Opini

Karnaval Kemerdekaan: Antara Hiburan dan Etika

Rabu, 13 Agustus 2025 | 10:00 WIB

Karnaval Kemerdekaan: Antara Hiburan dan Etika

Ilustrasi karnaval kemerdekaan. (Foto: Gemini AI)

Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia merupakan momentum yang selalu dinanti masyarakat setiap tahunnya. Di berbagai penjuru negeri, peringatan ini diisi dengan kegiatan yang meriah, mulai dari lomba rakyat, pawai budaya, hingga karnaval yang memamerkan kreativitas masyarakat. Suasana gembira menjadi ciri khas dari perayaan itu, mencerminkan rasa syukur dan kebanggaan sebagai bangsa yang merdeka.

 

Namun, di tengah kemeriahan itu, belakangan muncul fenomena yang menimbulkan kegelisahan di kalangan masyarakat. Dalam beberapa karnaval kemerdekaan, terlihat penggunaan sound system berdaya besar atau yang populer disebut “sound horeg” dengan dentuman bass yang memekakkan telinga. Tidak hanya itu, ada pula penampilan laki-laki yang berpakaian dan bergaya seperti wanita, bahkan disertai tarian-tarian erotis yang ditampilkan di ruang publik.

 

Fenomena ini menuai pro dan kontra. Sebagian menganggapnya hiburan semata, sementara sebagian lain menilainya sebagai bentuk penyimpangan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai etika, moral, dan budaya lokal bangsa. Padahal, perayaan kemerdekaan semestinya menjadi sarana edukasi, penguatan karakter, dan perwujudan rasa syukur yang bermartabat, bukan ajang menampilkan perilaku yang berpotensi merusak tatanan sosial.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Jika dibiarkan, kebiasaan ini dapat mengikis nilai-nilai luhur bangsa, bahkan memberi pesan yang keliru kepada generasi muda tentang bagaimana cara merayakan kemerdekaan. Oleh karena itu, perlu kajian mendalam untuk melihat fenomena ini dari perspektif etika, moral, dan budaya lokal, agar kita dapat mengembalikan makna perayaan kemerdekaan pada esensinya yang sejati.

 

Etika Perayaan dan Hak Publik

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Etika dalam perayaan kemerdekaan adalah landasan yang memastikan bahwa kegembiraan tidak melanggar kenyamanan dan hak orang lain. Masyarakat berhak merayakan kemerdekaan dengan meriah, tetapi ada batasan yang harus dihormati. Salah satunya adalah tidak membuat kebisingan yang mengganggu lingkungan sekitar. Fenomena sound horeg yang suaranya menggelegar hingga jarak ratusan meter jelas melanggar prinsip etika ini.

 

Al-Qur’an memberikan arahan tentang adab dalam mengeluarkan suara. Allah SWT berfirman:

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ ٱلۡأَصۡوَٰتِ لَصَوۡتُ ٱلۡحَمِيرِ

 

Artinya: "Dan rendahkanlah suaramu; sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai." (QS. Luqman: 19)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Pesan dalam ayat ini sangat relevan untuk mengingatkan bahwa suara yang berlebihan dan memekakkan telinga bukanlah sesuatu yang terpuji. Dalam hadits, Rasulullah SAW juga menegaskan prinsip ini dengan sabdanya:

 

لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ

 

Artinya: "Tidak boleh menimbulkan bahaya dan tidak boleh saling membahayakan." (HR. Ibnu Majah)

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Bisingnya suara sound horeg bukan hanya mengganggu pendengaran, tetapi juga dapat berdampak buruk pada kesehatan, mengacaukan konsentrasi, dan merusak ketenangan masyarakat. Dalam konteks perayaan kemerdekaan, hal ini justru menghilangkan makna kebersamaan dan persaudaraan yang seharusnya terjaga.

 

Menghargai hak publik berarti menjaga agar perayaan kemerdekaan tetap menyenangkan bagi semua orang, bukan hanya bagi segelintir pihak yang menguasai panggung. Etika mengajarkan keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Jika batas ini dilanggar, kemeriahan akan berubah menjadi gangguan.

 

Moralitas dan Keteladanan di Ruang Publik

Selain etika, moralitas memegang peranan penting dalam menentukan layak atau tidaknya suatu penampilan di ruang publik. Fenomena laki-laki yang mengenakan pakaian wanita dalam karnaval sering dianggap sebagai hiburan, namun dari sudut pandang moral, hal ini membawa persoalan serius. Apalagi jika penampilan tersebut dilebih-lebihkan untuk memancing tawa, bahkan dikombinasikan dengan gerakan tarian yang provokatif.

