• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 24 April 2025

Madura

Cara Penanganan Psikologis di Sekolah terhadap Anak Korban Kekerasan

Cara Penanganan Psikologis di Sekolah terhadap Anak Korban Kekerasan
Ketua Himpsi Sumenep, Kiai Zamzami Sabiq. (Foto: NOJ/ Firdausi)
Ketua Himpsi Sumenep, Kiai Zamzami Sabiq. (Foto: NOJ/ Firdausi)

Sumenep, NU Online Jatim

Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Cabang Sumenep, Kiai Zamzami Sabiq, menyatakan bahwa sekolah memiliki peran penting bagi korban kekerasan yang dialami oleh anak. Hal ini agar lembaga satuan pendidikan dapat menjadi sekolah yang ramah pada anak.

 

Penegasan itu disampaikan saat Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap Anak di Lingkungan Satuan Pendidikan. Kegiatan yang dihelat oleh Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak itu dipusatkan di Aula Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Sumenep, Senin (21/04/2025).

 

Ia menyebutkan, untuk menjadi sekolah ramah anak diperlukan langkah-langkah khusus. Di antaranya, menciptakan lingkungan yang aman, serta melibatkan semua pihak, seperti guru mapel, guru bimbingan konseling (BK), Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Sekolah (TPPKS), siswa, hingga orang tua.

 

“Di samping itu, perlu juga mendorong budaya melapor yang aman, tidak menyalahkan korban, serta mendukung pemulihan secara psikis dan sosial,” ucap pria yang juga Sekretaris Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU) Sumenep ini.

 

Ia menyampaikan, berdasarkan data KemenPPPA Januari-Desember 2024, fakta kekerasan anak di tahun 2024, terdapat 28.831 aduan kekerasan pada anak. 22.603 aduan yang datang dari kalangan perempuan), dan 6.228 aduan dari kalangan laki-laki.

 

“Berdasarkan data, 35% terjadi di keluarga, 30% terjadi di sekolah, 25% terjadi di lingkungan sosial. Potensi pelaku kekerasan pada anak dilakukan oleh orang tua, kerabat, guru, teman sekolah, teman main, orang dewasa. Dengan demikian, fakta kekerasan pada anak naik 34% dari tahun sebelumnya,” katanya.

 

Disebutkan, kekerasan pada anak, memiliki dampak psikologis terhadap anak, yaitu: cemas berlebihan, menarik diri/ isolasi sosial, mudah marah atau agresif, gangguan tidur/ mimpi buruk, penurunan prestasi belajar, percaya diri rendah, dan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

 

Dirinya mengimbau kepada guru untuk mengamati tanda-tandanya, seperti luka tanpa penjelasan jelas, anak takut bertemu orang tertentu, perubahan drastis perilaku, tidak fokus di kelas, sering absen/ tidak mau sekolah, merasa berdosa tanpa alasan.

 

Langkah Penanganan
Kiai Zamzami pun memberi tips khusus terkait langkah-langkah penanganan psikologis anak di sekolah. Pertama, adalah kenali, amati tanda-tanda dan dengarkan keluhan anak. Kedua, adalah lindungi, pastikan anak aman secara fisik dan emosional. Ketiga, adalah dampingi, hadirkan empati dan konseling dasar. Keempat, adalah rujuk, hubungkan dengan pelayanan profesional jika diperlukan.

 

“Cara penanganan aplikatif di sekolah yaitu: sapa dengan empati, ekspresikan dukungan tanpa menghakimi, hadirkan konselor atau BK, ajarkan teknik coping sederhana, terhubung dengan layanan profesional,” ungkapnya.

 

Agar pelayanan ini berjalan kontinu, ia mendorong sekolah untuk bekerja sama dengan semua pihak. Langkah awalnya adalah bekerja sama di internal sekolah, seperti Guru BK, wali kelas, kepala sekolah, TPPKS. Langkah selanjutnya bekerjasama dengan orang tua dalam proses pemulihan.

 

“Yang terakhir secara eksternal, seperti bekerjasama dengan Dinas Sosial, Lembaga Perlindungan Anak, dan psikolog profesional,” ungkap Kiai Zamzami.

 

Dalam memberikan pelayanan, lanjut Kiai Zamzami, ada yang tidak boleh dilakukan oleh guru kepada korban kekerasan. Antara lain, bertanya terlalu mendesak, menyalahkan anak, menceritakan ke banyak orang, mengabaikan sinyal bahaya, memberi label buruk anak, dan sebagainya.

 

“Maka, kami mengajak kepada seluruh kepala sekolah agar lembaga pendidikannya menjadi tempat aman yang memulihkan luka, bukan yang menambah trauma,” pungkasnya.


Madura Terbaru