Mochammad Fuad Nadjib
Penulis
KH Muhammad Anwari Ismail merupakan tokoh ulama kharismatik asal Sidoarjo yang sepanjang hidupnya mendedikasikan diri untuk dakwah, pendidikan, dan perjuangan dalam organisasi Islam, khususnya Nahdlatul Ulama (NU). Kiprah beliau membentang sejak masa penjajahan, kemerdekaan, hingga masa pembangunan, dan jejak perjuangannya masih terus dikenang hingga kini.
Kiai Anwari lahir di Sidoarjo dari pasangan H Ismail dan Malichah (yang kemudian dikenal sebagai Hj Aminah setelah menunaikan ibadah haji), asal Porong. Ia merupakan anak ketiga dari delapan bersaudara, yaitu H Abdulloh Faqih, Abdul Rosyad, KH Muhammad Anwari, Abdul Syakur, Hj Ruqoiyyah, Hj Nunung Maryam, Hj Zuhroh, dan H M Thoha.
Ia menikah dengan Hj Luluk Zumaroh Zainab pada tahun 1970, dan dari pernikahannya tersebut dikaruniai seorang putri bernama Hj Lilik Azkiyah Masruroh. Dalam berbagai kitab yang dikaji, Kiai Anwari terbiasa memberi nama pada kitab-kitabnya. Sebagian diberi nama “Muhammad Anwari Ismail” dan sebagian “Muhammad Anwari bin Ismail.”
Sejak muda, Kiai Anwari telah menunjukkan ketertarikan mendalam terhadap ilmu agama. Untuk memperdalam ilmunya, ia menempuh pendidikan di sejumlah pesantren besar yang menjadi pusat keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia, seperti Pesantren Tebuireng (Jombang), Tremas, dan Lasem. Selama masa mondok, ia sempat satu kamar dengan KH Abdul Hamid Pasuruan, ulama besar yang sangat dihormati. Hubungan ini mencerminkan eratnya jaringan keulamaan di antara para tokoh NU generasi awal.
Sepulang dari pesantren, Kiai Anwari langsung terjun ke dunia pendidikan. Ia tercatat sebagai salah satu guru masa awal di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama Kiai Hasan Mukmin (MINU KH Mukmin) Sidoarjo —yang kala itu dikenal sebagai MI Kuthuk, serta MI Nurul Ummah Celep, Sidoarjo. Namanya tercatat dalam berbagai catatan guru dan dokumen rumah tangga pendidikan sebagai salah satu pengajar utama.
Di rumahnya yang berada di kawasan Celep, ia secara rutin mengajar ngaji untuk anak-anak setiap malam. Selain itu, ia juga mengadakan pengajian khusus pada hari-hari tertentu untuk para kiai dan ustadz, seperti Kiai Rois, Kiai Abdurrahman dari Buduran, serta Ustadz Nashir dari Pucang. Tempatnya mengajar, Langgar Celep, kini telah berkembang menjadi Masjid Al-Hidayah yang tetap melestarikan tradisi pengajian yang dirintis Kiai Anwari.
Ketika masa penjajahan Jepang melarang organisasi keagamaan seperti NU beroperasi secara terbuka, Kiai Anwari bersama tokoh-tokoh NU Sidoarjo tetap menjalankan aktivitas secara sembunyi-sembunyi. Usaha ini membuahkan hasil dengan terbentuknya kepengurusan NU Cabang Sidoarjo pada 29 September 1943. Kala itu, Kiai Anwari menjadi tokoh penting. Pada 9 Februari 1944, NU Sidoarjo resmi mengajukan permohonan legalisasi kepada pemerintah Jepang, dan Kiai Anwari menjabat sebagai pengawas dalam susunan pengurus yang diajukan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, kiprah Kiai Anwari di NU terus berkembang. Ia tercatat pernah berkhidmat di kepengurusan Syuriyah PCNU Sidoarjo (1947 dan 1950), bahkan pada 1954 ia menduduki jabatan strategis sebagai Katib PCNU Sidoarjo.

Sebagai tokoh NU di masa ketika organisasi ini juga menjalankan fungsi politik, Kiai Anwari turut aktif dalam kegiatan partai. Dalam Konferensi Cabang Partai NU tahun 1958, ia terpilih sebagai Katib. Bahkan saat memasuki era Orde Baru, ia masih dipercaya sebagai Rais I NU Cabang Sidoarjo (1970), saat Partai NU mengikuti Pemilu 1971.
Setelah fusi partai-partai Islam menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tahun 1973, Kiai Anwari tetap aktif membina NU sebagai organisasi keagamaan. Ia kemudian menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Sidoarjo (1977–1982) dan Musytasar PCNU Sidoarjo (1983–1986).
Kediaman Kiai Anwari menjadi pusat musyawarah rutin para ulama setiap malam Selasa. Beberapa tokoh yang rutin hadir dalam musyawarah ini antara lain KH Khozin Putat, KH Amin Besuk Jabon, KH Imron Hamzah Sepanjang, KH Alwi Daleman, dan KH Siroj dari Kedungcangkring Jabon.
Kiai Anwari wafat pada 3 Rajab 1403 H atau bertepatan dengan 16 April 1983. Meski telah tiada, dedikasi dan perjuangannya terus dikenang. Berbagai dokumen penting seperti buku ekspedisi, arsip surat masuk, buletin Lailatul Ijtima’ Nahdlatoel Oelama (LINO), hingga bundel kuitansi kegiatan organisasi masih tersimpan rapi sebagai bukti sejarah atas perannya dalam perjuangan Islam dan penguatan NU.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya, dalam peringatan 1 Abad MINU KH Mukmin Sidoarjo pada 8 Februari 2024 lalu, Kiai Anwari dianugerahi penghargaan atas pengabdiannya sebagai pengajar awal dan peletak dasar pendidikan Islam di madrasah tersebut.
KH Muhammad Anwari Ismail adalah potret ulama yang memadukan keilmuan, keikhlasan, dan semangat juang dalam membangun umat. Namanya terpatri dalam sejarah sebagai salah satu pilar penting Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, dan inspirasinya terus hidup dalam ingatan masyarakat. (Diolah dari berbagai sumber)
Terpopuler
1
Innalillahi, Farida Mawardi Mantan Ketum IPPNU dan Pelopor CBP-KPP Wafat
2
Khutbah Jumat: 4 Penghalang Manusia Dekat dengan Allah
3
Wakil Sekretaris LTNNU Jatim Raih Doktor Kajian Jurnalisme dan Media Islam
4
Menjaga Kemabruran Haji: Antara Kontemplasi Diri dan Keseimbangan Sosial
5
Menlu RI Segera Evakuasi WNI di Iran Akibat Konflik dengan Israel
6
Arina Rosada Nuriyah Terpilih Ketua Kopri PMII Probolinggo, Ini Profilnya
Terkini
Lihat Semua