• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Tokoh

Kisah Sunan Ngudung, Ulama Ahli Perang dari Palestina

Kisah Sunan Ngudung, Ulama Ahli Perang dari Palestina
Sunan Ngudung atau Maulana Utsman Haji. (Foto: NOJ/ laduni.id)
Sunan Ngudung atau Maulana Utsman Haji. (Foto: NOJ/ laduni.id)

Diriwayatkan dalam beberapa sumber yang masyhur, di balik masifnya dakwah Islam di masa Walisongo abad ke 15, ada seorang ulama dari Baitul Maqdis bernama Maulana Utsman Haji atau dikenal Sunan Ngudung. Ia datang mengarungi samudera sehingga sampai ke Ampel Denta, Surabaya.

 

Dari garis silsilah, Sunan Ngudung putra Sultan di Palestina bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha yang melakukan hijrah fi sabilillah hingga ke Jawa. Di Kesultanan Demak diangkat menjadi Panglima Perang. Selain itu, ia seorang Imam Masjid Agung Demak.

 

Dikarenakan pandai berperang, oleh Maulana Rahmat Ali Rahmatullah (Sunan Ampel) direkomendasikan kepada Raja Majapahit untuk menjadi pelatih tentara kerajaan. Setiap kali mendidik militer, banyak sekali anak didiknya menjadi seorang prajurit yang tangguh.

 

Diriwayatkan, ada seorang raja bawahan dari Majapahit bernama Raja Kresna Kapakistan dari Kerajaan Gel Gel, yang sekarang di Kabupaten Karang Asem. Dalam sejarah Dalem Waturenggong dijelaskan, ketika Raja Kresna Kapakistan melakukan kunjungan ke Majapahit, raja memberinya hadiah 60 prajurit terbaik untuk mengawalnya ke Bali. Ternyata, 60 prajurit itu dalam sejarah Dalem Waturenggong di Bali disebutkan semuanya Nyama Selam. Nyama artinya saudara, Selam artinya Islam.

 

Ayahanda Sunan Kudus
Sunan Ngudung dikaruniai anak laki-laki bernama Sayyid Ja’far Shodik yang dikenal dengan Sunan Kudus. Yakni, hasil pernikahan Sunan Ngudung dengan Syarifah Dewi Khadijah (Ny Ageng Manyuran) binti Syarifah Dewi Fatimah (Ny Ageng Malaka) binti Sunan Ampel. Nama Ja’far Shadiq diambil dari nama datuknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah Az Zahra binti Nabi Muhammad SAW.

 

Sunan Kudus merupakan salah satu tokoh penyebar Islam di tanah Jawa yang memiliki pengaruh luas dan signifikan dalam perjuangan dakwah Islam di tanah Jawa. Inskripsi yang menjelaskan sosoknya pada Masjid Al-Aqsha di kota Kudus, Jawa Tengah menekankan dua gelar yang begitu prestisius yakni Syaikhul Islam dan al-Qadhi.

 

Peran Sunan Kudus sebagai Panglima Perang Kesultanan Demak dibuktikan ketika ikut serta menyerang Portugis di Malaka bersama putra mahkota Sultan Pati Unus. Kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus dibuktikan ketika melakukan penyerangan ke jantung Ibu Kota Majapahit Girindra Wardhana.Turut menyertai dalam peperangan ini Sunan Giri, Sunan Bejagung, dan Sunan Gunung Djati.

 

Setelah matahari terbit, perang pun pecah dengan sengit. Dengan adanya pasukan-pasukan khusus dari berbagai wilayah, nampak pasukan Demak tak butuh waktu lama untuk bisa menggempur pasukan Girindra Wardhana. Mereka kocar-kacir banyak yang melarikan diri.

 

Pasukan Demak terus merangsek maju, hingga sampai di Kota Praja Trowulan, hanya saja waktu itu istana sudah dikosongkan. Kegemilangan kepemimpinan militer Sunan Kudus juga mampu dibuktikan dalam upaya pemberantasan gerakan kudeta yang dilakukan oleh Ki Ageng Pengging murid dari Syaikh Siti Jenar yang konon mengajarkan ajaran menyimpang.

 

Sementara itu, selain menjadi komandan militer, atas kedalaman ilmu fiqih dan ketatanegaraan yang dimilikinya, pada masa berdirinya Kesultanan Demak, beliau diminta bersama Sunan Giri untuk menyusun sebuah kitab undang-undang yang akan diterapkan sebagai sumber hukum kesultanan.

