• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Keislaman

LGBT dan Pandangan Ulama terhadap Pelaku Gay

LGBT dan Pandangan Ulama terhadap Pelaku Gay
Masalah gay ini mesti dipulangkan pada perilaku seksual yang mereka gunakan. (Foto: NOJ/VOi)
Masalah gay ini mesti dipulangkan pada perilaku seksual yang mereka gunakan. (Foto: NOJ/VOi)

Sebagaimana pernah disebutkan pada tulisan sebelumnya, pembahasan soal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dilakukan satu per satu. Sebelumnya telah membahas lesbian. Pada kesempatan ini akan membicarakan soal gay


Masyarakat umumnya memahami gay sebagai pelaku homoseks. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) homoseks adalah hubungan seks dengan pasangan sejenis (pria dengan pria). Meskipun demikian, keterangan KBBI belum memberikan kejelasan lebih rinci kepada kita. Karena pembahasan hubungan homoseks setidaknya meliputi bentuk hubungan seksual dan jenis pelaku seks itu sendiri. 


Pada kesempatan ini dibahas terlebih dahulu sejumlah bentuk hubungan seksual antarpria. Hubungan seksual antarpria bisa mengambil banyak bentuk. Misal, salah satu dari keduanya memasukkan dzakar ke dubur pasangannya. Ini yang disebut perilaku sodomi. Terkait ini, Syekh M Nawawi Banten menerangkan sebagai berikut: 


 فمن لاط بشخص بأن وطئه في دبره حد على المذهب) فيرجم المحصن ويجلد ويغرب غيره، وفي قول يقتل بالسيف محصنا كان أو غير محصن. 


Artinya: Siapa saja melakukan liwath dengan seseorang, yakni ia memasukkan dzakarnya di anus seseorang, dikenakan sanksi hudud. Kalau muhshan (sudah pernah kawin dengan perkawinan sah), ia dirajam. Kalau bukan muhshan, ia dikenakan sanksi jilid dan diasingkan. Salah satu pendapat mengatakan, muhshan atau bukan mesti dibunuh dengan pedang. (Lihat: Syekh M Nawawi Banten, Qutul Habibil Gharib, Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib, Darul Fikr, Beirut, Cetakan I, Tahun 1996 M/1417 H, halaman: 247). 


Perihal bentuk hubungan seksual seperti ini, Rasulullah SAW bersabda sebagai berikut: 


 قال عليه الصلاة والسلام لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ " قَالَهَا ثَلاثًا 


Artinya: Rasulullah SAW bersabda sebanyak 3 kali: Allah melaknat orang yang berperilaku kaum Luth. Pada hadits lainnya, Beliau SAW mengatakan: 


 قال رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: " إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ 


Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Sungguh, sesuatu yang paling kukhawatirkan atas umatku adalah perilaku kaum Luth. 


Sementara pada kesempatan lain, Nabi Muhammad SAW mengatakan: 


 وإذا كثر اللوطية رفع الله عز وجل يده عن الخلق فلا يبالي في أي واد هلكوا 


Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Jika perilaku kaum Luth sudah menjalar, Allah SWT mengangkat tangan-Nya dari makhluk. Ia tidak peduli mereka akan binasa di lembah mana saja. 


Berkaitan dengan ini, Allah berfirman: 


 قال تعالى: فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا 


Artinya: Allah berfirman: Kalau azab Kami datang, Kami jadikan pijakan mereka di atasnya. (surat Hud, ayat: 82). 


Selain bentuk hubungan di atas, ada juga bentuk hubungan seksual di mana salah seorang pasangan memasukkan dzakarnya ke dalam vagina khuntsa musykil (hermafrodit), manusia berkelamin dua jenis, jantan dan betina. Hubungan jenis ini tidak bisa dibilang sebagai zina. Karenanya orang yang melakukan hubungan seksual seperti ini tidak dikenakan hudud. 


 وبالسادس ما لو أولج في فرج خنثى مشكل فلا حد لاحتمال ذكورته وكون هذا المحل زائدا 


Artinya: Keenam, di luar dari praktik zina adalah ketika seseorang memasukan dzakarnya ke vagina khuntsa musykil (hermafrodit), ia tidak dikenakan hudud karena bisa jadi khuntsa musykil ini pria. Farjinya pun kemungkinan hanya lubang lebih. (Lihat: Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘alal Khatib, Darul Fikr, Tahun 2007 M, jJuz IV, halaman: 169). 


Selain dua bentuk di atas, pasangan pria bisa jadi memuaskan hasrat seksual dengan pelukan, ciuman, kontak langsung menggunakan paha, dan anggota tubuh lainnya. Hal ini disinggung oleh Syekh Abub Bakar Al-Hishni dalam Kifayatul Akhyar


 ومن وطئ دون الفرج عزر ولا يحد ولا يبلغ بالتعزير أدنى الحدود: إذا وطئ أجنبية فيما دون فرج عزر ولا يحد لما رواه أبو داود عَنْ ابن مسعود ، قَالَ: جَاءُ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنِّي عَالَجْتُ امْرَأَةً مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ فَأَصَبْتُ مِنْهَا مَا دُونَ أَنْ أَمَسَّهَا، فَأَنَا هَذَا، فَاقْضِ فِيَّ مَا شِئْتَ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: سَتَرَكَ اللَّهُ تعالى، لَوْ سَتَرْتَ عَلَى نَفْسِكَ، قَالَ: وَلَمْ يُجِبِ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ شَيْئًا، فَقَامَ الرَّجُلُ فَانْطَلَقَ، فَأَتْبَعَهُ النَّبِيُّ رَجُلًا فَتَلَا عَلَيْهِ هَذِهِ الْآيَةَ: {أَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ} [هود: 114] ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: وَهَذِهِ لَهُ خَاصَّةً يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «بَلْ لِلنَّاسِ عَامَّةً» وأخرجه مسلم والترمذي، وكذا لو وطئ صبيا أو رجلا فيما دون الفرج والله أعلم. 


Artinya: (Siapa saja berjima’ tidak melalui farji (kemaluan depan), harus ditakzir. Ia tidak dikenakan sanksi hudud. Sanksi takzirnya tidak boleh mencapai batas terendah dari sanksi hudud). Bila seorang pria berhubungan seksual kepada perempuan ajnabiyah (bukan istrinya) bukan dengan farji, harus ditakzir. Ia tidak dikenakan sanksi hudud berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Sahabat Ibnu Mas‘ud RA. Ibnu Mas‘ud RA bercerita bahwa ada seorang pria mendatangi Rasulullah SAW. Aku mengobati seorang perempuan yang datang dari ujung Madinah. Aku kemudian berhubungan seksual dengannya tanpa melalui farji. Jatuhkan sanksi untukku? kata lelaki itu. Sayidina Umar RA yang hadir saat itu menjawab: Sebenarnya Allah telah menutupi aibmu kalau kau sendiri tidak melaporkannya ke sini. Rasulullah SAW sendiri tidak menjawab sepatah kata pun. Pria itu bangkit, kemudian beranjak pergi. Rasulullah SAW bergegas bangkit dan menyusul pria itu sambil membaca ayat Al-Qur’an: Lakukan shalat pada  dua tepi siang dan pada kegelapan malam. Sesungguhnya kebaikan itu akan menghapus kejahatan. [surat Hud ayat: 114]. Salah seorang bertanya, Apakah itu khusus untuknya ya Rasul? Ini berlaku untuk manusia secara umum, jawab Rasulullah SAW, HR Muslim dan At-Turmudzi. Demikian pula berlaku bila seorang pria berhubungan seksual tidak melalui farji kepada seorang anak kecil atau pria dewasa lainnya. Wallahu a‘lam. (Lihat: Abu Bakar al-Husaini al-Hishni, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayatil Ikhtishar, Darul Fikr, Beirut, Tahun 1994 M/1414 H, juz II, halaman: 147). 


Berkaitan dengan hubungan seksual jenis ini, ada baiknya kita simak keterangan dari DR Musthafa Diyeb Al-Bugha: 


 ومن وطئ دون الفرج عزر ولا يحد ولا يبلغ بالتعزير أدنى الحدود أي وطئ: باشر بفرجه جسد امرأة أجنبية أو أجنبي، ومثل ذلك سائر مقدمات الجماع كالقبلة ونحوها عزر: أدب بما يراه الحاكم المسلم العدل من ضرب ونفي وحبس وتوبيخ وغيره، لأنه فعل معصية لا حد فيها ولا كفارة 


Artinya: (Siapa saja berjima’ tidak melalui farji (kemaluan depan), harus ditakzir. Ia tidak dikenakan sanksi hudud. Sanksi takzirnya tidak boleh mencapai batas terendah dari sanksi hudud), siapa saja melalui farjinya melakukan kontak langsung dengan salah satu dari anggota tubuh perempuan dewasa atau tubuh pria dewasa misalnya semua praktik foreplay seperti ciuman dan lain sejenisnya, harus ditakzir. Ia mesti digembleng oleh pemerintah dengan sanksi tertentu seperti pukulan, pembuangan/pengasingan, tahanan, kecaman, dan bentuk sanksi lain. Pasalnya, praktik seksual ini termasuk maksiat yang tidak ada hudud dan kafarahnya. (Lihat: DR Musthafa Diyeb al-Bugha, At-Tadzhib fi Adillati Matnil Ghayati wat Taqrib, Daru Ibni Katsir, Beirut, cetakan keempat, tahun 1989 M/1409 H, halaman: 208-209). 


Lalu bagaimana dengan sanksi perilaku seksual seperti ini? Syekh M Syarbini al-Khatib menyebut sejumlah sanksi bagi mereka yang melakukan seksual seperti ini: 


 ومن وطئ  أي باشر دون الفرج بمفاخذة أو معانقة أو قبلة أو نحو ذلك عزر بما يراه الإمام من ضرب أو صفع أو حبس أو نفي. ويعمل بما يراه من الجمع بين هذه الأمور أو الاقتصار على بعضها. 


Artinya: Siapa saja yang berhubungan seksual bukan melalui farji, tetapi pemuasan seksual melalui paha, pelukan, ciuman, atau semilsanya, dikenakan takzir yang ditetapkan pemerintah seperti pukulan, tamparan, tahanan, atau pengasingan. Pemerintah berhak menjatuhkan semua sanksi itu sekaligus terhadap pelakunya. Tetapi pemerintah juga punya hak untuk menjatuhkan sebagian sanksi tersebut. (Lihat: Syekh M Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi Syuja‘, Darul Fikr, Beirut, tahun 2007 M/ 1427-1428 H). 


Dari pelbagai keterangan di atas, kita setidaknya menangkap bahwa masalah gay ini mesti dipulangkan pada perilaku seksual yang mereka gunakan. Sementara masalah perasaan atau kecenderungan, tidak ada sanksi untuk itu. Masalah perasaan atau orientasi seksual menjadi domain medis yang perlu dikonsultasikan dengan ahlinya. 


Kita percaya bahwa para ahli memiliki alternatif sendiri dalam menangani masalah orientasi seksual seperti ini. Lalu bagaimana dengan perkawinan pasangan sejenis, antarpria dalam konteks ini? Perkawinan sejenis ini tentu tidak bisa dilegalkan karena tidak memenuhi syarat perkawinan secara syara’/agama. 


Perihal sanksi takzir, kita serahkan kepada pemerintah melalui peraturan yang berlaku. Pemerintah pula yang berhak menjalankan peraturannya melalui aparat yang berwenang. Kita tidak berhak mengeksekusi para pelaku. Semoga Allah SWT menjaga kita semua dari kecenderungan-kecenderungan seks sejenis dengan segala bentuknya. 

  

Masyarakat bisa berpartisipasi dalam mewujudkan rehabilitasi bagi saudara kita yang memiliki kecenderungan seksual yang berbeda. Pelaku hubungan seksual sejenis, dianjurkan untuk bertobat kepada Allah. Insyaallah, Dia akan menerima tobat hamba-Nya. 
 


Keislaman Terbaru