Sejarah dan Hukum Hormat Bendera Merah Putih dalam Pandangan Islam
Rabu, 6 Agustus 2025 | 16:00 WIB
M Rufait Balya B
Penulis
Setiap tahunnya di bulan Agustus, kita melihat bendera Merah Putih berkibar di sekolah, kantor pemerintahan, bahkan jalanan pedesaan. Begitu juga ketika upacara 17 Agustus banyak yang berdiri tegak, memberi hormat, atau menundukkan kepala sebagai tanda penghormatan.
Sebagian dari kita mungkin melakukannya tanpa banyak bertanya, dan sebagian lainnya penasaran bagaimana pandangan Islam soal menghormati bendera atau simbol negara? Apakah itu sama seperti ibadah? Dan seperti apa dalilnya?
Dalam sejarah Islam, memiliki simbol negara atau suatu golongan (kabilah), baik berupa bendera, lambang, maupun panji —bukanlah hal baru. Bahkan di zaman Rasulullah SAW, kaum Muslimin memiliki liwa’ (bendera) dan rayah (panji perang). Sebagaimana hadits riwayat Said bin Abi Maryam berikut:
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، قَالَ: حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُقَيْلٌ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي ثَعْلَبَةُ بْنُ أَبِي مَالِكٍ القُرَظِيُّ: «أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ الأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، وَكَانَ صَاحِبَ لِوَاءِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، أَرَادَ الحَجَّ فَرَجَّلَ».
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Maryam, ia berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Laits, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku ‘Uqail, dari Ibnu Syihab, ia berkata: Telah mengabarkan kepadaku Tsa‘labah bin Abi Malik al-Qurazhi: ‘Bahwa Qais bin Sa’d al-Anshari RA, yang merupakan pembawa panji Rasulullah SAW, hendak menunaikan haji, lalu ia menyisir (merapikan) rambutnya’."
Syekh Said Ibnu Wahfin al-Qahtani menjelaskan dalam kitab Fiqhu ad-Da’wati fi Shahihil Imami al-Bukhari, bahwasanya ada 3 pelajaran dakwah yang bisa diambil dari hadits makna tersebut, yakni:
:الدِّرَاسَةُ الدَّعَوِيَّةُ لِلْحَدِيثِ: فِي هَذَا الحَدِيثِ دُرُوسٌ وَفَوَائِدُ دَعَوِيَّةٌ، مِنْهَا
أَهَمِّيَّةُ اللِّوَاءِ وَالرَّايَةِ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ.١
مِنْ وَسَائِلِ الدَّعْوَةِ وَأَسْبَابِ النَّصْرِ: إِظْهَارُ القُوَّةِ وَالنَّشَاطِ.٢
مِنْ صِفَاتِ الدَّاعِيَةِ: النَّظَافَةُ.٣
Artinya: "Pelajaran dakwah dari hadis ini; (1) pentingnya panji dan bendera bagi para pejuang di jalan Allah ‘Azza wa Jalla, (2) salah satu sarana dakwah dan sebab kemenangan adalah menampakkan kekuatan dan semangat, dan (3) salah satu sifat penting seorang dai adalah menjaga kebersihan." (Lihat: Said Ibnu Wahfin al-Qahtani, Fiqhu ad-Da‘wati fi Shahihil Imami al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Tanpa tahun, Juz 1, Halaman 589).
Tak sampai di situ, Syekh Said juga melanjutkan penjelasannya bahwa panji dan bendera sangatlah penting untuk suatu pasukan dalam peperangan untuk menampakkan kekuatan dan kerja sama di antara para pasukan, karena pemimpin dikenali melalui panji atau benderanya.
وَالحَدِيثُ عَنْ هَذِهِ الدُّرُوسِ وَالفَوَائِدِ الدَّعَوِيَّةِ عَلَى النَّحْوِ الآتِي
أَوَّلًا: أَهَمِّيَّةُ اللِّوَاءِ وَالرَّايَةِ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: إِنَّ اللِّوَاءَ وَالرَّايَةَ مِنَ الأُمُورِ المُهِمَّةِ فِي الجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى؛ وَلِهَذَا كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَنِي بِذَلِكَ؛ وَقَدْ جَاءَ فِي هَذَا الحَدِيثِ أَنَّ قَيْسَ بْنَ سَعْدٍ الأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ «كَانَ صَاحِبَ لِوَاءِ رَسُولِ اللهِ ﷺ».
ثَانِيًا: مِنْ وَسَائِلِ الدَّعْوَةِ وَأَسْبَابِ النَّصْرِ: إِظْهَارُ القُوَّةِ وَالنَّشَاطِ: دَلَّ هَذَا الحَدِيثُ عَلَى أَنَّ مِنْ وَسَائِلِ الدَّعْوَةِ إِظْهَارَ القُوَّةِ وَالنَّشَاطِ؛ وَقَدْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَسْتَخْدِمُ اللِّوَاءَ وَالرَّايَةَ فِي الحَرْبِ، وَهَذَا فِيهِ إِظْهَارٌ لِلْقُوَّةِ وَالتَّعَاوُنِ بَيْنَ المُجَاهِدِينَ؛ لِأَنَّ القَائِدَ يُعْرَفُ بِحَمْلِ اللِّوَاءِ أَوِ الرَّايَةِ فَيَنْضَمُّ إِلَيْهِ أَصْحَابُهُ، وَيَدْخُلُ الرُّعْبُ فِي قُلُوبِ الأَعْدَاءِ بِإِذْنِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَقَدْ قِيلَ: إِنَّ اللِّوَاءَ هُوَ الرَّايَةُ فَهُمَا مُتَرَادِفَانِ، وَقِيلَ: اللِّوَاءُ أَبْيَضُ، وَرُبَّمَا جُعِلَ فِيهِ الأَسْوَدُ، وَالرَّايَةُ بَيْضَاءُ، وَرُبَّمَا كَانَتْ صَفْرَاءَ.
