Bolehkah Merayakan Hari Kemerdekaan menurut Pandangan Islam
Ahad, 10 Agustus 2025 | 13:00 WIB
M Rufait Balya B
Penulis
Setiap 17 Agustus, langit Indonesia dihiasi bendera merah putih yang berkibar megah. Lagu-lagu perjuangan menggema, semangat nasionalisme terasa menyatu dalam setiap kegiatan: upacara, lomba, dan bahkan doa bersama. Namun, tak sedikit dari kalangan Muslim yang bertanya-tanya: bolehkah seorang Muslim ikut merayakan Hari Kemerdekaan?
Pertanyaan ini wajar muncul, terutama bagi mereka masrakat rural yang mungkin awam akan ajaran Islam. Maka mari kita bahas secara jernih dan ilmiah, agar semangat cinta tanah air tidak berbenturan dengan loyalitas kepada agama.
Perlu diketahui, bahwa peringatan hari kemerekaan tidak hanya sebuah euforia dan peringatan tahunan semata. Ini menjadi momen dimana kita sebagai warga Indonesia mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat yang telah Allah berikan berupa kemerdekaan, dengan tegas Allah Ta'ala berfirman:
وَإِذ تَأَذَّنَ رَبُّكُم لَئِن شَكَرتُم لَأَ زِيدَنَّكُم وَلَئِن كَفَرتُم إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Artinya: Ketika Tuhan memberi izin kepada kalian, seandainya kalian bersyukur maka benar-benar akan saya tambahka nikmat kalian dan apabila kalian kufur sesungguhnya siksaku sangatlah pedih. (QS. Ibrahim [14]: 7)
Tak hanya mensyukuri nikmat kemerdekaan, peringatan 17 Agustus juga menjadi pengingat akan pentingnya jiwa nasionalisme terhadap bangsa dan negara. Hal ini telah diajarkan oleh Rasulullah SAW ketika bersabda kepada Kota Makkah,
وَاللَّهِ إِنَّكِ لَخَيْرُ أَرْضِ اللَّهِ وَأَحَبُّ أَرْضِ اللَّهِ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَلَوْلَا أَنِّي أُخْرِجْتُ مِنْكِ مَا خَرَجْتُ
Artinya: Demi Allah, sesungguhnya kamu (kota Makkah, pent) adalah bumi Allah yang terbaik, dan tanah yang paling dicintai oleh Allah, kalau bukan karena aku diusir, maka aku tidak akan keluar darimu. (HR. Ahmad)
Memang dalam Islam terdapat perayaan yang memang ditetapkan secara syariat, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, sebagaimana hadits Nabi SAW riwayat An-Nasa'i dan Ibnu Hibban berikut,
أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: «قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ، وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا، فَقَالَ: قَدْ أَبْدَلَكُمُ اللَّهُ تَعَالَى بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْفِطْرِ، وَيَوْمَ الْأَضْحَى.»
Artinya: Sesungguhnya Anas bin Malik RA. berkata, Nabi Saw datang ke Madinah, dan mereka (penduduknya) memiliki dua hari yang biasa mereka gunakan untuk bermain-main. Maka Rasulullah SAW bersabda: "Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik dari keduanya, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha".
Dari hadits di atas, terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Ada yang melarang perayaan hari selain Idul Fitri dan Idul Adha, setiap hari yang dirayakan selain dua ini adalah bid‘ah. Akan tetapi ulama yang lain membantah pendapat ini, karena hadits ini tidak membatasi hari raya hanya pada dua hari tersebut. Hadits ini hanya menyebutkan keutamaan Idul Fitri dan Idul Adha dibandingkan dengan hari raya masyarakat Madinah pada masa itu, yang mereka warisi dari bangsa Persia, seperti: Hari Nairuz, yaitu awal tahun baru di musim semi, dan Hari Mihrijan, di musim gugur. Sebagaimana dijelaskan oleh an-Nuwairi dalam kitab Nihayaat al-Arab. (Lihat, Fatawa Darul Ifta' al-Misriyah, Maktabah Syamilah, tanpa tahun, juz 10, halaman 160)
Sebagai penutup para ulama Mesir menyimpulkan terkait perayaan selain hari raya yang telah disyariatkan Islam adalah tidak masalah (diperbolehkan) dan bukan termasuk bid'ah yang tercela selama cara dan tujuannya tidak melanggar syariat, seperti keterangan berikut ini:
فَالْخُلَاصَةُ: أنَّ الاحتفالَ بأيَّةِ مُنَاسَبَةٍ طَيِّبَةٍ لا بأسَ به ما دامَ الغرضُ مشروعًا، والأسلوبُ في حدودِ الدين، ولا ضيرَ في تَسْمِيَةِ الاحتفالاتِ بالأعياد، فالعِبْرَةُ بالمسمياتِ لا بالأسماءِ.
Kesimpulannya: Merayakan suatu peringatan atau momen yang baik tidak mengapa, selama tujuannya dibenarkan secara syariat dan caranya tetap dalam batasan-batasan agama. Tidak masalah juga menyebut perayaan itu sebagai 'hari raya' (‘īd), karena yang menjadi tolok ukur adalah hakikat (isi) perayaan tersebut, bukan namanya. (Lihat, Fatawa Darul Ifta' al-Misriyah, Maktabah Syamilah, tanpa tahun, juz 10, halaman 160).
Maka dari itu, perayaan kemerdekaan 17 Agustus dibolehkan dan tidak dihukumi tasyabbuh (menyerupai orang kafir), selama bentuk dan tujuannya tidak menyerupai ritual keagamaan non-Islam. Karena perayaan nasional seperti ini bersifat budaya dan sejarah, bukan agama. Dan tentunya perayaan semacam ini diniatkan sebagai bentuk syukur kepada Allah, serta arus diisi dengan kegiatan positif yang tidak melanggar nilai-nilai syariat.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Mengisi Bulan Kemerdekaan dengan Meneladani Pahlawan
2
Gubernur, Kapolda, dan Pangdam V/Brawijaya Terbitkan Aturan Penggunaan Sound System di Jatim
3
INDEF Kritik Pemblokiran Massal Rekening oleh PPATK, Kebijakan Reaktif yang Rugikan Masyarakat
4
Muslimat NU Kota Pasuruan Siap Garda Terdepan Berdayakan Perempuan dan Anak
5
Prabowo Sebut Stok Cadangan Beras Indonesia Terbesar Sepanjang Sejarah
6
Di Masjid Cheng Hoo, UIN KHAS Jember Perkuat Moderasi Beragama
Terkini
Lihat Semua