• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Keislaman

Hukum Jual Beli Follower, Subscriber, Like dan Viewer dalam Islam

Hukum Jual Beli Follower, Subscriber, Like dan Viewer dalam Islam
Hukum Jual Beli Follower, Subscriber, Like dan Viewer dalam Islam. (Foto: NU Online)
Hukum Jual Beli Follower, Subscriber, Like dan Viewer dalam Islam. (Foto: NU Online)

Dewasa ini marak adanya jasa atau jual beli pengikut atau follower akun media sosial tertentu. Tidak hanya follower, jual beli sebagaimana yang dimaksud juga merambah subscriber, like, viewer, dan lainnya. Lantas, bagaimana Hukum Islam memandang praktik yang demikian?

 

Sebelum kita masuk jauh ke dalam telaah fiqih mengenai hukum jual beli follower, like/fan, subscriber, viewer, atau semacamnya maka ada baiknya kita perlu mengetahui terlebih dulu tentang kedudukan keempat hal tersebut, khususnya terkait dengan syarat apakah bisa kesemuanya itu disebut sebagai harta. Mengapa?

 

Sebab, salah satu rukun jual beli adalah bila objek yang dibeli itu memenuhi unsur sebagai harta. Artinya, bisa dikuasai, dimanfaatkan, dan menghendaki adanya ganti rugi bila dirusak oleh seseorang. Inilah nilai penting dari mengetahui duduk masalah hal tersebut.

 

Perlu dipertegas terlebih dahulu bahwa istilah follower, like/fan, dan subscriber  secara umum boleh dikatakan bermakna mirip, yakni “pengikut” atau “pelanggan”. Hanya saja, masing-masing istilah digunakan untuk platform media sosial yang berbeda-beda: follower untuk Twitter, Instagram, Tiktok, dan lainnya; subscriber untuk Youtube, dan like atau fan untuk halaman Facebook (fanpage). Sementara viewer lazim mengacu pada pengertian penonton video di media sosial, dan ini berlaku untuk hampir semua platform.

 

Istilah-istilah tersebut mencerminkan relasi dua akun, yakni antara yang diikuti dan mengikuti; atau antara akun penyedia konten dan pelanggan/penikmat konten. Dua akun tersebut bisa saling mengikuti satu sama lain, bisa juga tidak. Si akun pengikut pun sewaktu-waktu bebas memutus relasi itu dengan, misalnya, unfollow, unsubscribe, atau unlike. Tidak ada kontrak atau kesepakatan apa pun antara dua akun itu. Umumnya, hubungan itu dibangun atas dasar kesukarelaan dari akun satu untuk mengikuti akun lainnya.

 

Akun media sosial merupakan bagian dari pernyataan data diri personal atau lembaga. Di media sosial, seseorang yang memiliki banyak follower, like/fan, subscriber, dan viewer, menandakan dirinya diterima oleh ceruk masyarakat sosial tertentu.

 

Penerimaan berbasis personal semacam ini sering kita namai dengan istilah reputasi, yang kemudian dalam fiqih sering dikategorikan sebagai jah. Jah, dalam perspektif kajian fiqih, termasuk harta manfaat. Sebagai harta manfaat maka jah bisa dijualbelikan atau disewakan dan dinilai sebagai uang. Jadi, follower, fan, dan subscriber  sebagai penyusun jah (reputasi), merupakan yang bisa dijualbelikan dan disewakan/dikontrakkan.

 

Pernyataan ini dijumpai dalam pandangan tiga mazhab terkemuka, yaitu mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Adapun untuk mazhab Syafi’i, jah tidak dianggap sebagai harta. Yang bisa dinyatakan sebagai harta adalah kerja personal yang bisa dinilai berdasar hasil kerjanya atau masa sewanya.

 

Penyerahan harta kepada pihak lain yang dianggap memiliki reputasi baik, umumnya hanya ditegaskan sebagai penyerahan berbasis amanah saja. Alhasil, menurut paradigma mazhab Syafi’i, akunlah yang merupakan harta. Adapun viewer, like, subscriber dan follower, bukan termasuk harta.

 

Dengan demikian, menurut paradigma mazhab Syafi’i, viewer, like, subscriber, dan follower ini, merupakan hal yang tidak bisa dijualbelikan, karena tidak termasuk harta. Di sini letak titik beda antara mazhab Syafi’i dengan tiga mazhab sebelumnya.

 

Like/Fan, Subscriber, dan Follower sebagai Penyusun Akun
Sudah mafhum bahwa like/fan, subscriber, dan follower merupakan bagian dari penyusun suatu akun. Sebutan “akun besar” biasanya merujuk pada besarnya jumlah like/fan, subscriber, dan follower. Semakin besar, semakin dilirik orang, termasuk oleh entitas bisnis tertentu untuk mempromosikan produknya, sebagaimana praktik kerja periklanan atau endorsement yang selama ini biasa kita saksikan di beranda media sosial.

 

Ini secara tidak langsung menegaskan bahwa akun merupakan harta manfaat. Sementara follower, subscriber viewer dan like merupakan komponen penyusun harta manfaat tersebut. Dari mana asal muasal viewer, follower, subscriber, dan like/fan pada sebuah akun media sosial? Sumber datangnya pengikut media sosial itu bisa diklasifikasi sebagai berikut:

 

Pertama, pengikut atau pelanggan datang secara “alamiah”. Akun tersebut memang merupakan akun resmi. Karena popularitas dan familiaritasnya, akun itu diserbu oleh para fans-nya dan akhirnya banyak follower, subscriber, atau fan. Di dunia digital, kategori ini biasa disebut “pengikut organik".

 

Kedua, pengikut itu berasal dari rekayasa teknologi tertentu. Artinya, pengikut yang didatangkan tidak alami atau bahkan tidak nyata. Ia adalah buah dari kerja mesin yang didesain untuk menggelembungkan jumlah angka view, follower, subscriber, atau fan.

 

Ketiga, adakalanya sebuah akun memperoleh follower, subscriber, like/fan, dan viewer melalui jasa periklanan. Misalnya, di Facebook, seseorang bisa mempromosikan fanpage-nya untuk menjangkau segmen masyarakat tertentu. Melalui periklanan yang dirilis secara resmi oleh Facebook, seorang pemilik akun bisa mengatur spread (penyebaran) akunnya, sehingga memungkinkan ia mendapatkan banyak fan baru dan reach yang lebih luas.

  

Keempat, pengikut didapat dari hasil mengambil alih akun orang lain, misalnya melalui peretasan (hacking). Dengan demikian, pengikut tersebut merupakan bawaan dari akun pihak lain yang dicuri.

 

Ustadz Muhammad Syamsudin, M.Ag, adalah Kolomnis Kanal Ekonomi Syariah - NU Online


Keislaman Terbaru