Artinya: “Pembahasan tentang pelajaran dan manfaat dakwah dari hadis ini adalah sebagai berikut. Pertama, pentingnya panji dan bendera bagi para pejuang di jalan Allah Azza wa Jalla. Panji dan bendera adalah hal penting dalam jihad di jalan Allah SWT. Oleh karena itu, Nabi SAW sangat memperhatikannya. Dalam hadis ini disebutkan bahwa Qais bin Sa’d al-Ansari RA adalah pembawa panji Rasulullah SAW.
Kedua, salah satu sarana dakwah dan sebab kemenangan adalah menampakkan kekuatan dan semangat. Hadis ini menunjukkan bahwa di antara sarana dakwah adalah menampakkan kekuatan dan semangat. Nabi SAW menggunakan panji dan bendera dalam peperangan. Hal ini menampakkan kekuatan dan kerja sama di antara para pejuang, karena pemimpin dikenali melalui panji atau benderanya, sehingga para pengikutnya bergabung dengannya, dan rasa takut pun masuk ke hati musuh-musuh dengan izin Allah Azza wa Jalla. Sebagian ulama mengatakan bahwa panji (liwā’) dan bendera (rāyah) adalah sinonim. Ada pula yang berpendapat, liwā’ berwarna putih dan kadang diberi warna hitam, sedangkan rāyah berwarna putih dan terkadang berwarna kuning. (Lihat: Said Ibnu Wahfin al-Qahtani, Fiqhu ad-Da‘wati fi Shahihil Imami al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Tanpa tahun, Juz 1, Halaman 590).
Maka dari itu, bendera bukanlah hal baru. Ini bahkan sudah menjadi tradisi masyarakat Arab sebelum Islam. Tradisi bendera sebagai salah satu alat efektif untuk mengobarkan semangat masyarakat demi menjaga kedaulatan Tanah Air yang digunakan oleh Rasulullah SAW.
Adapun perihal penghormatan pada bendera dan simbol kenegaraan lainnya tidak bisa dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada makhluk-Nya. Karena penghormatan kepada bendera atau simbol kenegaraan lainnya merupakan bentuk ungkapan rasa cinta dan ungkapan semangat menjaga Tanah Air. Sebagaimana keterangan Syekh Athiyah Shaqr, Mufti Al-Azhar Mesir berikut:
فَتَحِيَّةُ الْعَلَمِ بِالنَّشِيْدِ أَوِ الْإِشَارَةِ بِالْيَدِ فِى وَضْعِ مُعَيَّنٍ إِشْعَارٌ بِالْوَلَاءِ لِلْوَطَنِ وَالاْلِتْفِاَفِ حَوْلَ قِيَادَتِهِ وَالْحِرْصِ عَلَى حِمَايَتِهِ ، وَذَلِكَ لَا يَدْخُلُ فِى مَفْهُوْمِ الْعِبَادَةِ لَهُ ، فَلَيْسَ فِيْهَا صَلَاةٌ وَلَا ذِكْرٌ حَتَّى يُقَالَ : إِنَّهَا بِدْعَةٌ أوَ تَقَرُّبٌ إِلَى غَيْرِ اللهِ
Artinya: "Dengan demikian, menghormat bendera dengan lagu (kebangsaan) atau pun dengan isyarat tangan yang diletakkan di anggota tubuh tertentu (misalnya kepala) adalah bentuk cinta negara, bersatu dalam kepemimpinannya dan komitmen menjaganya. Hal ini tidaklah masuk dalam kategori ibadah, karena di dalamnya tidak ada shalat dan dzikir, sehingga dikatakan: ‘Ini bid’ah atau mendekatkan diri kepada selain Allah’.” (Lihat: Fatawa Darul Ifta' al-Misriyah, juz 10, halaman 221).
Penghormatan terhadap bendera itu bukan karena zat bendera itu sendiri, tetapi lebih pada mengenang mereka yang berkorban untuk kedaulatan suatu Tanah Air. Jadi, bentuk penghormatan kepada bendera sama sekali berbeda dengan penghormatan dalam arti penyembahan. Penghormatan bendera ini sama persis dengan kita menghormati orang alim, orang saleh, orang tua, dan orang-orang yang ramah.
Dan pada akhirnya, bendera hanyalah kain yang nilainya terletak pada makna yang telah kita sepakati bersama. Ia menjadi simbol persatuan, perjuangan, dan identitas bangsa. Selama kita tidak memposisikannya sebagai sesembahan atau bagian dari ritual ibadah, menghormatinya adalah bagian dari etika dan tata krama hidup berbangsa.
Menjadi muslim yang baik bukan berarti menolak simbol negara, tapi bijak menempatkannya. Karena cinta Tanah Air (hubbul wathan) bisa berjalan beriringan dengan cinta agama, selama kita tahu batasnya. Wallahu a’lam.
Terpopuler
1
Pesantren Mahika Sidoarjo Gelar Parenting bagi Santri Baru dan Orang Tua
2
Dosen PPPK Tuntut Kepastian Karier, Ketua ADAPI: Kami Ingin Setara, bukan Diistimewakan
3
Inilah Susunan Pengurus PCNU Bojonegoro Masa Khidmat 2025-2030
4
M Fakhrul Irfan Syah, Energi Muda NU dalam Kepengurusan PCNU Bojonegoro
5
Profil Edo dan Kholisatul Hasanah, Nakhoda PKC PMII Jatim 2025–2027
6
Menko Zulhas Ajak Alumni IPNU Jaga Persatuan Hadapi Tantangan Global
Terkini
Lihat Semua