Jakarta, NU Online Jatim
Setelah Rasulullah SAW wafat, persoalan yang muncul di kalangan umat Islam justru bukan masalah aqidah, melainkan politik. Gonjang-ganjing politik setelah kepergian Nabi dimulai dari perbedaan status kaum Muslimin di Madinah, yakni kaum Ansar dan Muhajirin.
Ketegangan di antara sabahat baru reda setelah Abu Ubaidah bin Jarrah hadir sebagai penengah. Kedua belah pihak baik kaum Ansar maupun Muhajirin yang sebelumnya terlibat dalam perbedaan pandangan akhirnya sepakat, Abu Bakar dibaiat sebagai khalifah penerus kepemimpinan Rasulullah.
Pada era khulafaur rasyidin, pergantian khalifah menggunakan sistem yang tidak sama: ada yang menggunakan musyawarah melalui semacam ahlul halli wal aqdi, ada yang ditunjuk khalifah sebelumnya, dan ada yang dipilih khalayak ramai. Sementara, pada era Umayyah, Abbasiyah, hingga Usmaniyah, diangkat berdasarkan darah keturunan.
Dosen Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Abdul Gaffar Karim mengungkapkan bahwa khilafah bukanlah ajaran Islam. Khilafah adalah praktik pengelolaan pemerintahan masyarakat Islam selama beberapa tahun setelah wafatnya Rasulullah.
“Ada empat pendukung terdekat Rasulullah selama masa inkubasi di Madinah. Mereka lalu bergantian memimpin pasca wafatnya Rasul. Mereka disebut khalifah, Sang Penerus Rasulullah,” tulis Gaffar dalam akun facebooknya.
Masing-masing khalifah dari Abu Bakar hingga Ali bin Abi Thalib memimpin seumur hidup. Keseluruhannya juga dipilih dengan cara yang berbeda. “Cara memilih yang berbeda-beda itu terjadi karena memang tak ada rujukan yang definitif tentang praktik pemerintahan dalam ajaran Islam. Yang ada ialah rujukan moral,” lanjur Gaffar.
Setelah era pemerintahan empat khalifah itu, kata Gaffar, dimulailah era pemerintahan monarki yang dinastik dan absolut. Penandanya adalah konflik politik yang menewaskan cucu Rasulullah. Pembunuhnya adalah penguasa pertama di sebuah dinasti.
“Sejak itu, hingga tahun 1930an, dinasti politik bergantian (kadang beririsan) berkuasa secara absolut di sebagian dunia Islam. Setiap penguasa yang dinastik dan absolut itu menyebut dirinya khalifah,” ungkap Gaffar.
Hal senada pernah diungkapkan Prof Nadirsyah Hosen. Menurut dosen tetap di Fakultas Hukum Monash University, Melbourne, Australia, banyak terjadi kerancuan di kalangan umat mengenai penggunaan istilah Khalifah, Khilafah, dan juga Khalifatullah fil Ardh.
“Tidak ada istilah Khilafah dalam al-Qur’an. Tidak ada istilah Khalifatullah fil Ardh dalam al-Qur’an. Dan hanya dua kali al-Qur’an menggunakan istilah Khalifah, yang ditujukan untuk Nabi Adam dan Nabi Dawud,” kata Prof Nadirsyah Hosen sebagaimana dikutip dari NU Online.
Menurut Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand ini, penggunaan terminologi atau istilah Khalifah itu hanya digunakan dua kali dalam al-Qur’an. Pertama, dalam QS 2:30:
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
“Konteks ayat ini, berkenaan dengan penciptaan Nabi Adam AS. Ini artinya Nabi Adam dan keturunannya telah Allah pilih sebagai pengelola bumi. Penggunaan istilah Khalifah di sini berlaku untuk setiap anak cucu Adam,” ujar Gus Nadir, sapaan akrabnya.
Ayat lain menyebut:
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia....” (QS 33:72)
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS 17:70).
“Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah (tertulis) di dalam Az-Zikr (Lauh Mahfuz), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh.” (QS 21: 105)
Menurut pria yang memperoleh gelar magister dari dua kampus berbeda di Australia: Master of Arts (studi Islam) di University of New England dan Master of Laws (studi hukum) di Northern Territory University ini potensi semua manusia menjadi khalifah juga disinggung oleh hadits Nabi SAW:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawabannya. Maka seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggung jawabannya. Seorang wanita adalah pemimpin atas rumah suaminya, dan ia pun akan dimintai pertanggung jawabannya. Dan seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya dan ia juga akan dimintai pertanggung jawabannya. Sungguh setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya” (Sahih al-Bukhori, Hadits No 4789).
