• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 28 Juni 2024

Opini

Sosok Yusup Subekti Masruri, Teladan Apresiasi Haji

Sosok Yusup Subekti Masruri, Teladan Apresiasi Haji
Sosok Yusup Subekti Masruri saat menjalani perawatan oleh tim kesehatan Haji 2024
Sosok Yusup Subekti Masruri saat menjalani perawatan oleh tim kesehatan Haji 2024

Nikmat apa lagi dari Tuhanmu yang akan engkau dustakan. Itu prinsip qur’ani. Terambil dari ayat yang disebut berulang-ulang hingga 31 kali dalam satu surat al-Qur’an, yakni Surat al-Rahman. Bunyinya: Fa bi ayyi ala’i rabbikuma tukadzdziban. Penyebutannya dilakukan hampir back-to-back. Hampir beriringan. Dalam satu surat. Isinya di antaranya mendorong setiap diri untuk melaksanakan ibadah pribadi. Bersyukur adalah utamanya. Berterima kasih adalah nama lainnya.

 

Tampak sekali, lelaki yang duduk di kursi roda karena sakit itu sedang mengamalkan pesan dari Surat al-Rahman di atas. Lelaki itu bernama Yusup Subekti Masruri. Dia berasal dari Kebumen Jawa Tengah. Menunaikan ibadah haji bersama rombongan penerbangan SOC 9 embarkasi Solo, Jawa Tengah. Di atas roda, dia dilayani pendorongan oleh petugas haji. Itu setelah dia mendapatkan layanan pendampingan dan kesehatan selama beberapa hari dalam proses ibadah haji di Arab Saudi. Baik oleh petugas pendamping maupun petugas kesehatan dalam tim petugas haji Indonesia sendiri.

 

Dalam sebuah video yang viral itu, Pak Yusup Subekti Masruri dengan tetap berada di atas kursi roda lalu bilang kepada orang-orang sekelilingya itu: “Wah alhamdulillah, kulo merasa ngerepot-ngerepoti wong kesehatan. Kulo ngantek isin. Kulo pingin mlaku malah disurung ngeten niki, nggih seneng, nggih alhamdulillah.” Begitu pernyataannya dalam Bahasa Jawa. Terjemahannya begini: Yaa, alhamdulillah, saya merasa telah sangat merepotkan petugas kesehatan. Saya sampai merasa malu nih. Saya ingin  berjalan , tapi justeru dilayani dengan pendorongan begini ini, ya senang, ya alhamdulillah. 

 

Bahkan tidak berhenti di situ. Pak Yusup Subekti Masruri itu juga mengungkapkan perasaan syukurnya. Dia menyatakan isi hatinya kepada para petugas haji Indonesia yang mengitarinya. Baik petugas haji pendamping maupun tenaga kesehatan. Begini ungkapnya dalam bahasa aslinya, Jawa: “Alhamdulillah, kulo ceria-ceria. Urung diobati, rasane wis kepingine mari niki. Kulo niki wau ngomong teng mbak dokter niki, niki kulo teng miriki kok mpun mari niki. Rasane wis mari niki.” Terjemahannya begini: Alhamdulillah, saya sungguh ceria.  Belum diobati saja, rasanya sudah ingin udahan saja. Saya ini tadi bilang ke bu dokter, ini saya di sini kok rasanya sudah sehat ya. Terasa sudah sehat sekali.

 

Jelas sekali dari ungkapan-ungkapannya di atas, lelaki yang sempat dirawat oleh para petugas haji Indonesia di atas tak kuasa menyembunyikan isi hatinya. Betapa layanan yang diterimanya begitu dirasa sangat besar manfaatnya. Membantu dia untuk pulih segera dari sakitnya. Tentu hal itu sangat bisa dipahami. Jika dia terkulai dan terjebak dengan penyakit yang dialaminya tanpa ada pendampingan dan proses penanganan medis yang baik, kedatangannya ke Arab Saudi untuk berhaji juga pasti akan mengalami kesulitan yang berarti. Sebab, kesehatannya pasti terganggu, padahal dia sendiri sebagai pribadi memiliki kewajiban untuk bisa menunaikan rangkaian ibadah haji secara khusyuk nan maksimal.

 

Maka, sangat pantas jika lelaki yeng bernama Pak Yusup Subekti Masruri itu menerjemahkan rasa syukurnya dengan menyampaikan terimakasih yang besar kepada para petugas haji Indonesia. Apalagi, keberadaan petugas haji Indonesia itu membuat dia merasa terdampingi dan terlayani dengan baik. Dia pun akhirnya merasa tidak sendiri di Arab Saudi. Juga dia pun merasa dibantu sekali untuk segera sembuh oleh para petugas haji Indonesia di Tanah Suci.

