NU Online

INDEF Kritik Pemblokiran Massal Rekening oleh PPATK, Kebijakan Reaktif yang Rugikan Masyarakat

Sabtu, 9 Agustus 2025 | 08:00 WIB

INDEF Kritik Pemblokiran Massal Rekening oleh PPATK, Kebijakan Reaktif yang Rugikan Masyarakat

Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras. (Foto: dok. Lakpesdam PBNU)

Surabaya, NU Online Jatim

Kebijakan pemblokiran rekening bank oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kritik tajam dari sejumlah kalangan. 

 

Salah satunya datang dari Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UMKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Izzudin Al Farras yang menilai kebijakan tersebut tidak hanya sembrono tetapi mencerminkan frustrasi pemerintah dalam memberantas judi online.

 

“Ini bukan hal baru. Sudah dilakukan sejak 15 Mei. Tapi baru ramai akhir Juli karena masyarakat baru sadar dampaknya. Ini jelas jadi concern kami di INDEF,” kata Izzudin dalam Diskusi Forum Kramat: PPATK Blokir Massal Rekening: Solusi Hukum atau Risiko Ekonomi? di Lobi PBNU, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Jumat (8/8/2025).

 

Menurut Izzudin tindakan PPATK yang melakukan pemblokiran massal terhadap rekening-rekening tidak aktif menunjukkan dua hal penting: frustrasi pemerintah dalam mengendalikan judi online, dan minimnya pemahaman PPATK terhadap proses bisnis perbankan.

 

"Seolah tidak ada cara lain lagi. Semua rekening yang dianggap menganggur diblokir begitu saja, tanpa analisis mendalam. Padahal tidak semua rekening pasif itu digunakan untuk transaksi judi online," ujarnya.

 

Ia menyebut, ada ibu-ibu yang menabung untuk biaya pendidikan anak, TKI yang menabung dari luar negeri, hingga pengusaha kecil yang menyimpan modal untuk pengembangan usaha semuanya terdampak karena disamaratakan sebagai pelaku judi online.

 

"Ini pendekatan yang keliru. Masyarakat diposisikan sebagai bersalah sampai bisa membuktikan sebaliknya. Harusnya justru negara yang membuktikan siapa yang salah, bukan dibalik," terangnya.

 

Izzudin menekankan bahwa judi online memang harus diberantas. Ia memaparkan lonjakan nilai transaksi judi daring yang sangat tajam dalam lima tahun terakhir: 2020: Rp15 triliun 2021: Rp57 triliun 2022: Rp104 triliun 2023: Rp327 triliun 2024 (hingga pertengahan tahun): Rp399 triliun.

 

"Peningkatannya pesat sekali. Ini bukan sekadar isu ekonomi, tapi juga sudah menjadi masalah sosial dari perceraian, kekerasan rumah tangga, hingga pembunuhan," jelasnya.

 

Namun ia menegaskan bahwa solusi tidak bisa dengan pendekatan brutal seperti pemblokiran massal. 

 

"Ini kebijakan reaktif. Viral dulu, baru direspons. Ini viral-based policy, bukan evidence-based policy," tegasnya.

 

Menurut Izzudin ironisnya Bank Indonesia sejak akhir tahun lalu sudah merilis empat indikator rekening yang berpotensi digunakan untuk transaksi judi online. Pertama, transaksi terjadi cepat dan masif pada malam hingga dini hari. Kedua, jumlah transaksi kecil tapi sering, diikuti transfer besar dalam satu waktu 

 

Ketiga, Nilai transaksi tidak sesuai dengan profil nasabah atau usaha. Keempat, mama merchant atau akun mengandung istilah khas dunia judi (misalnya: Gacor, Zeus, Slot, dll).

 

"Empat indikator ini sangat bisa digunakan oleh PPATK. Tapi anehnya, malah semua rekening pasif disamaratakan dan langsung diblokir. Ini tidak adil dan menyulitkan masyarakat," kata Izzudin.

 

Ia menilai pendekatan semestinya bersifat selektif dan berdasarkan analisis, bukan membebani masyarakat untuk datang ke bank dan menjelaskan bahwa rekening mereka “tidak bersalah”.

 

Pemblokiran rekening tanpa verifikasi berdampak serius, terutama terhadap aktivitas ekonomi masyarakat bawah dan pelaku UMKM. Banyak UMKM memiliki lebih dari satu rekening, salah satunya sengaja dibiarkan pasif untuk tabungan modal usaha masa depan.

 

"Ketika rekening itu diblokir, arus kas terganggu. Mereka jadi kesulitan transaksi, bahkan bisa berhenti beroperasi," kata Izzudin.

 

Ia menambahkan, kebijakan ini juga menciptakan biaya sosial dan ekonomi tambahan bagi masyarakat yang harus datang ke bank, antre, dan mengeluarkan ongkos hanya untuk mengaktifkan kembali rekeningnya.

 

Yang lebih memprihatinkan, menurutnya, adalah ancaman terhadap inklusi keuangan nasional.

 

"Kalau masyarakat mulai takut menyimpan uang di bank, ini bahaya. Bisa menurunkan kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional. Padahal baru sebagian kecil masyarakat Indonesia yang aktif menggunakan rekening bank," ungkapnya.

 

Izzudin menyebut kebijakan ini turut memperparah ketidakpastian hukum, terutama bagi investor.

 

"Investor butuh kepastian. Kalau kebijakan negara bisa berubah hanya karena viral, ini sinyal buruk. Apalagi ini menyangkut urusan uang dan institusi keuangan," tegasnya.

 

Yang paling mengkhawatirkan adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi keuangan.

 

"Trust itu mata uang paling mahal dalam dunia keuangan. Kalau hilang, dampaknya panjang. Pemerintah jangan sampai membuat masyarakat trauma datang ke bank," katanya.

 

INDEF juga menyoroti rencana pemerintah memblokir akun e-wallet yang terindikasi digunakan untuk transaksi judi online. Izzudin mengingatkan agar pendekatan salah kaprah seperti di bank tidak diulangi.

 

"Kalau memang mau blokir akun e-wallet, analisis dulu. Jangan semua disamaratakan. Gunakan indikator-indikator yang kuat, bukan asumsi," jelasnya.

 

Izzudin menyerukan agar pemerintah kembali ke prinsip dasar penegakan hukum. Ia menilai pemerintah terlalu fokus pada kebijakan teknis karena tidak mampu menyentuh aktor besar di balik judi online.

 

"Bos-bos judi itu ada. Di Kamboja, bahkan di Indonesia sendiri. Kalau serius memberantas, tangkap mereka. Jangan cari jalan pintas dengan menyusahkan rakyat kecil," tegasnya.