M Rufait Balya B
Penulis
Safar merupakan bulan kedua dalam penanggalan Hijriah. Di bulan ini tak sedikit orang yang beranggapan merupakan bulan sial yang dipenuhi musibah dan keburukan. Akan tetapi anggapan ini sejatinya sudah dibantah oleh para ulama salaf.
Anggapan akan kesialan bulan Safar ini berangkat dari pemahaman bahwa di bulan Safar, lebih tepatnya hari Rabu terakhir, akan diturunkannya bencana oleh Allah SWT. Dan bencana yang akan turun pada hari itu akan dibagikan untuk sepanjang tahun.
Namun, Rasulullah SAW telah menegaskan untuk menolak anggapan tersebut. Penolakan itu dinyatakan dalam sebuah hadits berikut:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
Artinya: “Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa.” (HR. Bukhari).
Menanggapi hadits di atas, Imam Jalaluddin as-Suyuti mengatakan bahwa tidak ada penularan penyakit yang disebabkan oleh ular (atau sejenis cacing) yang menyerang perut seseorang di bulan Safar. Berikut penjelasannya:
لَا صَفَرَ: وَفِي مَادَّةِ «صَفَر» ذَكَرَ الحَدِيثَ: «لَا عَدْوَى وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ»، فَقَالَ: كَانَتِ العَرَبُ تَزْعُمُ أَنَّ فِي البَطْنِ حَيَّةً يُقَالُ لَهَا الصَّفَرُ تُصِيبُ الإِنسَانَ إِذَا جَاعَ وَتُؤْذِيهِ، وَأَنَّهَا تَعْدِي، فَأَبْطَلَ الإِسْلَامُ ذَلِكَ، وَقِيلَ: أَرَادَ بِهِ النَّسِيءَ الَّذِي كَانُوا يَفْعَلُونَهُ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَهُوَ تَأْخِيرُ المُحَرَّمِ إِلَى صَفَرَ، وَيَجْعَلُونَ صَفَرَ هُوَ الشَّهْرَ الحَرَامَ، فَأَبْطَلَهُ، نِهَايَةٌ.
Artinya, "Tidak ada Safar": Maksudnya, entri kata Safar yang disebutkan dalam hadits: "Tidak ada penularan, tidak ada hamah (burung tanda kesialan), dan tidak ada Safar". As-Suyuti berkata: Dahulu orang-orang Arab mengira bahwa di dalam perut terdapat seekor ular (sejenis cacing) yang disebut as-Safar, yang akan menyerang seseorang ketika lapar dan menyakitinya, serta bahwa ular ini dapat menular, dan Islam membatalkan keyakinan ini. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud Safar adalah an-nasī’, yaitu kebiasaan menunda bulan Muharram ke bulan Safar yang dilakukan pada masa jahiliyah, lalu mereka menjadikan bulan Safar sebagai bulan haram, namun Islam membatalkan praktik itu. (Imam Jalaluddin as-Suyuti, Jam'ul Jawami', [Mesir: Darus Sa'adah/Al-Azhar, 1426 H/ 2005 M], juz 11, halaman 563)
Lebih jauh, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani juga menjelaskan terkait hadits "La Safara", bahwasanya dahulu orang Arab jahiliyah mengharamkan (tidak adanya peperangan) bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharram, dan Islam datang untuk membatalkan paham dan perbuatan tersebut. Keterangan tersebut sebagaimana dijelaskan berikut ini:
وَقِيلَ فِي الصَّفَرِ قَوْلٌ آخَرُ، وَهُوَ أَنَّ المُرَادَ بِهِ شَهْرُ صَفَرَ، وَذَلِكَ أَنَّ العَرَبَ كَانَتْ تُحَرِّمُ صَفَرَ وَتَسْتَحِلُّ المُحَرَّمَ كَمَا تَقَدَّمَ فِي كِتَابِ الحَجِّ، فَجَاءَ الإِسْلَامُ بِرَدِّ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَهُ مِنْ ذَلِكَ، فَلِذَلِكَ قَالَ ﷺ: «لَا صَفَرَ».
Artinya: "Dikatakan bahwa yang dimaksud Safar adalah bulan Safar itu sendiri, karena orang-orang Arab dahulu mengharamkan bulan Safar dan menghalalkan bulan Muharram sebagaimana telah dijelaskan di Kitab Haji. Dan Islam datang untuk membatalkan perbuatan itu, sehingga Nabi SAW bersabda: "La Safar". (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari, [Riyadh: Darus Salam, 2000 M/1421 H], juz 10, halaman 211).
Jadi, pada dasarnya orang Arab jahiliyah pada waktu itu banyak yang menganggap bahwa Safar adalah bulan sial yang penuh musibah, terutama pada hari Rabu terakhir. Ada juga yang beranggapan bahwa Safar diartikan sebagai ular atau cacing dalam perut yang dianggap menular. Dan ada yang memaknainya sebagai an-nasī’ (penundaan bulan Muharram ke Safar) yang dilakukan di masa jahiliyah. Akan tetapi Islam telah membatalkan kedua keyakinan atau praktik ini, sebagaimana sabda Rasulullah SAW di atas.
Maka dari itu, anggapan bahwa Safar adalah bulan sial tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Keyakinan tersebut merupakan warisan tahayul dan kebiasaan jahiliyah dan telah diluruskan oleh Nabi Muhammad SAW. Safar adalah bulan biasa seperti bulan lainnya. Segala musibah atau kebaikan terjadi semata-mata karena ketentuan dan kehendak Allah, bukan karena waktu atau bulan tertentu. Wallahu a'lam.
Terpopuler
1
Inspiratif, Pasutri di Probolinggo Beri Nama 3 Anaknya Pendiri Banom NU
2
KH Miftachul Akhyar: IPNU adalah Dapur Ulama
3
Pesantren Mahika Sidoarjo Gelar Parenting bagi Santri Baru dan Orang Tua
4
Sound Horeg Tak Cukup Fatwa Haram, Negara Harus Bantu Atasi Akar Ekonomi
5
Dosen PPPK Tuntut Kepastian Karier, Ketua ADAPI: Kami Ingin Setara, bukan Diistimewakan
6
M Fakhrul Irfan Syah, Energi Muda NU dalam Kepengurusan PCNU Bojonegoro
Terkini
Lihat Semua