 

Islam secara tegas melarang perilaku ini. Rasulullah SAW bersabda:

 

لَعَنَ ٱللَّهُ ٱلرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبَاسَ ٱلْمَرْأَةِ وَٱلْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبَاسَ ٱلرَّجُلِ

 

Artinya: "Allah melaknat laki-laki yang mengenakan pakaian wanita, dan wanita yang mengenakan pakaian laki-laki." (HR. Abu Dawud)

 

Larangan ini bukan hanya soal pakaian, tetapi juga pesan moral bahwa setiap orang harus menjaga fitrah gendernya di ruang publik. Karnaval yang dihadiri anak-anak menjadi tempat yang sangat rentan bagi terjadinya penanaman persepsi yang salah tentang identitas diri dan peran sosial.

 

Lebih memprihatinkan lagi, tarian erotis yang terkadang menjadi bagian dari pertunjukan karnaval justru mengundang syahwat dan merendahkan martabat bangsa. Padahal Rasulullah SAW menegaskan bahwa rasa malu adalah bagian dari iman.

 

الْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ

 

Artinya: "Malu itu sebagian dari iman." (HR. Muslim)

 

Tontonan yang mengumbar aurat dan gerakan cabul di ruang publik adalah kebalikan dari rasa malu. Perayaan kemerdekaan seharusnya menghadirkan kebanggaan dan inspirasi, bukan perilaku yang mengundang dosa dan menurunkan wibawa bangsa di mata generasi muda.

 

Moralitas yang dijunjung tinggi akan menciptakan ruang publik yang aman dan nyaman bagi semua kalangan. Karnaval bisa tetap meriah tanpa harus mengorbankan nilai kesopanan dan kehormatan.

 

Budaya Lokal dan Pendidikan Karakter Bangsa

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang kaya akan budaya lokal yang penuh nilai luhur. Setiap daerah memiliki tarian tradisional, musik khas, dan busana adat yang sarat makna filosofis. Karnaval kemerdekaan merupakan kesempatan emas untuk memperkenalkan dan melestarikan warisan ini kepada generasi muda. Sayangnya, kesempatan ini sering tergantikan oleh atraksi yang jauh dari identitas budaya, seperti musik bising tanpa makna, tarian erotis, dan penampilan yang merendahkan martabat.

 

Budaya lokal pada dasarnya mengajarkan harmoni, kesopanan, dan penghormatan terhadap orang lain. Mengganti warisan budaya tersebut dengan pertunjukan yang hanya mengejar sensasi berarti secara perlahan mengikis identitas bangsa. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:

 

إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآئِ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِ

 

Artinya: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan." (QS. An-Nahl: 90)

 

Ayat ini menegaskan bahwa budaya yang dihidupkan harus menjauhkan diri dari kemungkaran dan perbuatan cabul. Karnaval yang menampilkan seni tradisi dengan tata krama yang baik bukan hanya melestarikan budaya, tetapi juga mendidik masyarakat.

 

Jika karnaval diisi dengan konten yang mendidik, generasi muda akan belajar mencintai bangsanya melalui seni dan budaya. Mereka akan melihat bahwa perayaan kemerdekaan bisa tetap kreatif, energik, dan memukau tanpa harus keluar dari nilai-nilai luhur bangsa.

 

Budaya yang dipertahankan dengan benar akan menjadi benteng yang melindungi generasi dari pengaruh negatif globalisasi. Karnaval bisa menjadi sarana memperkuat identitas bangsa sekaligus mempererat persatuan.

 

Penutup

Perayaan kemerdekaan adalah wujud syukur kepada Allah dan penghormatan kepada para pahlawan yang telah mengorbankan jiwa dan raga demi kemerdekaan bangsa. Sudah semestinya momentum ini diisi dengan kegiatan yang membawa manfaat, menginspirasi, dan memperkuat persaudaraan.

 

Fenomena sound horeg, penampilan laki-laki menyerupai wanita, dan tarian erotis jelas bertentangan dengan etika, moral, dan budaya luhur. Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits telah memberikan panduan agar kita menjaga adab, menjauhi kemungkaran, dan menampilkan kebaikan di ruang publik.

 

Mengembalikan marwah perayaan kemerdekaan berarti mengarahkan karnaval dan seluruh rangkaian acara agar selaras dengan nilai-nilai tersebut. Musik tetap bisa menghibur tanpa mengganggu, hiburan tetap bisa lucu tanpa melanggar moral, dan karnaval tetap bisa meriah tanpa menanggalkan identitas budaya.

 

Jika bangsa ini mampu mengatur perayaan kemerdekaan dengan cara yang bermartabat, maka generasi mendatang akan mewarisi tradisi yang indah, penuh makna, dan membanggakan. Kemerdekaan akan tetap menjadi simbol kejayaan bangsa, bukan sekadar pesta tahunan tanpa arah.

 

*) Zainal Arifin, Ketua Lembaga Ta’lif wan-Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Kraksaan, Tim Media Masjid Agung Ar-Raudlah Kraksaan dan Koordinator Divisi Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pengurus Pusat Majelis Terapis Nusantara (PP Mantra).

ADVERTISEMENT BY ANYMIND