Salah satu destinasi wisata menarik di Jepang adalah Tokyo. “Tokyo keren dan bersih banget, Prof," kata Gus Ghozali, panggilan akrab Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Jepang pada saya dalam perjalanan Safari Ramadhan di Jepang tahun 2025 ini. Ketika awal Maret mendarat di Bandara Internasional Narita Jepang, saya dijemput langsung Gus Ghozali,Ketua PCINU Jepang dan Cak Yuanas, petani sukses di Jepang.
Benar juga. Saya beberapa kali mondar-mandir ke Tokyo. Ibu kota Jepang dengan jumlah penduduk 14 juta lebih itu memang sangat menawan. Stasiun Tokyo yang sangat megah dan besar. Kuil yang indah seperti Kuil Sensoji, Kuil Meiji, Kuil Zojoji, Kuil Hie dan Kuil Kanda Myojin.
Namun, yang tak kalah menarik adalah Tokyo sangat bersih, bahkan termasuk tujuh kota paling bersih dunia selain Zurich (Jerman), Dubai (Uni Emirat Arab), Singapura, Calgary (Canada), Minsk (Belarus) dan Vienna (Austria).
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Kalau anda keliling Tokyo, tidak akan menemukan sampah sedikitpun. Bunga Sakura yang mekar menambah asri dan indah kota terbesar di Asia tersebut. Selain bertugas dakwah ke Tokyo, saya juga dakwah di kota-kota lain di Jepang seperti Hiroshima, Nigata, Nagano, Koga, Ibaraki, dan semuanya serba bersih.
Kita bisa membandingkan dengan negara-negara muslim. Bangladesh adalah kebalikan Jepang. Bangladesh adalah negara ‘paling kotor’ di dunia. Selain polusi udara, pencemaran lingkungan dan sampah yang menumpuk menjadi alasan utama mengapa disebut sebagai negara paling kotor dunia.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Tentu ironis sekali karena Islam mengajarkan ummatnya tentang kebersihan an-nadlafatu minal iman (HR Bukhori Muslim). Kita hanya lihat hadits ini dipampang sepanjang jalan kota-kota Indonesia, tapi anehnya sampah juga berserakan dimana-mana.
Tentu ini berkebalikan dengan negara Jepang yang lifestyle penduduknya adalah bersih, bersih dan bersih. Meminjam bahasa Nicole Fridman, legal culture (budaya hukum), Jepang tidak membutuhan regulasi khusus tentang kebersihan, namun menekankan pada apa yang disebut dengan budaya hukum.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
“Hidup bersih itu budaya kami. Gaya hidup kami, orang-orang Jepang,” kata Mr. Ishi, Wakil Konjen Jepang di Surabaya. Mr Ishi, istri dan anaknya saat mengundang saya untuk makan siang di Hotel Tunjungan Plaza.
Mr. Ishi menceritakan bahwa lima puluh tahun yang silam, ketika dia masih kecil, ada tradisi menarik di rumahnya.”Kalau kami bersih-bersih, bukan hanya halaman rumah kami yang dibersihkan. Namun juga halaman tetangga kanan kiri dan depan juga dibersihan,” kata Mr. Ishi pada saya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Di masa sekarang, Jepang malah lebih ekstrem. Programnya keren abis: ‘zero waste’. Bahkan, bersih tanpa ada tempat sampah. “Akhirnya, kami harus sediakan tas. Sampah kami harus kami bawa ke rumah,” kata istri Mr. Ishi yang asli Indonesia.
Tidak berhenti di sini, sampah di rumah juga ada aturannya. Misalnya saat membuang sampah dibatasi hingga jam delapan pagi dan di-pilah mana yang organic dan non organik. Demikian juga, mana yang bisa dibakar, mana yang tidak bisa dibakar dan mana yang berbahaya.
“Capek juga sebetulnya, kalau terlambat dua menit, kita sudah ditinggal. Tapi ya. Itu untuk kebaikan bersama," kata istri Wakil Konjen Surabaya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sesungguhnya, Jepang tidak hanya membangun gaya hidup bersih, namun mereka juga mengupayakan daur ulang kemasan makanan dan minuman. Demikian ini dikenal dengan 3R, yaitu reduce (menguangi), reuse (menggunakan Kembali) dan recycle (mendaur ulang). Tiga inilah kunci kesuksesan pengelolaan sampah di Jepang. Meski masing-masing pemerintah prefaktur di Jepang memiliki otonomi sendiri untuk pengelolaan sampah dan daur ulang tersebut.
Tentu, saya sangat iri dengan orang-orang Jepang yang sudah jauh mempraktikkan Islam soal ihwal kebersihan. Sementara kita? Wallahu’alam.
Oleh: M. Noor Harisudin, Direktur Womester, Guru Besar UIN KHAS Jember dan Dai Internasional Jepang Tahun 2025
ADVERTISEMENT BY ANYMIND