Keislaman

Etika Muamalah sesuai Tuntunan Rasulullah

Selasa, 8 Juli 2025 | 21:00 WIB

Etika Muamalah sesuai Tuntunan Rasulullah

Ilustrasi muamalah. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Akhir-akhir ini dunia maya kembali diramaikan dengan video viral penganiayaan verbal bahkan fisik terhadap seorang kurir jual beli secara online. Kejadian ini biasanya dipicu oleh ketidaksesuain barang yang dibeli atau kurir agak terlambat mengantarkan pesanan.

 

Memang, kejadian seperti ini bisa menimpa siapa saja, termasuk kita jika tidak memahami bagaimana Islam mengatur etika sebagai pembeli atau pengguna layanan online shop.

 

Kejadian ini seharusnya tidak hanya membuat kita marah atau sekadar berempati pada korban. Lebih dari itu, ini bisa jadi cermin besar: bagaimana cara kita menghadapi ketidakpuasan dalam muamalah? Apakah langsung marah? Menyampaikan kata-kata kasar? Atau bahkan sampai menyakiti fisik orang lain?

 

Terkait hal ini, menghadapi barang yang tidak sesuai, konsumen memang punya hak untuk bertanya, bahkan mengajukan komplain. Dalam Islam ini dikenal dengan istilah khiyar.

 

Pembeli boleh mengajukan komplain bahkan menggagalkan transaksi jual beli yang telah dilakukan apabila konsumen mendapati barang yang dibeli tidak sesuai, karena adanya cacat pada barang.

 

Setidaknya ada empat syarat barang itu boleh dikomplain atau dikembalikan ke penjual. Hal ini berdasarkan keterangan Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Kaf dalam kitab Taqriratus Sadidah, halaman 39-41:

 

1. Cacat barang sejak awal

Yakni, cacat tersebut harus sudah ada pada barang sebelum pembeli menerima barang, karena barang tersebut sebelum diterima masih menjadi tanggungan penjual.

 

2. Pembeli belum (tidak) menggunakan barang

Setelah mengetahui adanya cacat, pembeli tidak boleh menggunakan barang tersebut, meskipun waktu penemuan cacatnya lama. Jika pembeli sudah menggunakannya, meskipun hanya sebentar, maka hak untuk mengembalikan barang menjadi hilang.

 

3. Pengembalian harus segera

Proses pengembalian barang (atau komplain) harus segera secara adatnya. Jika ditunda tanpa uzur, maka hak untuk membatalkan transaksi (khiyar) menjadi batal.

 

4. Cacat masih ada saat pengembalian

Jika cacatnya hilang sebelum pengembalian dilakukan, maka barang tidak dapat dikembalikan. 

 

Berkaitan dengan kurir, bahwa ia hanya menjadi wakil dari penjual. Jadi, jika memang ada kecacatan dalam produk yang dibeli, hendaknya dikembalikan kepada penjual di marketplace (tentu dengan persyaratan dan perjanjian sebelum akad), bukan kepada kurir.

 

Terkait muamalah ini, kita layak melihat tuntunan Nabi Muhammad SAW dalam jual beli. Dalam hal ini, Imam Bukhari merilis bab as-Suhulah was Samahah fil Bai’ was Syirâ’ atau bab gampangan (tidak ribet) dalam jual beli. Imam Bukhari meriwayatkan:

 

عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: رَحِمَ اللهُ رَجُلاً سَمْحاً إِذَا بَاعَ، وَإِذَا اشْتَرَى، وَإِذَا اقْتَضَى. رواه البخاري

 

Artinya: “Diriwayatkan dari Jabir RA, sungguh Rasulullah SAW bersabda: ‘Semoga Allah merahmati orang yang gampangan (tidak ribet) ketika menjual, membeli, dan menagih utang’.” (HR. Al-Bukhari).

 

Terkait hadits di atas, Syekh Hamzah Qosim dalam kitab Minarul Qori Syarh Mukhtashar Shahihul Bukhori menjelaskan sebagai berikut:

 

مَعْنَى الْحَدِيثِ: أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ دَعَا لِكُلِّ مُسْلِمٍ يَلْتَزِمُ بِالسَّمَاحَةِ وَالرِّفْقِ وَحُسْنِ الْمُعَامَلَةِ فِي بَيْعِهِ وَشِرَائِهِ أَنْ يُسْبِغَ اللَّهُ عَلَيْهِ رَحْمَتَهُ وَنِعْمَتَهُ وَفَضْلَهُ وَكَرَمَهُ، وَكَذَلِكَ كُلُّ مَنْ تَسَامَحَ مِنْ إِخْوَانِهِ فِي اقْتِضَاءِ دُيُونِهِ، وَالْمُطَالَبَةِ بِحُقُوقِهِ، فَتَجَاوَزَ عَنِ الْمُوسِرِ، وَأَنْظَرَ الْمُعْسِرَ.

 

Artinya: “Makna hadis, bahwasanya Nabi SAW mendoakan setiap Muslim yang berpegang teguh pada toleransi, kelembutan, dan akhlak mulia dalam praktik jual-belinya, agar Allah melimpahkan rahmat, nikmat, keutamaan, dan karunia-Nya kepadanya. Begitu pula dengan siapa saja yang bersikap toleran terhadap saudara-saudaranya saat menagih utang atau menuntut haknya, lalu memaafkan orang yang mampu namun terlambat, dan memberi tenggang waktu kepada yang kesulitan membayar.” (Syekh Hamzah Qasim, Minarul Qori Syarh Mukhtashar Shahihul Bukhori, [Maktabah Syamilah, tt], juz 3, halaman 258).

 

Dengan sikap seperti inilah yang seharusnya kita bawa saat menghadapi kurir, penjual, pelanggan, atau siapa pun yang bersinggungan dengan hak-hak dalam jual beli. Kita bisa tegas, tetapi tetap lembut. Kita bisa menuntut, tetapi tidak menganiaya.

 

Sebab, sejatinya konflik bisa terjadi kapan saja, tapi tidak semua konflik harus berubah jadi drama. Dalam Islam, menyelesaikan masalah dengan cara baik, memaafkan, atau berdamai justru adalah tanda kekuatan. Allah SWT berfirman:

 

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَاۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ 

 

Artinya: "Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (QS. Asy-Syura [42]: 40).

 

Maka dari itu, dari kejadian viral antara konsumen dan kurir harus menjadi pengingat, bahwa adab dalam komunikasi bukan sekadar sopan santun, tapi bagian dari iman. Kalau Islam mengajarkan kita untuk bersikap sopan santun, bagaimana mungkin kita membenarkan kekerasan kepada sesama.

 

Mari belajar menahan emosi, memilih kata yang baik, dan menyelesaikan permasalahan dengan cara yang diridhai Allah. Karena di balik setiap interaksi, ada pahala, atau dosa yang sedang menunggu. Wallahu a'lam.