 

Bahkan lebih dari itu, pendampingan oleh para petugas haji itu membuatnya merasa sudah sembuh seutuhnya dari penyakitnya. Hingga dia pun lupa bahwa dia masih dalam masa perawatan dan pendampingan oleh para petugas haji Indonesia, termasuk petugas di bidang layanan kesehatan. “Kepingin mlayu niki nggih mpunan. Tapi kale bu dokter mboten pareng niki wau,” begitu yang dia nyatakan dalam Bahasa Jawa untuk mengungkapkan rasa senangnya kepada layanan petugas haji. Arti harfiyahnya begini: Saya sudah ingin berlari saja. Tapi oleh bu dokter tidak diperkenankan.

 

Tentu kaitan antara nilai spiritual yang dikandung oleh ayat Fa bi ayyi ala’i rabbikuma tukadzdziban yang dikutip di awal tulisan ini dengan ekspresi syukur dan terima kasih lelaki bernama Pak Yusup Subekti Masruri di atas sangat erat sekali. Pak Yusup Subekti Masruri merasakan kehadiran Allah SWT melalui tangan-tangan dingin para petugas haji Indonesia yang selalu melayani. Hingga kesembuhan pun dia dapati. Tanpa perlu menunggu nanti. Agar bisa menunaikan ibadah haji yang sudah menjadi niatnya sejak dini.

 

Nah, jika ditarik lagi ke atas, pengalaman Pak Yusup Subekti Masruri di atas harus memberikan kesadaran diri yang tinggi. Untuk kita semua sebagai pribadi dan warga masyarakat yang punya hati dan nurani. Bahwa untuk bisa bersyukur tak harus menunggu sakit dulu. Bahwa untuk bisa menyatakan apresiasi tak harus menunggu masalah menghampiri. Bahwa untuk bisa berterima kasih tak harus diri terkena musibah tanpa henti. Itulah pertanda bahwa hati masih dimiliki dan berfungsi. Itulah isyarat suci bahwa nurani masih menyala dalam diri.

 

Kesadaran memang tak harus menunggu tumbuh dari dalam diri sendiri. Tak jarang kesadaran justeru muncul dari inspirasi hidup yang berasal dari kehidupan sesama. Pak Yusup Subekti Masruri memang bukan siapa-siapa. Saya tak kenal dia. Dia pun juga tak kenal saya. Anda mungkin juga serupa. Tak mengenal dia. Juga dia tak pernah berkenalan dengan Anda. Tapi, Pak Yusup Subekti Masruri patut menjadi teladan bersama. Menjadi inspirasi hidup mulia. Betapa rasa syukur, apresiasi dan terima kasih adalah kemuliaan yang harus diungkapkan. Pak Yusup Subekti Masruri adalah insipirasi untuk tumbuhnya kesadaran diri seperti yang diharapkan.

 

Tapi rasa syukur memang tak boleh ditunda walau sesaat. Ekspresi aspresiasi dan terima kasih juga tak boleh muncul terlambat. Semua itu agar kita tidak termasuk pribadi yang ingkar atas nikmat. Sekecil apapun nikmat itu bisa didapat. Pak Yusup Subekti Masruri dengan potongan kisah hidupnya selama menunaikan ibadah haji tahun 1445 H/2024 M di atas memberi pelajaran menarik bahwa bersyukur itu penting. Berterima kasih itu mulia. Jangan sampai telat bersukur. Tak perlu terlambat berterima kasih. Tak harus jatuh sakit, lalu baru tersadar diri. Tak perlu terkena musibah, lalu baru menyadari.

 

Maka, membutakan mata atas nikmat adalah bukti ketidakmuliaan diri. Menihilkan prestasi penyelenggaraan haji sebagai penanda nikmat yang diraih adalah juga bukti ketidaktahuan diri. Untuk tidak mengatakan kecongkakan pribadi. Itulah pelajaran hidup yang sedang dikirimkan oleh Pak Yusup Subekti Masruri. Betapa nikmat yang dia terima melalui tangan-tangan dingin para petugas haji Indonesia yang selalu siap melayani dia bayar dengan apresiasi dan terima kasih yang tinggi. Diapun lalu menyadari bahwa prestasi dalam bentuk penyelenggaraan layanan ibadah haji harus direkognisi dan diapresiasi.

 

Duh, Pak Yusup Subekti Masruri. Engkau memang pernah jatuh sakit selama melaksanakan ibadah haji. Namun, engkau telah menjadi pengingat kebajikan buat semua kita yang selalu butuh dinasehati. Seperti yang diingatkan oleh al-Qur’an di ujung Surat al-‘Ashri. Wa tawashau bi al-haqqi wa tawashau bi al-shabri. Saling mengingatkan agar diri hidup dalam kebenaran hakiki. Saling menasehati agar hidup tumbuh dalam kesabaran diri.

 

*) Sekretaris PWNU Jawa Timur
Guru Besar dan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya
Anggota Tim Monitoring dan Evaluasi Haji 2024


Opini Terbaru