Zainal Arifin
Penulis
Konflik Palestina-Israel masih menjadi isu besar yang belum menemukan ujung penyelesaiannya. Bagi umat Islam, Palestina bukan sekadar tanah sengketa, melainkan bagian dari sejarah spiritual, identitas, dan kemanusiaan yang terus disakiti. Namun, realitas dunia Muslim hari ini menunjukkan paradoks. Meski secara lisan banyak negara Muslim menyatakan dukungan terhadap Palestina, secara praksis mereka kerap mengambil langkah-langkah yang justru mengkhianati nilai solidaritas itu.
Fenomena ini makin mencolok saat Iran, salah satu negara yang konsisten menyuarakan dukungan terhadap perjuangan Palestina, tampil di garis terdepan melawan agresi Israel. Alih-alih mendapat dukungan luas dari sesama negara Muslim, Iran justru kerap ditinggalkan, disudutkan, atau dianggap ancaman oleh sebagian besar negara-negara Arab dan Muslim lainnya.
Sikap tersebut memperlihatkan bahwa solidaritas terhadap Palestina semakin lama semakin kehilangan esensi aslinya. Ia tak lagi menjadi panggilan hati nurani dan iman, tetapi lebih sering menjadi alat retoris yang bisa digunakan, ditarik, bahkan dibuang sesuai kepentingan domestik dan aliansi global masing-masing negara.
Isu Palestina kini terjebak dalam pusaran politik internasional dan sentimen sektarian. Bahkan, yang menyedihkan, banyak negara Muslim menjadikan perbedaan mazhab sebagai alasan untuk tidak menyambut atau bahkan menentang dukungan yang diberikan oleh Iran terhadap rakyat Palestina. Di sinilah terlihat betapa dunia Islam masih dikendalikan oleh sekat-sekat lama yang belum juga diurai.
Baca Juga
Gus Dur dan Pembelaannya Atas Palestina
Padahal, apabila ditinjau lebih dalam, dukungan terhadap Palestina semestinya berdiri di atas nilai-nilai universal Islam—yakni keadilan, kebersamaan, dan perlawanan terhadap kezaliman. Ketika nilai-nilai ini dikalahkan oleh kalkulasi politik atau fanatisme mazhab, maka umat Islam telah kehilangan arah kompas perjuangan.
Komitmen Iran dalam Mendukung Palestina
Revolusi Islam Iran tahun 1979 tidak hanya mengguncang geopolitik kawasan Timur Tengah, tetapi juga membawa arah baru dalam sikap terhadap Israel. Sejak saat itu, Iran memposisikan dirinya sebagai pendukung utama perjuangan Palestina. Mereka tidak hanya mengeluarkan pernyataan politik, tetapi juga menyalurkan bantuan nyata kepada kelompok perlawanan yang beroperasi di Palestina dan Lebanon.
Hamas, Jihad Islam, hingga Hizbullah, banyak mendapatkan dukungan Iran, baik dalam bentuk pelatihan militer, pendanaan, maupun bantuan diplomatik. Tindakan ini diambil bukan karena pertimbangan mazhab, sebab banyak dari kelompok ini berhaluan Sunni. Hal itu menunjukkan bahwa bagi Iran, isu Palestina adalah isu keadilan, bukan semata-mata soal identitas keagamaan.
Lebih dari itu, Iran juga memelopori Hari Al-Quds Internasional, sebagai bentuk seruan global agar umat Islam di seluruh dunia tidak melupakan perjuangan rakyat Palestina. Ini bukan sekadar simbolisme, tetapi bagian dari strategi membentuk kesadaran kolektif atas pentingnya pembebasan tanah suci dari cengkeraman penjajahan.
Keberanian Iran dalam bersikap keras terhadap Israel pun bukan tanpa risiko. Negara ini menghadapi berbagai sanksi ekonomi, embargo, dan tekanan dari negara-negara Barat. Namun, komitmen terhadap perjuangan Palestina tetap tak berubah. Mereka memilih jalur sulit demi idealisme yang diyakini.
Sikap ini semakin mencolok ketika dibandingkan dengan negara-negara Arab lainnya yang justru memilih menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dalam bingkai normalisasi yang disebut Abraham Accords. Alih-alih mendukung Palestina, mereka lebih memilih kepentingan ekonomi, keamanan, dan pengaruh politik regional.
Dunia Islam dan Politik Dua Muka
Banyak negara Muslim selama ini menampilkan wajah ganda dalam isu Palestina. Di satu sisi, mereka secara retoris mengecam kekejaman Israel dan menyuarakan dukungan terhadap rakyat Palestina. Namun di sisi lain, mereka menjalankan hubungan diplomatik dan dagang yang erat dengan negara penjajah tersebut.
Bahkan dalam beberapa kasus, negara-negara tersebut menghalangi bantuan atau menyudutkan kelompok perlawanan Palestina hanya karena mereka mendapat dukungan dari Iran. Ini memperlihatkan bagaimana sektarianisme dan kepentingan geopolitik lebih menentukan sikap ketimbang prinsip keadilan dan kemanusiaan yang diajarkan oleh Islam.
Narasi bahwa Iran adalah ancaman bagi kawasan lebih dominan disuarakan ketimbang melihat Iran sebagai sekutu perjuangan. Ancaman itu seringkali tidak didasarkan pada tindakan nyata, melainkan pada asumsi ideologis dan ketakutan terhadap pengaruh mazhab Syiah yang dianggap dapat merusak hegemoni Sunni di dunia Arab.