 

Dari usaha yang dilakukan kedua tokoh tersebut, maka lahirlah sebuah kitab hukum undang-undang pidana maupun perdata yang disebut “Angger-Angger Suryangalam”. Dari sinilah kemudian Sunan Kudus juga dipercaya sebagai salah satu Qadhi atau Hakim Agung di Kesultanan Demak, hingga akhirnya beliau memutuskan untuk menetap di daerah Kudus dan meletakkan semua jabatan yang beliau emban selama mengabdi kepada Kesultanan Demak.

 

Menara Kudus dan Masjid Al-Aqsa
Ketika Sunan Kudus berdakwah di Kudus, ia membangun masjid. Dikarenakan rindunya terhadap tanah kelahiran, masjidnya diberi nama sama dengan masjid di tanah kelahirannya, masjid suci ketiga umat Islam yakni Masjid Al-Aqsa. Bahkan ada yang meriwayatkan, peletakan batu pertama menggunakan batu dari Baitul Maqdis di Palestina. Masjid Al-Aqsa Menara Qudus dibangun sejak tahun 956 H/ 1549 M.

 

Di samping masjid itu, ia membangun menara yang sangat cantik, bentuknya seperti candi Hindu, kemudian kota tempat beliau tinggal akhirnya diberi nama dengan kota kelahirannya, pada saat itu Baitul Maqdis atau Yerusalem dikenal dalam dunia Islam sebagai kota al-Quds, maka beliau kasih nama kotanya ini sebagai kota al-Quds.

 

Berhubung orang Jawa ketika disuruh membaca qof itu susah, maka kota itu dikenal sebagai Kudus. Jadi kota Kudus ini monumen persaudaraan Indonesia dan Palestina sejak abad ke-15 M.

 

Kota Kudus adalah monumen kerinduan tentang Al-Aqsa. Sebuah kota dengan nama yang sama dengan tempat asal Sunan Ngudung. Bahkan, Kudus merupakan satu-satunya nama tempat yang namanya berasal dari bahasa Arab di seluruh tanah Jawa.

 

Kudus diambil dari nama tempat asal Sunan Kudus yang pada masa itu memang popular di sapa Al-Quds. Maka dalam lisan masyarakat Jawa pada masa itu, disebutlah dengan nama Kudus karena lebih mudah diucapkan.

 

Yang menarik bukan sekadar nama kotanya. Dari segi nama bangunan dan tempat pun dibuat layaknya miniatur di Baitul Maqdis sebagaimana dalam buku Solichin Salam (1977) yang berjudul Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam yang dikutip Dwi Wahyuningsih (2021). Seperti nama Al-Aqsha pada masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus yang senama dengan masjid Al-Aqsha di Baitul Maqdis.

 

Kemudian, nama gunung yang ada di sebelah utara Kota Kudus yang bernama Muria. Jika kita menengok lokasi atau peta di Palestina, ada sebuah bukit karang dengan nama serupa, yakni Moriah yang kelak akan dijadikan sebagai Masjid Umar.

 

Solichin Salam (1977) dalam Dwi Wahyuningsih (2021), penamaan Muria berasal dari nama bukit di Palestina. Menariknya, di atas Gunung Muria tersebut juga didirikan masjid yang pendiri masjid tersebut juga bernama Umar atau lebih tepatnya Umar Said (Sunan Muria) sebagaimana bukit Moriah dengan Masjid Umar yang didirikan Umar ibn Khattab ketika datang ke Baitul Maqdis. Dari deretan fakta ini, tidak aneh rasanya jika kita sebut Kota Kudus sebagai miniatur Baitul Maqdis.

 

Mulai dari nama kota, masjid, hingga gunungnya pun nampaknya memang sengaja disesuaikan dengan kondisi tempat di Baitul Maqdis. Kota Kudus, layaknya sebuah monumen kerinduan tentang Al-Aqsha. Bukan hanya monumen kerinduan Sayyid Ja’far As-Shadiq dengan tanah kelahirannya, namun boleh jadi di masa dewasa ini, juga adalah kerinduan kita sebagai umat muslim terhadap pembebasan Al-Aqsha dari tangan para penjajah Zionis. Wallahu a’lam.

 

*) Raden Wahyu, arkeolog purbakala asal Kudus.


Tokoh Terbaru