• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Minggu, 28 April 2024

Keislaman

Hukum Jual Beli Akun Media Sosial dalam Pandangan Islam, Sahkah?

Hukum Jual Beli Akun Media Sosial dalam Pandangan Islam, Sahkah?
Ilustrasi ragam akun media sosial. (Foto: NOJ/ freepik)
Ilustrasi ragam akun media sosial. (Foto: NOJ/ freepik)

Selain jual beli follower, subscriber, like hingga viewer, dalam kehidupan saat ini juga banyak praktik jual beli akun media sosial. Aktivitas ini biasanya dilakukan oleh beberapa kalangan dengan kepentingan yang beragam, baik untuk pribadi ataupun bagi kepentingan orang banyak semisal untuk jualan maupun untuk komunitas/lembaga tertentu.

 

Hukum jual beli akun media sosial dalam pandangan Islam tidak jauh beda dengan praktik jual beli follower hingga viewer yang dijelaskan pada artikel Hukum Jual Beli Follower, Subscriber, Like dan Viewer dalam Islam. Yakni, disesuaikan dengan bagaimana praktik itu dilakukan dan tujuan jual beli akun media sosial tersebut.

 

Secara tidak langsung, hukum praktik jual beli akun media sosial (termasuk unsur penyusunnya, yakni total pengikut) juga bisa diperinci menurut kategori asal pengikut akun itu dibentuk.

 

1. Jual beli akun resmi
Menjualbelikan akun resmi ini pada dasarnya bisa dipilah menjadi dua, berdasarkan cara mengendalikan akun tersebut. Pertama, jika akun yang dibeli masih bisa dikendalikan oleh pemilik identitas asalnya, maka sifat jual beli akun tersebut merupakan praktik ijarah (endorsment). Hukumnya adalah boleh tanpa khilaf.

 

Kedua, jika akun yang dibeli tersebut tidak bisa dikendalikan oleh pemilik identitas asalnya, maka apabila dalam penggunaannya, akun tersebut masih mengatasnamakan pemilik identitas asal akun, maka dalam kondisi seperti ini secara tidak langsung telah terjadi praktik tadlis (pengelabuan/pemalsuan informasi) disebabkan pemanfaatan identitas orang lain untuk tindakan menguntungkan diri sendiri.

 

Dan apabila dalam penggunaannya tidak mengatasnamakan pihak pemilik identitas asal akun (misalnya dengan mengubah nama akun dan identitas lainnya), maka pembeli telah melakukan tindakan yang merugikan (idlrar) pihak pengikut (follower, subscriber, dan fan). Sebab, pengikut mungkin tidak rela, akun yang ia ikuti tiba-tiba berubah dan berisi konten yang tidak sesuai dengan tujuan awal mengikutinya.

 

Dalam mazhab Syafi’i, setiap tindakan idlrar sehingga bisa dikalkulasi dan dihitung secara matematis, maka tindakan tersebut bisa dituntut ganti rugi. Akan tetapi, jika tidak bisa dikalkulasi, maka tindakan itu tidak bisa dituntut ganti rugi. Pihak subscriber, follower, viewer dan fan, bisa meninggalkan akun dengan jalan meng-unfollow, men-unsubcribe, atau meng-unlike, tanpa adanya ikatan apa pun dengan pihak pembeli akun.

 

2. Jual beli akun dengan pengikut palsu hasil rekayasa mesin
Jika dilihat dari barangnya, pada dasarnya akad jual beli akun semacam ini adalah sah. Akan tetapi pelakunya telah berbuat maksiat, disebabkan adanya kecurangan (ghabn) di balik komponen penyusun harta yang diperjualbelikan (akun) yang muqtadla al-hal-nya (tujuan dasar dari diciptakannya akun) adalah untuk menyampaikan tentang informasi pemilik identitas.

