Oleh : Panji Muhammad Rifai*
Syekh Zakaria al-Anshari (824–926 H / 1421–1520 M) adalah sosok ulama besar yang dijuluki Syaikhul Islam. Beliau bukan hanya seorang cendekiawan, tetapi juga seorang sufi, hakim, dan penulis produktif yang membentuk arah keilmuan Islam selama berabad-abad, khususnya dalam mazhab Syafi'i. Keilmuannya yang mendalam, sikapnya yang rendah hati, serta dedikasinya yang luar biasa terhadap umat menjadikan beliau sebagai salah satu figur terpenting dalam sejarah Islam.
Syekh Zakaria al-Anshari lahir pada tahun 824 H (1421 M) di Mesir. Beliau berasal dari keluarga sederhana yang memiliki ikatan sejarah dengan kaum Anshar, sahabat Nabi Muhammad dari Madinah, yang menjadi sumber kebanggaannya.
Sejak kecil, Syekh Zakaria menunjukkan minat luar biasa terhadap ilmu. Dengan keterbatasan ekonomi keluarganya, ia tetap berjuang keras untuk menuntut ilmu, sering kali belajar di bawah cahaya lentera dan menjalani kehidupan yang sangat sederhana. Namun, kegigihannya membuahkan hasil. Dalam waktu singkat, ia menjadi salah satu pelajar paling cemerlang di masanya. Ia mempelajari berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih, tafsir, hadis, usul fiqih, tasawuf, dan bahasa Arab, yang kelak menjadi dasar dari karya-karyanya yang monumental.
Pendidikan
Syekh Zakaria al-Anshari belajar di Al-Azhar, yang kala itu merupakan pusat intelektual dunia Islam. Ia mendapat bimbingan dari ulama-ulama besar, seperti: Syekh Ibn Hajar al-Asqalani, pakar hadis yang terkenal. Syekh al-Bulqini, ahli fikih mazhab Syafi'I, Syekh al-Jalal al-Mahalli, seorang ulama tafsir dan fikih yang berpengaruh.
Dari para gurunya, Syekh Zakaria mewarisi tradisi keilmuan yang kuat, yang menggabungkan antara kejelian dalam hukum Islam dan kedalaman spiritualitas. Hal ini menjadikannya seorang ulama multidisiplin yang diakui di berbagai penjuru dunia Islam.
Syekh Zakaria al-Anshari tidak hanya menjadi seorang ulama, tetapi juga seorang qadhi (hakim) di Mesir. Jabatan ini memperkuat pengaruhnya dalam dunia hukum Islam. Namun, yang paling membedakannya adalah cara ia mendidik murid-muridnya. Sebagai guru di Al-Azhar, ia terkenal dengan pendekatannya yang penuh kelembutan, kebijaksanaan, dan perhatian terhadap perkembangan murid-muridnya.Ia juga aktif dalam dunia tasawuf, mengajarkan pentingnya penyucian hati dan akhlak mulia.
Baginya, ilmu tanpa pengamalan hanya akan menjadi beban, sehingga ia selalu menekankan keseimbangan antara ilmu, amal, dan spiritualitas.
Karya-Karyanya
Syekh Zakaria al-Anshari meninggalkan banyak karya penting yang terus menjadi rujukan hingga hari ini. Beberapa karya terbaiknya meliputi:
1. Fathul Wahhab bi Syarhi Manhaj at-Thullab: Kitab ini adalah salah satu teks fikih paling otoritatif dalam mazhab Syafi'i.
2. Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatut Thalibin: Syarah atas karya Imam Nawawi yang membahas fikih secara rinci.
3. Tahrir: Karya monumental dalam usul fiqih yang mendalami prinsip-prinsip dasar hukum Islam.
4. Ihkam al-Hikam: Penjelasan terhadap hikmah-hikmah tasawuf yang ditulis oleh Ibn ‘Ataillah as-Sakandari.
5. Lubb al-Lubab: Sebuah kitab tentang nahwu dan balaghah, menunjukkan keahliannya dalam bahasa Arab.
Kontribusi Pemikirannya
Syekh Zakaria al-Anshari adalah ulama besar yang dikenal karena kontribusinya yang mendalam dalam berbagai bidang keilmuan Islam. Pemikirannya mencakup fikih, usul fiqih, tasawuf, tafsir, dan pendidikan. Berikut adalah beberapa pemikiran menarik dari beliau:
1. Keseimbangan antara Syariah dan Tasawuf
Syekh Zakaria al-Anshari menekankan pentingnya mengintegrasikan syariah (hukum Islam) dengan tasawuf (spiritualitas). Baginya, seorang Muslim tidak cukup hanya memahami hukum-hukum agama, tetapi juga harus memperdalam penyucian jiwa dan memperbaiki akhlak. Dalam karyanya seperti "Ihkam al-Hikam", ia menjelaskan bahwa tasawuf adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, namun harus selalu berlandaskan syariah.
