NU Online

Psikolog: Rasa Aman Dekat dengan Ibu Bantu Anak Hadapi Kekerasan Sosial

Jumat, 18 Juli 2025 | 20:00 WIB

Psikolog: Rasa Aman Dekat dengan Ibu Bantu Anak Hadapi Kekerasan Sosial

Gambar hanya sebagai ilustrasi berita. (Foto: freepik)

Surabaya, NU OnlineĀ Jatim

Psikolog Klinis Bianglala Andriadewi menyebut bahwa anak dekat dengan ibu akan lebih tangguh menghadapi perundungan atau perlakuan buruk.


Anak yang merasa aman secara emosional pada ibunya cenderung lebih mampu mengelola perasaannya dan tidak membalas kekerasan dengan kekerasan.


ā€œKetika anak merasa memiliki tempat aman di rumah yaitu orang tuanya, ketika dia diejek atau dinakali, dia akan memilih bercerita ke orang tua dibandingkan membalas perlakuan buruk temannya,ā€ ungkap Bianglala kepada NU Online, Jumat (18/07/2025).


Meski begitu, Bianglala menegaskan bahwa kedekatan dengan anak sebaiknya tidak hanya dibangun oleh ibu, apalagi dalam konteks kekerasan. Menurutnya, ayah juga memegang peran penting dalam membentuk keberanian anak.


ā€œKeberanian bukan berarti berani membalas kekerasannya, tetapi keberanian itu merupakan kepercayaan dirinya pada diri sendiri,ā€ tegas Bianglala.


Ia menambahkan, kepercayaan anak terhadap dukungan eksternal juga mempengaruhi cara anak menyikapi perlakuan buruk dari orang lain. Ketika anak yakin bahwa ejekan temannya tidak mengurangi kasih sayang orang tuanya, ia tidak akan merasa terancam secara emosional.


ā€œJadi ketika anak diejek oleh temannya, orang tua dapat memberikan validasi emosi terlebih dahulu. Dari ibu misalnya, ā€˜Kakak kesel ya sama si A, kakak marah ya’,ā€ ucapnya.


Setelah emosi anak divalidasi, lanjut Bianglala, orang tua bisa mengajarkan bahwa rasa marah adalah hal yang wajar. Namun, penting juga untuk mengarahkan anak pada cara penyelesaian konflik yang sehat.


ā€œMisalkan orang tua mengajarkan dengan cara yang berbasis agama, misalnya dengan berdoa kepada Allah supaya teman yang melakukan hal yang tidak baik kepada kita diberikan kesadaran. Atau dengan mengekspresikan emosi melalui hal-hal baik, misalnya dengan bermain,ā€ ujarnya.


Bianglala menekankan, pendekatan rasional dan ajakan berpikir mendalam baru bisa dilakukan setelah anak tenang dan emosinya divalidasi oleh orang tua.


Ia juga mengingatkan bahwa proses mendidik anak tidak cukup hanya dari keteladanan orang tua. Lingkungan sekitar seperti guru, teman, dan tontonan anak di gawai (jika digunakan) juga turut membentuk karakter dan respons anak terhadap situasi sosial.


ā€œKalau dia di rumah sudah secure, tapi di sekolah guru sering marah-marah, temannya menunjukkan kekerasan, maka sangat mungkin anak akan meniru. Jadi misal anak membalas, itu hal yang wajar,ā€ jelasnya.


ā€œKalau dia tidak melihat kekerasan itu, maka anak tidak akan melakukan hal tersebut,ā€ tambahnya.