Menjaga Kemabruran Haji: Antara Kontemplasi Diri dan Keseimbangan Sosial
Rabu, 18 Juni 2025 | 18:00 WIB
Oleh: Abdul Wasik *)
Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang tidak sekadar ritual fisik, melainkan ibadah puncak yang sarat dengan simbol-simbol spiritual, sosial, bahkan peradaban. Rasulullah SAW menyebutkan bahwa haji mabrur adalah haji yang tidak ada balasannya selain surga. Namun, penerimaan ibadah haji bukanlah sesuatu yang bisa diukur dari penampilan lahiriah semata, melainkan dilihat dari buah perbuatan dan perubahan perilaku seseorang selepas kembali dari Tanah Suci.
Imam al-Ghazali, dalam mahakaryanya Ihya’ Ulum al-Din, menjelaskan dengan sangat mendalam bahwa inti dari haji bukan semata ritual manasik yang dilakukan dengan baik di Makkah dan Madinah, melainkan bagaimana pasca ibadah haji, seseorang menjadi pribadi yang lebih baik dalam ibadahnya, lebih rendah hati, lebih peduli kepada sesama, dan semakin bersih dari ketergantungan duniawi. Inilah yang menurut Imam al-Ghazali menjadi tanda-tanda haji mabrur yang sesungguhnya.
Menarik untuk dicermati, dalam kehidupan sosial masyarakat kita, sering kali dijumpai fenomena sebagian jamaah haji yang memilih untuk banyak berdiam diri di rumah selama beberapa minggu bahkan bulan setelah mereka pulang dari Tanah Suci. Mereka mengurangi aktivitas sosial, enggan banyak bepergian, bahkan menolak undangan yang sekiranya membawa mereka kembali ke keramaian. Walau tidak ada perintah syariat khusus yang mewajibkan hal ini, fenomena ini muncul dari kegelisahan spiritual yang justru lahir dari niat baik.
Sebagian jamaah menyadari, godaan dunia sangat besar. Ketika kembali berinteraksi dalam kehidupan sosial, berbagai ujian muncul: mulai dari godaan lisan dalam bentuk gibah, fitnah, debat kusir, hingga urusan bisnis yang rentan dengan kecurangan. Semua itu dikhawatirkan dapat mengurangi kesucian hati dan kemurnian niat yang telah mereka bangun selama berhaji. Maka, untuk menjaga kemabruran, mereka memilih membatasi diri dalam pergaulan.
Dalam perspektif tasawuf, sikap ini berkaitan dengan maqam khauf (rasa takut kepada Allah) dan wara’ (kehati-hatian tinggi untuk menjauhi maksiat dan syubhat). Semakin tinggi kedekatan seseorang dengan Allah, semakin sensitif pula dirinya terhadap dosa-dosa kecil yang dahulu mungkin dianggap sepele. Maka kehati-hatian ini mendorong mereka mengurangi interaksi sosial, karena takut jatuh ke dalam kemaksiatan yang bisa merusak pahala hajinya.
Namun, di sisi lain, ajaran Islam justru mendorong keseimbangan hidup. Menjaga kemabruran bukan berarti menarik diri total dari kehidupan sosial. Justru sebaliknya, setelah menunaikan haji, seorang muslim diharapkan menjadi pribadi yang lebih bermanfaat bagi lingkungannya. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” Dengan demikian, menjaga kemabruran adalah bagaimana seseorang tetap istiqamah dalam beribadah, sekaligus aktif terlibat dalam perbaikan sosial.
Fenomena pengasingan diri ini, jika tidak dibimbing dengan pemahaman yang komprehensif, justru berpotensi menimbulkan problem sosial baru. Mengisolasi diri bisa menimbulkan kesan eksklusif, bahkan mengabaikan tanggung jawab sosial yang besar. Padahal, tantangan menjaga kemabruran haji yang sejati justru terletak dalam kemampuan seseorang istiqamah di tengah hiruk pikuk dunia, tetap menjaga lisan, menahan diri dari syahwat, menebar manfaat di tengah masyarakat, serta menguatkan kontribusi dalam pembangunan umat.
Oleh karena itu, pembinaan pasca haji menjadi sangat penting. Lembaga keagamaan, ormas Islam, pemerintah, bahkan para pembimbing haji hendaknya mengajarkan bahwa menjaga kemabruran haji bukan sekadar dengan membatasi diri secara fisik, tetapi bagaimana memelihara ruhani haji dalam dinamika sosial. Membantu fakir miskin, mengajar mengaji di lingkungan, memperbaiki lingkungan sosial, memperjuangkan keadilan ekonomi syariah, semuanya merupakan bagian dari amal lanjutan dari ibadah haji.
Sudah saatnya paradigma masyarakat diperluas, bahwa kemabruran bukan hanya dengan mengurung diri, tetapi dengan memperbanyak kebermanfaatan. Tradisi berdiam diri pasca haji hendaknya dipahami sebagai bagian dari upaya spiritual sementara, tetapi tidak boleh menjadi penghalang dari peran sosial yang produktif. Justru haji mabrur adalah mereka yang menjadi teladan akhlak mulia, penegak kejujuran, penggerak ekonomi umat, dan penguat solidaritas sosial.
Akhirnya, kesadaran mendalam perlu dibangun dalam diri setiap jamaah haji bahwa ibadah haji bukanlah penutup perjalanan amal, melainkan titik awal kehidupan baru dengan tanggung jawab moral dan sosial yang lebih besar. Spiritualitas haji harus menjelma menjadi energi amal yang terus berkembang, tidak hanya untuk dirinya, tetapi untuk keluarganya, tetangganya, masyarakatnya, bahkan untuk kemajuan umat secara luas.
*) Abdul Wasik, pengurus RMINU Jawa Timur dan Dosen IAI At Taqwa Bondowoso.
Terpopuler
1
Safari Kepulauan, Ketua Ansor Jatim Sapa Kader di Sapeken dan Kangean
2
Bupati Lukman Hakim Ditetapkan Sebagai Kasatkorcab Banser Bangkalan
3
Bot Farm: Penyesat Opini di Media Sosial
4
Dalil Kesunahan Selamatan Pulang Haji, Tak Sekadar Tradisi Lokal
5
Retreat Organisasi: GP Ansor Pacitan Dorong Adaptasi Aturan Baru dan Regenerasi
6
Kesan Jamaah Haji KBIHU MWCNU Singosari Jalani Ibadah di Tanah Suci
Terkini
Lihat Semua