Kedua, ayat terakhir yang menyebut istilah Khalifah itu adalah yang berkenaan dengan Nabi Dawud: “Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah...” (QS 38:26).
“Harap diingat bahwa Nabi Dawud adalah Raja Bani Israil. Dalam ayat di atas, Nabi Dawud diperintah untuk memberi keputusan dengan adil. Inilah spirit ajaran Qur’an: keadilan. Sehingga amanah sebagai Khalifah (pemimpin) harus diwujudkan dengan prinsip keadilan. Kata adil dalam al-Qur’an disebut sebanyak 28 kali. Pada titik ini, tidak satupun ayat mengenai Khalifah bicara mengenai sistem pemerintahan. Tentu ini dapat dipahami karena ada jarak yang jauh antara Nabi Adam dan Nabi Dawud dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW” kata putra Prof. KH. Ibrahim Hosen, seorang ahli fikih kenamaan, dan Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) selama dua dekade (1981-2000).
Gus Nadir mengatakan, istilah Khalifah dalam konteks kepemimpinan umat pasca wafatnya Rasulullah SAW muncul setelah beliau wafat. Titel kepemimpinan Abu Bakar itu Khalifatur Rasul (Pengganti Rasul). Karena tidak ada lagi Nabi setelah Nabi Muhammad SAW, maka Abu Bakar menggantikan beliau dalam kapasitas sebagai pemimpin umat, bukan pengemban kenabian.
“Maka gelar Khalifah tetap dipakai, namun dalam pelaksanaannya di masyarakat Khalifah kedua, ketiga dan keempat dipanggil dengan sebutan Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman). Tradisi ini diteruskan oleh Bani Umayyah,” ungkap Gus Nadir.
Menurut pria kelahiran 8 Desember 1973 itu, sepeninggal Bani Umayyah, muncul istilah baru di masa Khalifah ketiga Abbasiyah, yaitu Al-Mahdi. Di masa Al-Mahdi ini perlahan titel khalifah bergeser, dari semula sebagai khalifah penerus Rasul, kini menjadi Khalifatullah fil Ardh. Khalifah Allah di muka bumi, seolah menjadi bayang-bayang kekuasaan Allah di bumi. Maka, perlahan Khalifah Al-Mahdi duduk di balik tirai dan sejumlah urusan penting pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada wazir (semacam perdana menteri).
Istilah khalifatullah fil Ardh ini, lanjutnya, juga tidak ada dalam al-Qur’an. Yang ada dalam al-Qur’an itu istilah “khalaif al-ardh” atau “khalaif fil ardh”. Misalnya: “Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalaif al-ardh (penguasa-penguasa di bumi) dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (QS 6:165)
“Kemudian Kami jadikan kamu khalaif fil ardh (pengganti-pengganti di muka bumi) sesudah mereka, supaya Kami memperhatikan bagaimana kamu berbuat”. (QS 10:14).
“Jadi, sekali lagi menjadi jelas bahwa penggunaan kata khalifah dalam al-Qur’an digunakan merujuk ke Nabi Adam dan Nabi Dawud, bukan merujuk kepada khalifah sepeninggal Nabi Muhammad. Tidak ditemukan istilah Khilafah dalam al-Qur’an,” kata Gus Nadir.
Gus Nadir menyarankan sebaiknya jangan mengklaim sebuah istilah seolah ada dalam al-Qur’an padahal tidak ada sama sekali. Begitu pula istilah Khalifatullah fil ardh, yang penggunaannya sangat politis dilakukan oleh Abbasiyah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan mereka. Lantas apa bedanya khalifah dengan khilafah? Khilafah belakangan ini telah menjadi sebuah istilah yang bermakna sistem pemerintahan.
“Pemerintahan Khilafah ini sudah bubar sejak tahun 1924. Maka tepat kita katakan ‘Islam Yes, Khilafah No’. Bukan saja kita bilang No karena sudah bubar, dan digantikan oleh negara-bangsa, tapi juga istilah Khilafah tidak ada dalam al-Qur’an. Istilahnya saja tidak ada, apalagi bentuk dan sistem pemerintahan yang baku juga tidak terdapat penjelasannya di dalam al-Qur’an. Bisakah seorang menjadi Khalifah tanpa ada Khilafah? Bisa. Kenapa tidak? Bukankah kita semua sebagai anak cucu Nabi Adam adalah pewaris dan pengelola bumi? Ini khalifah dalam pengertian Qur’an, bukan dalam konteks sistem Khilafah ala HTI,” ujarnya.
Pewarta: Ibnu Nawawi