Pendidikan

Sang Penjaga Nurani Umat, Telah Pulang: Kesaksianku atas KH Imam Aziz

Jumat, 18 Juli 2025 | 19:00 WIB

Sang Penjaga Nurani Umat, Telah Pulang: Kesaksianku atas KH Imam Aziz

KH Imam Azis. (Foto: NOJ/ist)

Jum’at malam hingga Sabtu dini hari12 Juli 2025 lalu menjadi malam yang menegangkan. Sejak pukul 21.45, kabar terkirim di WAG Jamaah LKiS bahwa Mas Imam Aziz atau Mas Imam (begitu saya biasa memanggil KH. M. Imam bin KH. Abdul Aziz) masuk RS Sardjito dalam kondisi kritis karena sesak nafas. Sontak menimbulkan rasa panik dan saya benar-benar cemas. Berbagai doa kita lafalkan agar Mas Imam bisa melewati masa kritis itu, tapi taqdir berkata lain, pada jam 01.02 tersiar kabar bahwa Mas Imam Aziz telah meninggal, Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Tak kuasa menahan tangis kesedihan oleh duka yang amat dalam. Duka karena telah ditinggalkan oleh orang yang saya merasa begitu dekat, yang selalu memberi motivasi dan arahan dalam langkah pergerakan dan pergaulan.


Kabar duka menyelimuti kaum aktivis di negeri ini. KH. Muhammad Imam Aziz, Sang Pengasuh, Sang Pejuang, Sang Bapak bagi Kaum Tertindas, telah berpulang ke Rahmatullah pada usia 63 tahun. Kepergiannya, setelah berjuang melawan sakitnya, bukan sekadar kehilangan seorang tokoh, tapi padamnya mercusuar kemanusiaan yang cahayanya telah menerangi sudut-sudut gelap ketidakadilan selama puluhan tahun di bumi pertiwi.


Saya yang berada jauh dari Yogyakarta, karena satu hal tidak bisa ke Yogyakarta, dengan hati sedih yang mendalam, hanya bisa berdoa dan menyampaikan duka bela sungkawa dari jauh. Saya serasa kehilangan yang amat sangat, karena Mas Imam Aziz bagiku adalah sahabat, guru, saudara dan apa saja sebutan yang bisa mewakili betapa saya sangat mengagumi almarhum dan menjadikannya panutan dalam menyikapi keadaan social kemasyarakatan dan juga dalam hal ke-NU-an.


 
Dari Pesantren ke Panggung Keadilan: Sebuah Laku Spiritualisme Praksis
Kedekatan saya dengan Mas Imam, sejak saya masuk kuliah di IAIN Sunan Kalijaga Yogjakarta 1990-an lalu. Setelah beberapa kali mengikuti forum diskusi Mas Imam, saya mulai merasakan kekaguman. Gaya bicara yang tenang namun menusuk di hati, sehingga mampu menggerakkan hati saya untuk terus mengikuti kegiatannya. Sejak di PMII, di masjid IAIN Sunan Kalijaga, di LKiS, hingga akhir hayatnya. Dalam satu bulan terakhir, pertemuan saya ketika beliau berkunjung sekeluarga ke rumah di Sarang Rembang, lalu kemudian saya juga ke Yogyakarta untuk menyelenggarakan Reuni Jamaah LKiS, yang diinisiasi olehnya dan memerintahkan saya untuk mengurus pelaksanaannya. Alhamdulillah reuni yang berkesan, tampak Mas Imam bahagia dan begitu lepas menyampaikan apa yang ada pikirannya. Malam itu beliau menikmati setiap obrolan candaan dan sebagainya. Seperti hendak pamit.


Mas Imam Aziz, bukanlah tokoh yang hanya berbicara dari mimbar. Darah pesantren yang mengalir deras dalam dirinya (almarhum adalah alumni Matholek Kajen) tidak menjadikannya terkungkung dalam menara gading. Justru, tradisi pesantren yang kaya akan nilai keadilan (al-'adl), kasih sayang (ar-rahmah), dan pembelaan terhadap kaum lemah (mustadh'afin) menjadi fondasi kokoh bagi seluruh langkah hidupnya. Ia meyakini bahwa Islam rahmatan lil 'alamin harus dibumikan dalam aksi nyata.

 

Keprihatinannya yang mendalam terhadap penderitaan manusia, terutama mereka yang terpinggirkan, teraniaya, dan terlupakan oleh sistem, mendorongnya untuk melakukan advokasi dan membantu menjadikannya  manusia seutuhnya. Beliau mendirikan LKIS pada tahun 1993, yang menjadi "rumah" bagi pemikiran kritis dan sekaligus tangan yang terjulur untuk menyentuh luka-luka kemanusiaan.  Di sinilah karakter Imam Aziz sebagai "intelektual organik" sejati terpancar. Ia tak hanya menerbitkan buku-buku tajam tentang Islam, negara, kekerasan, perempuan, anak jalanan dan kaum rentan lain, tetapi juga turun langsung ke kubangan lumpur ketidakadilan itu.


