Opini

Haji di Indonesia: Tantangan Antrean dan Biaya

Senin, 9 Juni 2025 | 16:00 WIB

Haji di Indonesia: Tantangan Antrean dan Biaya

Ilustrasi ibadah haji di Tanah Suci. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh umat Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh dunia menuju Tanah Suci untuk memenuhi panggilan spiritual ini.

 

Di Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, pelaksanaan ibadah haji tidak hanya menyangkut aspek religius, tetapi juga menyentuh persoalan kebijakan, keadilan sosial, serta ekonomi.

 

Namun, pelaksanaan ibadah haji di Indonesia menghadapi tantangan besar, terutama terkait masa tunggu ibadah haji reguler yang sangat panjang. Banyak calon jamaah harus menunggu puluhan tahun untuk bisa berangkat ke Tanah Suci.

 

Di sisi lain, jalur haji furoda memungkinkan seseorang untuk berhaji tanpa antrean, tetapi dengan biaya yang sangat mahal. Perbedaan ini menimbulkan perdebatan tentang keadilan dalam pelaksanaan ibadah haji.

 

Masa Tunggu Haji Reguler dan Ketimpangannya

Masa tunggu haji reguler di Indonesia saat ini sudah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan. Menurut data dari Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (SISKOHAT) Kementerian Agama, pada tahun 2025 terdapat lebih dari 5,5 juta calon jamaah dalam daftar tunggu. Di beberapa provinsi seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan, masa tunggu mencapai lebih dari 30 tahun.

 

Sebagaimana dilansir detik.com (11 April 2025), masa tunggu haji reguler bisa mencapai 41 tahun di Sulawesi Selatan. Artinya, seseorang yang mendaftar pada usia 30 tahun kemungkinan baru bisa berangkat di usia lebih dari 70 tahun, saat kondisi fisiknya mungkin sudah tidak memungkinkan.

 

Dalam kondisi ini, banyak calon jamaah akhirnya meninggal dunia sebelum sempat berangkat. Hal ini menjadi masalah serius karena menyangkut hak spiritual setiap Muslim untuk melaksanakan rukun Islam kelima. Pemerintah Indonesia memang terus berupaya menambah kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi, namun keterbatasan kuota global membuat permintaan ini tidak selalu dikabulkan.

 

Keterbatasan kuota ini menimbulkan ketimpangan. Banyak masyarakat yang frustrasi karena tidak kunjung berangkat, meskipun sudah lama menabung dan mendaftar. Sementara itu, jalur lain memungkinkan orang untuk berangkat lebih cepat asalkan mampu secara finansial.

 

Jalur Haji Furoda dan Komersialisasi Ibadah

Jalur haji furoda menjadi alternatif bagi masyarakat yang tidak ingin menunggu terlalu lama. Haji furoda adalah jenis haji non-kuota pemerintah yang menggunakan visa mujamalah (undangan) dari Pemerintah Arab Saudi. Jamaah yang memilih jalur ini bisa berangkat tanpa harus antre bertahun-tahun.

 

Namun, kemudahan ini tidak datang tanpa harga. Biaya haji furoda sangat tinggi, berkisar antara USD 19.000 hingga USD 60.000 atau sekitar Rp300 juta hingga Rp1 miliar, tergantung fasilitas dan penyelenggara. Hal ini tentu sulit terjangkau oleh mayoritas masyarakat Indonesia.

 

Diberitakan detik.com (23 Mei 2025), haji furoda bukan bagian dari kuota resmi pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, pelaksanaannya tidak di bawah pengawasan langsung Kemenag, tetapi oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).

 

Situasi ini memunculkan pertanyaan soal keadilan. Apakah ibadah haji kini telah berubah menjadi sesuatu yang eksklusif bagi kalangan mampu? Apakah semangat kesetaraan dalam ibadah masih bisa dirasakan, ketika satu sisi harus menunggu puluhan tahun dan sisi lain bisa langsung berangkat karena memiliki uang lebih?

 

Kritik terhadap sistem haji furoda terus berdatangan. Banyak pihak menilai, praktik ini rawan dikomersialisasi. Diperlukan regulasi dan pengawasan ketat agar nilai spiritual haji tak ternoda oleh kepentingan bisnis.

 

Membangun Sistem yang Adil dan Berkeadilan

Pemerintah melalui Kementerian Agama sebenarnya telah berupaya menjaga keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah menegaskan bahwa negara bertanggung jawab memastikan ibadah haji dilakukan secara adil, transparan, dan akuntabel.

 

Namun, implementasinya masih menemui tantangan di lapangan. Ketimpangan akses dan biaya menjadi masalah struktural yang belum sepenuhnya terselesaikan. Untuk itu, diperlukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem antrean, kuota, dan transparansi pemberian visa furoda.

 

Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah memperkuat diplomasi internasional dengan Pemerintah Arab Saudi untuk mendapatkan tambahan kuota. Selain itu, perlu pengembangan sistem digitalisasi dan integrasi data nasional agar antrean dapat dipantau secara adil dan efisien.

 

Masyarakat juga perlu diberi pemahaman tentang berbagai jalur haji dan risiko yang menyertainya. Edukasi ini penting agar mereka tidak mudah tergiur oleh tawaran keberangkatan cepat yang tidak sesuai regulasi.

 

Para ulama dan tokoh agama juga diharapkan aktif memberikan pencerahan bahwa ibadah haji adalah panggilan ilahi yang waktunya telah ditentukan oleh Allah. Keikhlasan dan kesabaran harus menjadi bekal utama dalam menunaikan ibadah ini.

 

Jika dikelola secara benar, jalur haji furoda sebenarnya bisa menjadi pelengkap dari sistem haji reguler, khususnya bagi yang memiliki alasan darurat seperti usia atau kesehatan. Namun jika dibiarkan tanpa kontrol, ia berpotensi menjadi celah komersialisasi yang mencederai esensi ibadah.

 

Penutup

Ibadah haji mengajarkan nilai-nilai kesetaraan, kebersamaan, dan ketundukan kepada Allah SWT. Setiap Muslim, dari berbagai latar belakang, berkumpul dalam satu tempat dengan pakaian yang sama, menunjukkan bahwa semua manusia setara di hadapan Tuhan. Sistem penyelenggaraan haji seharusnya mencerminkan nilai-nilai tersebut.

 

Ketimpangan antara masa tunggu haji reguler yang sangat lama dengan kemudahan jalur furoda yang mahal harus menjadi bahan evaluasi bersama. Pemerintah, DPR, tokoh agama, dan masyarakat sipil harus bersinergi menciptakan sistem yang berkeadilan.

 

Prinsip keadilan dalam Islam sangat tegas, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan" (QS. An-Nahl: 90). Maka dari itu, pelaksanaan ibadah haji pun harus menjunjung tinggi nilai keadilan ini.

 

Kesimpulannya, tantangan penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia tidak hanya soal teknis dan logistik, tetapi juga menyangkut nilai-nilai spiritual dan sosial. Dengan komitmen bersama, keadilan dalam berhaji bisa diwujudkan agar semua umat Islam memiliki kesempatan yang sama dalam menjalankan rukun Islam kelima ini secara bermartabat.