Ia menyatakan bahwa "ilmu tanpa amal adalah beban, dan amal tanpa ilmu adalah kesesatan." Oleh karena itu, ia mengajarkan bahwa ilmu fikih harus menjadi panduan dalam beribadah, sementara tasawuf memberikan kedalaman spiritual dalam pelaksanaannya.
2. Pentingnya Pemahaman Metodologi Hukum (Usul Fiqih)
Dalam bidang usul fiqih, pemikiran Syekh Zakaria al-Anshari tertuang dalam kitabnya "Tahrir" dan syarahnya, "Ghayah al-Wushul". Ia menekankan pentingnya memahami prinsip-prinsip dasar hukum Islam agar seorang ulama dapat berijtihad dengan benar.
Beliau menyoroti hubungan antara nash (teks suci), ijma' (konsensus ulama), dan qiyas (analogi). Menurutnya, seorang mujtahid harus mampu memadukan ketiga elemen tersebut untuk menghasilkan keputusan hukum yang relevan dan sesuai dengan kebutuhan zaman.
3. Kesederhanaan dalam Pendidikan
Sebagai seorang pendidik, Syekh Zakaria al-Anshari memiliki metode pengajaran yang inklusif. Ia menekankan pentingnya menjelaskan ilmu dengan cara yang sederhana agar dapat dipahami oleh murid dari berbagai latar belakang.
Dalam salah satu karyanya, ia mengatakan bahwa seorang guru harus memiliki sifat sabar, penuh kasih, dan mampu menyesuaikan gaya mengajarnya dengan kemampuan murid. Hal ini membuat banyak muridnya berhasil menjadi ulama besar setelahnya.
4. Fikih yang Adaptif dan Kontekstual
Dalam kitab "Fathul Wahhab bi Syarhi Manhaj at-Thullab", Syekh Zakaria menunjukkan fleksibilitasnya dalam memahami hukum Islam. Ia tidak hanya membahas hukum secara tekstual, tetapi juga memberikan panduan bagaimana hukum dapat diterapkan sesuai dengan konteks masyarakat.
Ia menekankan bahwa tujuan utama syariah adalah maslahah (kemaslahatan umat). Oleh karena itu, hukum Islam harus diterapkan dengan mempertimbangkan manfaat dan mencegah kerusakan.
5. Pentingnya Akhlak dalam Kepemimpinan
Sebagai seorang hakim (qadhi), Syekh Zakaria al-Anshari memberikan perhatian besar pada pentingnya akhlak dalam kepemimpinan. Ia menyatakan bahwa seorang pemimpin, baik dalam pemerintahan maupun keilmuan, harus menjadi teladan dalam keadilan, kesederhanaan, dan ketakwaan.
Ia sering mengingatkan bahwa jabatan bukanlah kehormatan, tetapi amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
6. Bahasa Arab sebagai Alat Keilmuan
Dalam kitabnya "Lubb al-Lubab", ia menunjukkan keahliannya dalam bahasa Arab, khususnya nahwu dan balaghah. Syekh Zakaria percaya bahwa penguasaan bahasa Arab adalah kunci untuk memahami Al-Qur'an dan Sunnah secara mendalam.
Ia menekankan pentingnya mempelajari bahasa Arab dengan metode yang terstruktur agar seorang pelajar dapat memahami nash-nash agama dengan benar dan tidak salah menafsirkan.
Metode Istinbat Hukum
Metode Istinbat Hukum Syekh Zakaria al-Anshari adalah cerminan dari kedalaman pemahaman beliau terhadap sumber-sumber syariah dan keahliannya dalam usul fikih. Sebagai seorang ulama mazhab Syafi’i yang terkenal, Syekh Zakaria memiliki pendekatan sistematis yang tetap relevan hingga saat ini. Berikut adalah beberapa poin menarik terkait metode istinbat hukum beliau:
1. Berpegang Teguh pada Nash (Al-Qur'an dan Sunnah)
Syekh Zakaria al-Anshari sangat menghormati posisi nash sebagai sumber utama hukum Islam. Dalam setiap proses istinbatnya, ia memulai dengan meneliti dalil-dalil dari Al-Qur'an dan hadis. Ia memahami bahwa teks-teks suci ini adalah fondasi dari seluruh hukum Islam dan harus menjadi rujukan pertama.
Namun, beliau tidak hanya berpegang secara literal, tetapi juga mempertimbangkan konteks dan maksud (maqashid) dari ayat atau hadis tersebut. Dalam kitabnya "Tahrir", ia memberikan panduan tentang cara memahami nash dengan menggabungkan pendekatan tekstual dan kontekstual.
