Kisah KH Ali Shodiq, Sosok Pengembara Ilmu dan Pendiri Pondok Ngunut
Rabu, 30 November 2022 | 13:00 WIB

KH Muhammad Ali Shodiq, pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'ien Ngunut Tulungagung. (Foto: NOJ/ Ist)
Madchan Jazuli
Kontributor
Tulungagung, NU Online Jatim
Almaghfurlah KH Muhammad Ali Shodiq merupakan sosok pengembara ilmu dan pendiri Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'ien (PPHM) Ngunut Tulungagung. Masyarakat sekitar akrab memanggilnya dengan Mbah Yai Ali atau Kiai Ali. Ia memiliki sifat tawadhu dan cukup dikenal oleh semua lapisan masyarakat, baik dari pejabat maupun tukang becak.
KH Muhammad Ali Shodiq lahir sekitar tahun 1929 M di Gentengan, lingkungan IV Ngunut. Dilansir dari laman instagram @minan_ali, Kiai AliĀ adalah putra dari Ibu Marci dan Bapak Umman, seorang kusir dokar di masanya. Kedua orang tuanya ini berasal dari Desa Leran Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik.
Diceritakan, ketika Pak Umman mengantarkan santri yang naik dokarnya, ia tidak minta ongkos tambahan bila yang dibayar kurang, bahkan terkadang ia tidak meminta ongkos sepeserpun. Hal ini karena Pak Umman sangat senang dan hormat pada kiai dan santri.
Kehidupan masa kecil Kiai Ali diasuh oleh paman dan bibinya, yakni Pak Tabut dan Ibu Urip yang tinggal di Dusun Olak-Alung, tepatnya di Jalan Raya 1 nomor 34 Ngunut dan sekarang menjadi PPHM pusat atau induk.
Sewaktu kecil, Kiai Ali belajar membaca Al-Qurāan kepada KH Yunus Ngunut Tulungagung. Menginjak usia 14 tahun, ia belajar Ilmu Nahwu kepada Kiai Mahbub Ngunut Tulungagung. Kemudian ia mondok di Pesantren Lirboyo Kediri di usia 15 tahun sekitarĀ setahun lamanya.
Kiai Ali terus melakukan pengembaraan dalam menuntut ilmu. Ia kemudian mondok dan belajar kepada KH Raden Abdul Qodir Munawwir dan KH Ali Ma'sum Pondok Krapyak Yogyakarta untuk belajar Al-Qur'an selama kurang lebih dua tahun.
Selanjutnya, ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Al Hidayah Tertek Pare Kediri asuhan Kiai Juwaini bin Nuh. Di antara kitab yang dipelajari kala itu, yakni kitab Shahih Bukhori, Asbah wa Nadhoir, Jam'ul Jawami', Ihya Ulumiddin dan kitab-kitab lainnya. Setelah dianggap cukup, Kiai Ali lantas kembali ke Pesantren Lirboyo dengan menimba ilmu kepada KH Marzuki Dahlan dan KH Mahrus Ali.
Sewaktu nyantri di Pesantren Lirboyo ia dijodohkan dengan Ibu Hauliyah (setelah menunaikan ibadah haji berganti nama menjadi Nyai Hj Siti Fatimatuzzahro), putri KH Umar Sufyan dari Pondok Pesulukan Baran Kediri. Pada tahun 1961 saat masih berada di Pesantren Lirboyo Kediri, ia pun menikah.
Lima tahun kemudian, tepatnya tahun 1966, Kiai Ali diminta mertuanya untuk menetap di Baran. Namun, Kiai Ali terlebih dahulu sowan ke Lirboyo untuk meminta petunjuk kepada KH Marzuki Dahlan dan KH Mahrus Ali.
"Ngunutmu dewe ki openono!" Kata KH Mahrus Ali setelah Kiai Ali menceritakan maksud kedatangannya. Akhirnya, ia memutuskan kembali ke Ngunut pada tahun 1966. Dan jauh sebelum itu, oleh Mbah Ibu Urip telah didirikan sebuah mushala di depan rumah Kiai Ali, yang menjadi cikal bakal Pondok Ngunut.
Penamaan Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi'ien ini diserupakan dengan Pesantren Lirboyo. Hal tersebut sebagai bentuk tafa'ulan atau mengharap keberkahan dan kebesaran dari Pesantren Lirboyo.
Terpopuler
1
Niat dan Keutamaan Puasa Dzulhijjah, Tarwiyah dan Arafah
2
Panduan Praktis Ibadah Kurban: Pengertian, Hukum dan Ketentuannya
3
Konfercab XX, Siti Julaikha Terpilih Ketua IPPNU Kabupaten PasuruanĀ 2025-2027
4
Tingkatkan Kualitas Guru, Pergunu Sidoarjo Gelar Pelatihan Super Teacher 5.0
5
Tim Futsal SMP Nuris Jember Juara 1 Porseni Jember, Pemain Jadi Top Skor
6
Lawan Radikalisme, ISNU di Tulungagung Bedah Buku Pendidikan Islam Moderat
Terkini
Lihat Semua