 

Mengakuisisi akun tersebut adalah boleh, akan tetapi ketika akun tersebut dipergunakan untuk menyampaikan informasi, maka informasi tersebut menjadi bersifat najasy (provokasi). Alhasil, pelakunya berdosa. Subscriber, fan, follower, dan viewer yang berasal dari praktik semacam ini menduduki maqam pengelabuan (khadi’ah) sehingga masuk kategori kecurangan.

 

Bagaimana bila tindakan itu tidak disertai dengan praktik akuisisi? Jika pembeli tidak mengakuisi akun yang dibelinya, maka akad jual belinya termasuk akad ijarah. Dan karena di dalam akad itu ada unsur najasy-nya, maka praktik semacam bisa dikategorikan juga sebagai ijarah najasy, sebagai cabang dari jual beli najasy.

 

3. Jual beli akun dengan pengikut yang diperoleh dari hasil beriklan
Menambah jumlah follower, fan, dan subscriber, serta viewer memang bisa dilakukan dengan jalan beriklan. Nyaris semua platform media sosial menyediakan fasilitas ini. Karena fasilitasnya bersifat legal, maka penggunaan fasilitas itu juga bersifat legal.

 

Fungsi periklanan dalam media sosial semacam ini adalah untuk menambah daya jangkau atau tingkat keterlihatan sebuah konten atau akun ke lebih banyak pengguna media sosial, terutama kepada akun yang belum menjadi pengikutnya.

 

Menperjualbelikan akun hasil dari beriklan semacam ini adalah sama kedudukannya dengan kategori jual beli akun resmi, sebagaimana yang telah disinggung di bagian pertama.

 

4. Jual beli akun hasil membobol akun pihak lain
Meski perusahaan platform media sosial sudah menerapkan standar keamanan yang cukup ketat, tapi faktanya kasus pembobolan akun oleh orang lain masih tetap dijumpai. Konsekuensinya, bila pemilik akun tak dapat log in lagi maka akun tersebut sepenuh berada di bawah kendali sang peretas (hacker).

 

Yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah, ternyata pihak pembobol (meng-hack) menyasar pada akun yang memiliki subscriber, fan, dan follower berjumlah besar. Saat akun akun itu berhasil dicuri, banyak hal yang bisa dilakukan oleh sang pembobol, mulai dari memanfaatkannya hingga menjualnya. Apakah jual beli seperti ini merupakan yang disahkan oleh syariat?

 

Jawabnya, sudah barang tentu tidak sah, serta dapat diqiyaskan dengan kasus jual beli barang curian (sirqah). Mengapa demikian? Pertama, akun yang berhasil dibobol oleh hacker tersebut dapat dikategorikan sebagai harta manfaat sebab status “akun” itu sendiri, yang dalam bahasa modernnya masuk dalam kategori rekening. Dan tidak diragukan lagi, bahwa rekening merupakan bagian dari harta dan masuk unsur alat penyimpan harta (hirzun).

 

Karena akun merupakan bagian dari harta, maka tindakan membobol (meng-hack) akun bisa disamakan dengan tindakan mencuri harta orang lain dari tempat penyimpanan (min hirzi mitslihi). Bila harta itu terdiri dari subscriber, like/fan, dan follower, maka mengalihkan kepemilikan atas total pengikut itu kepada pihak lain yang mau membeli, adalah sama dengan menjual hasil barang curian. Alhasil, harta yang didapatkan pun menjadi haram karenanya.

 

Pihak yang membeli pun juga haram membelinya. Apabila pembelinya nekad, maka dia dianggap bersekutu dalam kasus pencurian sehingga bisa dikenai had (sanksi) pidana kasus pencurian dalam syariat.

  

Demikianlah, semoga jawaban singkat ini bisa bermanfaat dalam memberi jawaban atas kegelisahan sejumlah kalangan. Adapun rujukan yang lain dapat mengakses tulisan dengan tema hukum testimoni palsu di kanal Ekonomi Syariah, NU Online. Wallahu a’lam bish shawab.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, Kolomnis Kanal Ekonomi Syariah - NU Online.


Keislaman Terbaru