2. Mengedepankan Maqashid Syariah
Syekh Zakaria sangat memperhatikan tujuan utama dari syariah, yaitu menjaga lima hal pokok: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta (maqashid syariah). Dalam istinbatnya, beliau menekankan bahwa hukum Islam harus membawa manfaat (maslahah) dan mencegah kerusakan (mafsadah).
Jika terdapat situasi di mana penerapan hukum tekstual bisa menyebabkan kerugian yang lebih besar, beliau menganjurkan untuk mempertimbangkan maslahat yang lebih luas, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.
3. Penggunaan Qiyas (Analogi)
Dalam kondisi di mana tidak ditemukan dalil langsung dari nash, Syekh Zakaria menggunakan qiyas (analogi). Metode ini dilakukan dengan membandingkan suatu kasus baru dengan kasus yang memiliki kesamaan hukum dan illat (alasan hukum) yang jelas.
Dalam kitabnya "Fathul Wahhab", beliau menunjukkan penerapan qiyas secara rinci dalam berbagai persoalan fikih. Misalnya, ia menjelaskan bagaimana menemukan kesamaan illat yang menjadi dasar untuk menentukan kesesuaian antara kasus yang berbeda.
4. Berpegang pada Ijma’ (Konsensus Ulama)
Syekh Zakaria memandang ijma’ sebagai salah satu sumber hukum yang sangat penting. Ia menghormati pendapat para ulama terdahulu, terutama dari mazhab Syafi'i, dan menganggap konsensus mereka sebagai pedoman dalam menghadapi masalah-masalah baru.
Dalam pendekatannya, jika suatu hukum telah disepakati oleh para ulama, maka hukum tersebut harus dijadikan rujukan utama, kecuali ada kebutuhan mendesak yang menuntut reinterpretasi sesuai konteks.
5. Ijtihad dan Kebutuhan Kontekstual
Meskipun sangat menghormati tradisi ulama terdahulu, Syekh Zakaria al-Anshari tidak menutup pintu ijtihad. Beliau percaya bahwa hukum Islam harus mampu menjawab tantangan zaman. Dalam hal ini, beliau menggunakan prinsip istihsan (preferensi hukum yang lebih maslahat) dan istishab (pengandaian keberlanjutan hukum sebelumnya) ketika diperlukan.
Misalnya, dalam menghadapi kasus-kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya, ia mengedepankan penalaran logis yang tetap berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah. "
6. Tata Urutan Sumber Hukum
Syekh Zakaria menetapkan urutan prioritas sumber hukum Islam dalam proses istinbat sebagai berikut:
1. Al-Qur'an: Sebagai sumber utama hukum.
2. Hadis: Sebagai penjelas atau pelengkap hukum yang belum dirinci dalam Al-Qur'an.
3. Ijma': Sebagai konsensus ulama yang mencerminkan kesepakatan umat.
4. Qiyas: Sebagai metode analogi untuk kasus-kasus baru.
5. Istihsan dan Maslahah Mursalah: Sebagai jalan keluar untuk memastikan hukum tetap relevan dan membawa manfaat.
6. Penerapan Prinsip Moderasi
Syekh Zakaria al-Anshari dikenal sebagai ulama yang moderat dalam istinbat hukum. Beliau tidak bersikap kaku terhadap teks, tetapi juga tidak membebaskan interpretasi tanpa batas. Dalam setiap istinbatnya, beliau selalu menjaga keseimbangan antara tekstualitas dan rasionalitas, sehingga hukum yang dihasilkan tetap sesuai dengan kebutuhan umat sekaligus menjaga keaslian ajaran Islam.
Contoh Implementasi dalam karyanya "Fathul Wahhab", Syekh Zakaria memberikan contoh konkret penerapan metode istinbatnya. Salah satu contoh menarik adalah tentang pengelolaan harta wakaf. Ia menjelaskan bahwa meskipun syariah menetapkan aturan dasar tentang wakaf, pengelolaannya harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agar manfaatnya lebih besar. Ini menunjukkan fleksibilitas hukum Islam yang ia anut.
Syekh Zakaria al-Anshari adalah seorang ulama besar yang memiliki banyak murid berbakat, yang kemudian menjadi ulama terkemuka dan menyebarkan ajarannya ke berbagai wilayah. Murid-murid beliau tidak hanya berasal dari Mesir, tetapi juga dari berbagai penjuru dunia Islam.
Secara keseluruhan, pengaruh Syekh Zakaria al-Anshari sangat besar dalam dunia Islam, baik dalam aspek fiqih, tasawuf, maupun pendidikan. Karya-karyanya masih menjadi referensi utama di banyak pesantren dan lembaga pendidikan Islam hingga hari ini.
* Mahasantri Ma'had Aly Al-Falah Ploso Kediri