• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Keislaman

Berikut Makna Filosofis Jenang Sapar

Berikut Makna Filosofis Jenang Sapar
Jenang Sappar di bulan Shofar (Foto:NOJ/emadura)
Jenang Sappar di bulan Shofar (Foto:NOJ/emadura)

Jenang Sapar atau di daerah lain juga disebut tajin sapar adalah sebuah hidangan yang umum disajikan saat memasuki Bulan Shofar. Jenang yang mempunyai rasa manis dengan isian beras ketan yang dibentuk bulat ini menjadi tradisi turun temurun sehingga dirasa kurang lengkap jika tidak ada jenang sapar saat memasuki Bulan Shofar.


Rasa Syukur dan Harapan baik dengan sebuah media (Tafa'ul) merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam, seperti memberi nama dengan nama yang baik dengan harapan menular dalam diri seorang anak, atau membuat sebuah simbol seperti jenang sapar sebagai ungkapan syukur dan mengharap kepada Allah agar diberi kehidupan yang manis, dan lain sebagainya seperti yang pernah dilakukan Nabi Nuh selepas Banjir Bandang saat bulan Muharram.


Dalam kitab  Bada`iuzzuhur karangan syeikh Muhammad bin Ahmad bin iyas al-hanafy, halaman 64 disebutkan:


ويروي ان الطيور والوحوش والدواب جميعهم صاموا ذلك اليوم ثم ان نوح اخرج ما بقي معه من الزاد فجمع سبعة اصناف من الحبوب وهي البسلة والعدس والفول والحمص والقمح والشعير والارز فخلط بعضها في بعض وطبخها في ذلك اليوم فصارت الحبوب من ذلك اليوم سنة نوح عليه السلام وهي مستحبة


Artinya: Dan diriwayatkan, seluruh binatang dan hewan yang ikut dalam perahu Nabi Nuh juga melaksanakan puasa. Kemudian Nabi Nuh mengeluarkan sisa perbekalan selama terapung dalam kapal. Kemudian Nabi Nuh mengumpulkan sisa biji-bijian itu, ada tujuh macam jenis biji-bijian dan jumlahnya tidak banyak kemudian disatukan dan dijadikan makanan. dan selanjutnya pada tahun-tahun berikutnya Nabi Nuh dan kaumnya selalu membuat makanan seperti itu, dan ini dianjurkan.


Pada zaman jahiliyah dahulu, Bulan Shofar dianggap bulan kesialan. Namun keyakinan semacam ini sudah dihapus oleh Rasulullah. Andai ada kejadian buruk di dalamnya, maka itu bukan karena bulan Shofar itu sendiri. Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW pernah bersabda: 


لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنْ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنْ الْأَسَدِ


Artinya: Tidak ada 'adwa, thiyarah, hamah, shafar, dan menjauhlah dari orang yang kena penyakit kusta (lepra) sebagaimana kamu menjauh dari singa. (HR Bukhari dan Muslim).


Oleh karena itu, Imam Muhyiddin Yahya bin Syarofuddin An-Nawawi menjelaskan dalam kitab karyanya Bustanul Arifin di bab 115, asal muasal Bulan Sofar dinamakan dengan nama Shofar yang berarti kuning pucat adalah sebagai berikut.


ثم صفر وإنما سموه صفراً لأن الناس قد أصابهم المرض فاصفرت وجوههم فسموه صفراً لصفرة الوجوه فيه، ويقال سمي صفراً لأن إبليس صفر بجنوده حين خرج محرم وحلّ لهم القتال.


Artinya: "kemudian Sofar, dan sesungguhnya mereka menamai bulan tersebut dengan nama Sofar, karena orang-orang ditimpah oleh satu penyakit, lalu memucat wajah-wajah mereka maka mereka menamai bulan itu dengan shofar, karena pucatnya wajah-wajah dibulan itu. Ada satu pendapat, dinamai Sofar, karena sesungguhnya iblis shofaro (bersiul) memanggil bala tentaranya ketika keluar bulan muharram, dan telah dihalalkan perang bagi orang-orang."


Berangkat dari hal itu, Dermawan Setia Budi, seorang Budayawan yang juga Ketua Pengurus Cabang (PC) Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Kabupaten Lumajang menjelaskan, tradisi njenang saparan ini konon berasal dari inisiasi dakwah walisongo sebagai upaya pengenalan Islam melalu tradisi dan budaya yang berkembang saat itu.


"Ada filosofi yang berkembang di masyarakat di jenang Sapar, bulat-bulat yang dari ketan itu mencerminkan sebuah cikal bakal manusia itu sendiri," jelas Budi saat dikonfirmasi NU Online Jatim, Jum'at (02/09/2022).


Budi menambahkan, manusia yang berasal dari hal yang sama meskipun keluar menjadi berbeda-beda akan menjadi manis jika bisa bersatu kembali. Hal itu ditunjukkan bulatan-bulatan beras ketan yang disiram jenang warna coklat tua yang lengket. Sehingga perpaduan tersebut menciptakan rasa khas.


"Itu dapat memberikan sebuah kenikmatan yang tersendiri. Bisa dikatakan persatuan ini adalah sebuah rasa manis yang luar biasa sehingga dalam kehidupan itu memiliki makna tersendiri, diharapkan nanti mampu tumbuh dengan semangat kebersamaan," tandasnya.


Keislaman Terbaru