• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 18 April 2024

Keislaman

Hukum Jual Beli Burung Peliharaan

Hukum Jual Beli Burung Peliharaan
Sejumlah burung diperjual belikan. (Foto: NOJ/BGk)
Sejumlah burung diperjual belikan. (Foto: NOJ/BGk)

Saat ini mulai marak kembali penjualan burung peliharaan. Karena demikian menguntungkan secara materi, halaman dan sejumlah sudut rumah dimanfaatkan untuk memeliharan burung. Tujuannya tentu saja akan dijual kalau harganya cocok dan menghasilkan. Bagaimana hukum Islam menyikapi kecenderungan ini?

 

Pada prinsipnya, jual dan beli adalah aktivitas ekonomi yang mubah sejauh aktivitas tersebut memenuhi ketentuan jual beli yang berlaku menurut Islam.

 

Dalam kaitannya dengan jual dan beli burung, ulama fiqih membahasnya dari segi posisi burung berada (dan juga biasanya ikan dalam kitab-kitab fiqih). Ulama fiqih membahas jual beli hewan dari sejauh mana kemampuan penjual menyerahkan produknya kepada pembeli untuk menghindari gharar (jual beli produk yang tidak jelas).

 

Jika burung yang akan dijual berada di luar kandang, ini menjadi problem bagi kalangan ulama fiqih karena penjual diasumsikan tidak berkuasa untuk menyerahkannya kepada pembeli. Sementara tujuan dari jual beli adalah penyerahan produk miliknya kepada konsumen.

 

Dengan demikian, penjual memastikan burung berada di dalam kandang (yang diasumsikan ia kuasa dan sanggup) untuk dapat diserahkannya kepada pembeli. Hal ini disampaikan oleh Imam Al-Mawardi dari Mazahb Syafi’i dalam karyanya sebagai berikut:

 

 فَأَمَّا إِنْ كَانَ الطَّيْرُ فِي بُرْجِ مَالِكِهِ : فَإِنْ كَانَ بَابُ الْبُرْجِ مَفْتُوحًا لَمْ يَجُزْ بَيْعُهُ : لِأَنَّه قَدْ يَقْدِرُ عَلَى الطَّيَرَانِ فَصَارَ فِي حُكْمِ مَا طَارَ ، وَإِنْ كَانَ بَابُ الْبُرْجِ مُغْلَقًا جَازَ بَيْعُهُ لِظُهُورِ الْقُدْرَةِ عَلَيْهِ وَتَسْلِيمِهِ بِالتَّمْكِينِ مِنْهُ فِي بُرْجِهِ ، وَتَمَامِ قَبْضِهِ بِإِخْرَاجِهِ مِنْ بُرْجِهِ

 

Artinya: Adapun jika burung itu di kandang pemiliknya, maka dilihat dulu. Jika pintu kandang terbuka, maka burung tidak boleh dijual karena ia berpotensi terbang. Jadi, status burung itu seperti burung lepas. Tetapi jika pintu kandang tertutup, maka burung itu boleh dijual karena kejelasan kuasa pemilik atas burung, dapat menyerahkannya di dalam kandang, dan sempurna qabadh (serah-terima dalam akad) dari kandangnya. (Al-Mawardi, Al-Hawil Kabir fi Fiqhi Mazhabil Imamis Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1994 M/1414 H], juz V, halaman 327).

 

Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali berpandangan serupa dengan Al-Mawardi. Dalam karyanya, Al-Mughni, Ibnu Qudamah menambahkan bahwa jual beli burung tidak boleh dilanjutkan jika burung harus ditangkap dengan susah dan payah (mungkin di kandang terlalu besar atau di luar kandang) karena (diasumsikan) ketiadaan kemampuan pemiliknya dalam menyerahkan produk itu kepada pembeli. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz VIII: 367).

 

Adapun Ibnul Himam dari Mazhab Hanafi dalam Fathul Qadir mengutip fatwa Qadhi Khan, seseorang boleh menjual burung yang terbang lepas tetapi jinak yang keluar-masuk sarangnya, dan sanggup menangkapnya dengan mudah. Tetapi jika burung jinak itu sulit ditangkap, maka tidak boleh ada aktivitas jual beli.

 

Dari pelbagai keterangan ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa jual beli burung dibolehkan sejauh memenuhi ketentuan dasar aktivitas penjualan, yaitu kemampuan penjual dalam menyerahkan produknya kepada konsumen. Dan tentu saja disarankan untuk menghindari jual beli burung di luar jenis yang dilindungi karena bertentangan dengan hukum positif.


Editor:

Keislaman Terbaru