Pada tahun 1995 saat saya menjadi mahasiswa baru di Universitas Islam Malang (Unisma) ada buku bagus yang berbeda dari yang ada sebelumnya. Judulnya Kiri Islam. Buku ini diterbitkan oleh Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LkiS) Yogyakarta. Sebagai mahasiswa baru, beberapa senior saya di Unisma terutama aktivis PMII memiliki dan mendiskusikan isi buku itu. Maka agar tidak ketinggalan sesuatu yang viral saat itu, saya berusaha membaca dan mendalami buku itu. Boleh dibilang buku itu menjadi best seller di kalangan anak muda maupun aktivis pada sejumlah organisasi dan pegiat kajian mahasiswa.
Di situ tertulis nama M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula sebagai editornya, dengan pengantar ciamik oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pengantar buku itu memiliki tingkat sastra yang luar biasa, sehingga cukup menyulitkan bagi kami yang masih mahasiswa baru saat itu untuk mencoba memahaminya. Tetapi satu hal yang kami tangkap, bahwa buku Kiri Islam tersebut menghadirkan suatu pandangan baru atau pandangan alternatif dalam berislam. Buku itu sebenarnya adalah versi terjemah dari artikel penulis Jepang Kazuo Shimogaki, tentang pandangan Islam Kritis atau Islam yang Progresif, yang digagas oleh filsuf dan sastrawan kelahiran Mesir bernama Hassan Hanafi. Gagasan besarnya Hanafi tersebut ia tuangkan dengan judul al-Yasar al-Islamy (Islamic Left) atau Kiri Islam.
Dari membaca buku Kiri Islam tersebut saya akhirnya mengenal nama Mas Imam Aziz tersebut. Namun demikian informasi lebih lanjut tentang beliau juga dari penjelasan para senior saya yang tinggal di Malang, yang studinya di Jogja atau yang sama-sama menginisiasi pendirian LKiS seperti Gus Fat (Fatchurrahman Alfa), Pak Fatich (semuanya dosen Unisma), dan senior yang lain yang sering membincang nama Mas Imam Aziz dan LKiS. Walau belum pernah ketemu, akhirnya kami ikutan menyebut nama Mas di awal nama beliau, mengikuti apa yang disampaikan oleh para senior kami tersebut. Maka boleh dibilang Mas Imam Aziz identik dengan LKiS, atau nama besar LKiS tidak lepas dari figur Mas Imam Aziz.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Singkat kata masa-masa itu --sebelum reformasi 98 merebak--, nama LKiS dan Mas Imam Aziz membumbung tinggi. Tidak saja dikalangan aktivis Nahdliyin, namun juga di lingkungan pegiat pro demokrasi di tanah air. Buku-buku terbitan LKiS laris manis bak kacang goreng, yang diserbu kalangan mahasiswa di kios-kios buku, khususnya kios yang spesialis menawarkan harga mahasiswa di berbagai kota. Yang tidak mampu beli biasanya inden atau pinjam kawan yang punya di kosnya atau di sekretariat mahasiswa atau di komunitas kajian mahasiswa (yang terakhir ini yang sulit dikembalikan, sehingga yang empunya buku perlu menagihnya beberapa kali agar kembali).
Pada waktu berikutnya saat situasi tanah air semakin membuncah ke arah reformasi, rupanya para aktivis pro demokrasi semakin intens melakukan konsolidasi serta pertemuan-pertemuan emansipatif dan lainnya. Singkatnya, di antara kegiatan konsolidasi itu, diadakan acara Pelatihan Paralegal Santri yang dihadiri para aktivis santri serta para Gus dan Ning dari berbagai kota. Acara tersebut ditempatkan di ma'had kami, yaitu Pesantren Mahasiswa Ainul Yaqin Unisma tahun 1998. Kami turut membantu jadi semacam panitia lokal, sembari bisa ikut nyimak para pembicara hebat memaparkan materi. Di sinilah saya pertama kali berjumpa dengan Mas Imam Aziz. Beliau sebagai fasilitator kegiatan Paralegal Santri yang bagi kami monumental itu.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Surprisenya kegiatan ini dihadiri oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebelum beliau jadi presiden. Yang unik adalah Gus Dur saat itu keliru masuk ruangan di dalam Kampus Unisma dimana berlangsung kegiatan Masa Penerimaan Anggota Baru (Mapaba) PMII fakultas ekonomi. Mungkin saat itu para pendherek Gus Dur tanya satpam kampus, yang asal diarahkan ke salah satu gedung yang ada kegiatan. Karena saat itu diacarakan pada weekend.
Dari pertemuan saya di acara Paralegal Santri dengan Mas Imam Aziz tersebut, beliau adalah figur yang konsis di jalur 'kultural' dengan membesarkan lembaga kajian dan penerbitan LKiS. Memang pada waktu berikutnya, Mas Imam mendirikan lembaga baru yang dinamai Syarekat. Tetapi atas obrolan kami dengan Mas Farid Adhikoro (seorang pengacara yang juga satu circle dengan beliau), itu taktis saja sebagai wadah untuk bisa terus melakukan advokasi dan pembelaaan pada komunitas yang tertindas.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Konsistensi pada jalur kultural serta keberpihakan dan aksi pembelaan pada kelompok tertindas ini tetap utuh terjaga manakala pada momen berikutnya Gus Dur dan Ulama Nahdliyin mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa. Beliau tidak ikut-ikutan menjadi legislatif yang mana andai beliau mau, tentu tidak sulit. Memang saat KH. Ma’ruf Amin menjadi wapres beliau membantu menjadi staf khusus bidang penanggulangan kemiskinan dan otonomi daerah. Fokus yang beliau fikirkan saat membantu Kiai Ma’ruf masalah Papua. Selebihnya beliau juga mengasuh Pondok Pesantren Bumi Cendikia Yogyakarta. Selain itu tentu berkhidmah di NU, mulai di LKPSM NU DIY hingga menjadi Ketua PBNU.
Dini hari tanggal 12 Juli 2025 beliau meninggalkan kita, kembali ke Ilahi Robbi. Innalillahi wa Inna ilaihi Rajiun. Selamat jalan Kiai. Bagi kami panjenengan sumber inspirasi pemikiran dan gerakan serta icon idealisme. Insyallah surga menanti panjenengan, Amin.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Penulis adalah Dr. H. Yusuf Amrozi, M.MT adalah dosen Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Ampel Surabaya, Wakil Ketua LPTNU Jawa Timur, serta salah satu Ketua di IKA PMII Jawa Timur.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND