• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Metropolis

Kenangan Seru dan Menyenangkan Bocah Mengaji Era 1990-an

Kenangan Seru dan Menyenangkan Bocah Mengaji Era 1990-an
Ilustrasi santri mengaji dengan ublik botol beling sebagai penerang. (Foto: Hipwee)
Ilustrasi santri mengaji dengan ublik botol beling sebagai penerang. (Foto: Hipwee)

Surabaya, NU Online Jatim

Masa kanak-kanak penuh dengan kenangan. Termasuk momen-momen masa mengaji. Soal tingkah nakal yang bikin geregetan orang tua dan guru, tentang aneka permainan yang bikin lupa waktu hingga jadi langganan marah orang tua, soal hukuman yang harus diterima karena kerap melanggar, juga tentang jajanan yang biasa dikudap bareng-bareng. Bila teringat ketawa-ketawa sendiri.

 

Obor Mobil Mainan Bambu

Bocah mengaji era 1980-1990an adalah masa penuh keterbatasan. Jangankan jaringan internet, listrik pun tak ada kecuali di kota-kota. Untuk menerangi malam, warga biasanya menggunakan petromaks. Itu warga yang berpunya. Umumnya menggunakan lampu semprongan atau ublik. Untuk menerangi jalan, biasanya obor atau suluh yang dipakai. Di desa-desa, senter baru biasa digunakan tahun 1990-an.

 

Tapi justru karena keterbatasan bocah-bocah masa itu jadi kreatif. Di desa, kala itu mereka biasa membuat mobil mainan dari ujung batang bambu dengan roda terbuat dari gabus sandal. Mobil dikendalikan dengan sebuah irisan bambu yang panjang sebagai pendorong. Di bagian moncong mobil-mobilan, dipasang obor yang terbuat dari botol minuman kecil dan sumbu kain. Bahan bakarnya minyak tanah. Obor mobil-mobilan itulah yang dijadikan lampu penerang jalan kala bocah-bocah hendak pergi ke mushala atau langgar untuk mengaji.

 

Lewat Kuburan

Karena minim penerangan, acap kali bocah-bocah desa mengaji era 1990an menembus gelapnya malam saat berangkat dari rumah ke langgar atau mushala. Jarak rumah ke tempat mengaji kadang cukup jauh. Di pelosok, kadang harus melewati kebun dan sawah. Bisa juga tempat pemakaman umum. Nah, saat melewati kuburan inilah keseruan kadang tercipta secara spontan.

 

“Dulu saya harus lewat barongan dan kuburan yang menyeramkan. Bila sudah sampai di sudut jalan itu, semua siap-siap ambil langkah seribu untuk lari sekencang-kencangnya. Akan ribet dan ketinggalan bagi jamaah cewek yang memang larinya kurang kencang,” cerita Cak Ipul, warga Probolinggo.

 

Menginap di Langgar

Bocah menginap di langgar atau mushala juga biasa dilakukan bocah-bocah generasi 1980-1990-an. Di Madura, mungkin di daerah lain juga, kebiasaan ini sampai sekarang masih terjaga di desa-desa. Kala itu, mengaji Al-Qur’an biasanya dilakukan setelah shalat Maghrib sampai adzan Isya. Setelah itu mereka pulang sebentar, sekadar makan malam, lalu kembali ke langgar dan menginap.

 

Nah, saat menginap inilah hal-hal menyenangkan biasanya dilakukan bocah-bocah zaman itu. Kadang sampai dini hari. Latihan silat dan kanuragan-kanuraganan. Tanpa guru. Hanya membayangkan jadi karakter cerita-cerita silat. Mencari makanan kenduren di sawah, main petak-umpet, dan macam-macam permainan tradisional lainnya.

 

“Kalau saya sih nginep di langgar, malamnya makan nasi, pesta gitu lah, setelah makan-makan biasanya mencari jangkrik,” kata Rifki, mahasiswa asal Situbondo, mengenang masa bocah saat mengaji akhir 1990-an, kepada NU Online Jatim, Kamis (02/09/2021).

 

Dihukum Uztadz

Hukuman dari ustadz atau guru saat mengaji adalah hal biasa diterima bocah-bocah generasi 1980-1990an. Disabet dengan sapu lidi, dipendeliki, dan dimarahi karena salah melafadzkan huruf hijaiyah atau keliru tajwid adalah hal biasa. Saat terjadi mungkin terasa menakutkan. Tapi ada juga yang cengil. Bila diingat lagi momen itu di kemudian hari, justru bikin ketawa-ketawa sendiri.

 

“Paling dikenang saat ditakzir (dihukum guru ngaji),” kata Vira, mahasiswi asal Jember.

 

Tidak hanya soal mengaji, guru dan ustadz juga kerap mengawasi tingkah dan akhlak bocah-bocah zaman itu. Bila melanggar dan ketahuan, hukuman sudah pasti bakal diterima. Contohnya saat menginap di langgar, bila adzan Subuh sudah berkumandang tapi tak segera bangun, biasanya dibangunkan paksa dengan macam cara.

 

“Saya biasa disiram air sama guru kalau Subuh tak bangun,” kenang Cak Gawat, pemuda asal Sumenep, Madura.

   

Kenduren Khatam Al-Qu’an

Waktu itu metode pembelajaran Al-Qur’an kebanyakan pakai cara Baghdadiyah, yaitu dengan cara mengeja huruf per huruf. Bukan metode Iqra seperti sekarang. Pertama-tama guru mengenalkan murid dengan huruf-huruf Arab (Hijaiyah) dan cara pengucapan atau pembunyiannya (makhraj). Setelah itu dikenalkan dengan tanda baca atau harakat.

 

Selanjutnya guru atau ustadz mengajari murid cara membaca kata per kata di dalam Al-Qur’an dengan cara dieja huruf dan harakatnya. Baru setelah lancar murid diajari membaca Al-Qur’an yang benar sembari diasupi Ilmu Tajwid.

 

Nah, yang menyenangkan ialah ketika sudah khatam membaca Al-Qur’an 30 juz. Orang tua murid yang khatam mengadakan tasyakuran kecil-kecilan. Makanan khas setempat dibuat, biasanya menu ayam. Makanan tersebut kemudian dibawa ke langgar dan dimakan bersama-sama dengan guru, teman-teman mengaji, dan jamaah shalat.

 

Itulah sebagian momen bocah-bocah mengaji era 1990-an yang bila dikenang bikin ketawa-ketawa sendiri. Bagaimana dengan Anda?

 

Editor: Nur Faishal


Metropolis Terbaru