Retorika yang seolah membela Palestina pun akhirnya kehilangan bobot moralnya. Ketika solidaritas ditimbang berdasarkan siapa yang menyuarakannya, bukan berdasarkan penderitaan yang terjadi, maka keadilan hanya menjadi slogan kosong yang tak punya daya dorong.
Sementara itu, rakyat Palestina terus menderita. Blokade, penindasan, dan perluasan permukiman ilegal oleh Israel terus berjalan. Namun, dunia Muslim justru lebih sibuk mengelola hubungan strategis dan membendung pengaruh Iran daripada benar-benar menyusun kekuatan bersama menghadapi Israel.
Ironisnya, negara yang selama ini dianggap musuh oleh banyak negara Sunni itu justru menjadi satu dari sedikit kekuatan yang secara konsisten berdiri bersama Palestina. Jika dunia Islam serius ingin membebaskan Palestina, mestinya mereka menghargai siapa pun yang berkontribusi, bukan mencurigainya karena perbedaan mazhab.
Sektarianisme dan Warisan Perpecahan
Di balik ketidaksatuan dunia Islam dalam membela Palestina, tersimpan luka lama yang belum kunjung sembuh: sektarianisme. Perpecahan antara Sunni dan Syiah yang berakar dari konflik politik sepeninggal Nabi Muhammad SAW terus diwariskan dan diperparah oleh berbagai kepentingan kekuasaan.
Iran, yang mayoritas penduduknya Syiah, kerap dicurigai bukan karena tindakannya, tetapi karena identitas mazhabnya. Sentimen ini terus dipelihara oleh propaganda politik, media, dan fatwa-fatwa yang menyesatkan, yang mengajarkan umat untuk saling curiga hanya karena berbeda cara pandang.
Padahal, Iran adalah salah satu pusat peradaban tertua di dunia, sekaligus negeri yang sejak berabad-abad lalu melahirkan banyak pemikir dan ulama berpengaruh. Dalam sejarah Islam, Iran tak hanya menjadi simbol keteguhan beragama, tetapi juga pusat keilmuan dan intelektualitas. Nama-nama seperti Ibnu Sina dan Al-Ghazali hingga pemikir modern seperti Murtadha Muthahhari dan Ali Shariati tumbuh dari tanah ini, membawa warisan pengetahuan yang tetap relevan hingga hari ini.
Namun sayangnya, kontribusi intelektual dan spiritual tersebut sering kali diabaikan hanya karena identitas Syiah yang melekat pada bangsa Iran. Akibatnya, sikap terhadap Iran lebih banyak dikendalikan oleh ketakutan historis dan sentimen sektarian, daripada logika objektif atas perannya dalam membela Palestina.
Sektarianisme inilah yang membuat dunia Islam tak pernah benar-benar solid dalam menghadapi Israel. Kekuatan Barat memanfaatkan celah ini untuk menjaga dominasi di Timur Tengah. Selama umat Islam saling mencurigai, maka perjuangan akan mudah dipatahkan. Pecah belah tetap menjadi alat efektif yang terus dipakai hingga hari ini.
Mestinya, Islam yang mengajarkan ukhuwah dan persatuan menjadi benteng atas perpecahan ini. Padahal Islam menekankan kesatuan dan persaudaraan:
"إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ"
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara." (QS. Al-Hujurat: 10)
Nabi juga memperingatkan agar umat Islam tidak saling membunuh setelah beliau wafat, sebagaimana sabdanya:
"لاَ تَرْجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ"
Artinya: “Janganlah kalian kembali kafir, sebagian kalian memukul leher sebagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Namun, jika nasihat-nasihat ini terus diabaikan demi politik dan mazhab, maka penderitaan rakyat Palestina akan terus digunakan sebagai komoditas, bukan perjuangan suci. Sementara itu, mereka yang benar-benar berjuang seperti Iran, malah dijauhi.
Penutup
Konflik Palestina bukan sekadar pertempuran antara dua bangsa. Ia adalah ujian bagi dunia Islam: apakah kita masih memiliki kompas moral untuk membela yang tertindas, atau sudah hanyut dalam pusaran kepentingan dan perpecahan internal.
Iran mungkin tidak sempurna, namun dalam konteks dukungan terhadap Palestina, mereka telah menunjukkan komitmen dan keberanian yang sulit ditandingi. Sayangnya, keteguhan itu lebih banyak dijawab dengan kecurigaan daripada solidaritas.
Jika umat Islam ingin melihat Palestina merdeka, maka syarat utama yang harus dipenuhi adalah bersatu di atas nilai-nilai Islam, bukan di bawah bendera mazhab. Selama kita lebih sibuk mencurigai saudara sendiri daripada melawan penjajah, maka perjuangan ini akan selalu pincang.
Palestina tidak butuh pidato lagi. Mereka butuh solidaritas nyata yang menembus batas politik dan mazhab. Dan dunia Islam, jika benar mengaku sebagai umat yang satu, harus membuktikan bahwa mereka bisa bersatu membela keadilan, tanpa pilih kasih.
Terpopuler
1
Innalillahi, Farida Mawardi Mantan Ketum IPPNU dan Pelopor CBP-KPP Wafat
2
Khutbah Jumat: 4 Penghalang Manusia Dekat dengan Allah
3
Wakil Sekretaris LTNNU Jatim Raih Doktor Kajian Jurnalisme dan Media Islam
4
Menjaga Kemabruran Haji: Antara Kontemplasi Diri dan Keseimbangan Sosial
5
Menlu RI Segera Evakuasi WNI di Iran Akibat Konflik dengan Israel
6
Arina Rosada Nuriyah Terpilih Ketua Kopri PMII Probolinggo, Ini Profilnya
Terkini
Lihat Semua