikan Ma’arif NU yang disingkat LP Ma’arif NU, merupakan perangkat departementasi perkumpulan NU yang bertugas melaksanakan kebijakan NU di bidang pendidikan dan pengajaran formal. LP Ma’arif NU ini juga cukup tua berdiri sejak 1929 sebelum kemerdekaan. Sebagaimana pesantren, LP Ma’arif NU juga mengemban amanah sebagai lembaga pendidikan yang menjaga nilai-nilai Aswaja, hanya dengan format yang berbeda, karena dikemas dalam pendidikan formal di sekolah dan madrasah.

 

LP Ma’arif NU sudah meluncurkan lisensi Aswaja melalui Ujian Akhir NU (UAMNU) sehingga siswa yang melaksanakan pendidikannya di LP Ma’arif NU mendapatkan ijazah Ma’arif sebagai salah satu syarat kelulusan siswa yang belajar di sekolah atau madrasah di bawah LP Ma’arif NU. Aswaja ini merupakan core values yang dikembangkan oleh sekolah dan madrasah di bawah naungan LP Ma’arif NU melalui visi dan misi sekolah dan madrasah, capaian pembelajaran lulusannya (CPL), mata pelajaran, proses pembelajaran, sampai evaluasi. Bahkan tidak hanya dikembangkan dalam proses belajar mengajar saja, akan tetapi sampai pengembangan tradisi sekolah dan madrasah. Itu artinya Aswaja sudah menjadi lulusan yang membedakan antara sekolah dan madrasah di bawah naungan LP Ma’arif NU dengan sekolah dan madrasah di luar LP Ma’arif NU.

 

Peranan LP Ma’arif NU yang begitu penting ini sampai dilakukan pengembangan sisdiknu yang tujuannya adalah menjaga tradisi agar eksistensi NU bisa berlanjut melalui wadah lembaga pendidikannya. Mungkin LP Ma’arif NU juga bisa mengusulkan semacam “standarisasi” guru Aswaja agar juga bisa masuk guru yang diakui secara nasional seperti guru negeri lainnya. Karena Aswaja juga merupakan nilai yang selaras dengan gerakan moderasi agama yang sudah dilaksanakan oleh pemerintah. Aswaja merupakan salah satu pilar NU sampai organisasi ini bisa mencintai Tanah Airnya, sangat patuh pada NKRI, dan sudah semestinya pemerintah melakukan recognisi (pengakuan) terhadap guru Aswaja ini.

 

*) Prof Dr Abdul Malik Karim Amrullah MPdI, Ketua PC LP Ma’arif NU Kabupaten Malang dan Guru Besar Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.


Opini Terbaru