LKiS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) bukanlah sekedar lembaga kajian, tetapi menjadi laboratorium gerakan pemikiran Islam yang selalu disertai rumusan tentang implementasinya di masyrakat.  Tentang bagaimana menggerakkan tradisi dan pemikiran pesantren yang mampu menjawab tantangan social, tentang pemikiran gender yang diimplementasikan ke dalam pengorganisasian gerakan perempuan dan advokasi terhadap perempuan-perempuan yang terpinggirkan, baik di jalanan, di ruang publik seperti parlemen dan lain-lain, maupun di ruang-ruang domestik. LKiS juga konsern pada advokasi kebudayaan local, tradisi local dan agama local, yang sering mengalami eliminasi dari arus utama kebudayaan. Inilah visi LKiS yang sangat kuat, sehingga dalam sejumlah penelitian, LKiS disebut sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang menjelma menjadi madzhab pemikiran Islam tersendiri dan gerakan sosial.

 

Menyentuh Luka yang Terlupakan: Suara bagi yang Dibungkam
Mungkin, tak banyak tokoh yang memiliki keberanian dan kelembutan hati seperti Mas Imam Aziz untuk menyelami luka sejarah paling kelam bangsa: tragedi 1965 dan penderitaan panjang keluarga korban serta eks-tapol. Di saat kebanyakan orang memilih diam atau takut, Imam Aziz justru mendekati mereka yang terstigmatisasi, terdiskriminasi, dan hidup dalam bayang-bayang ketakutan puluhan tahun.


Selain LKiS, Mas Imam juga mendirikan Syarikat, sebuah lembaga yang konsern pada advokasi keluarga eks tapol 1965 (PKI), terutama sebagai respon atas pencabutan TAP MPR No. II tahun 2001. Lembaga ini memiliki visi besar yakni melakukan rekonsiliasi kemanusiaan secara nasional terhadap semua elemen bangsa, terutama eks tapol 1965/PKI yang berpuluh-puluh tahun mengalami diskriminasi yang parah karena stigma PKI tersebut. Syarikat juga berusaha melakukan rehabilitasi terhadap stigmatisasi tersebut, sehingga mereka bisa hidup berbaur secara wajar di masyarakat dan mendapatkan hak-haknya secara konstitusional sebagai warga Negara. Ia tak hanya melakukan riset mendalam yang membongkar mekanisme diskriminasi, atau menulis jurnal dan buku yang menjadi saksi bisu penderitaan mereka.

 

"Syarikat" adalah paguyuban, ruang aman tempat para korban dan keluarganya yang tercerai-berai oleh rasa malu dan takut, bisa berkumpul, bercerita, saling menguatkan, dan menemukan kembali martabat mereka yang terampas. Ia membuktikan, membela kaum yang paling terstigma sekalipun adalah bagian tak terpisahkan dari laku keislaman dan ke-NU-an.

 

Menggerakkan NU dengan Semangat Kemanusiaan dan Keberpihakan
Pada tahun 2010, Mas Imam mulai memperluas kiprahnya dengan menjadi salah satu Ketua PBNU pada periode Th 2010-2015. Pada keterlibatan periode pertama Mas Imam di PBNU ini tidaklah mulus. Beliau mengalami “tudingan” oleh sebagian tokoh pimpinan PBNU lain sebagai tokoh "Kiri" yang dianggap pro-PKI. Tetapi dengan kesabarannya, Mas Imam mampu membuktikan dirinya tetap “NU” yang justru sedang menerjemahkan karakter egaliter dan membela mustadh’afin dari ajaran Ahlussunnah Waljamaah dengan menjadi tokoh rekonsiliasi (ishlah) antara keluarga NU-PKI. Kiprahnya membawa NU menjadi kekuatan rahmatan lil 'alamin yang nyata dan berpihak pada keadilan. Di tangan Mas Imam, NU semakin menunjukkan kepedulian pada isu-isu HAM, isu lingkungan, keadilan sosial, pluralisme, dan pembelaan kelompok marginal. Ia mengukuhkan NU sebagai rumah bagi semua, termasuk mereka yang sering dipinggirkan. Sebagai ketua PBNU, Mas Imam melakukan advokasi terhadap masyarakat yang menolak Pabrik Semen di Rembang yang dianggap melanggar aturan dan merusak lingkungan. Lalu juga kasus Wadas di Purworejo, dimana Mas Imam aktif menjadi tokoh utama yang melakukan advokasi korban proyek PSN tersebut, dan lain-lain.

 

Lalu kepiawaiannya sebagai organisatoris dan pemersatu diuji dalam tugas besarnya sebagai Ketua Panitia Muktamar NU ke-33 di Jombang (2015) dan Muktamar ke-34 di Lampung (2022). Pada Muktamar Lampung inilah Mas Imam mengalami tekanan politik dalam dinamika kontestasi kepemimpinan NU untuk periode 2021-2026. Walapun begitu, dengan tenang, cermat, dan penuh dedikasi, ia memimpin penyelenggaraan muktamar akbar di tengah tantangan kompleksitas dan dinamika internal yang tinggi, memastikan hajatan penting bagi warga NU itu berjalan sukses dan lancar.

 

Bumi Cendikia: Laboratorium Kader Bangsa Berkualitas
Terakhir, kiprahnya ditumpahkan pada pondok pesantren yang dia dirikan bersama sejumlah aktivis NU Yogyakarta lain, bernama Pondok Pesantren Bumi Cendikia. Pondok Pesantren Bumi Cendikia (BC), yang didirikannya pada 2005 inilah "anak rohaninya" yang  berharga. Bumi Cendikia bukan sekadar tempat mengaji dan mewariskan sanad keilmuan pesantren. Ia adalah laboratorium tempat Mas Imam Aziz mencetak kader-kader santri yang berkualitas sekaligus berkarakter. Di sini, integrasi ilmu agama dan ilmu sosial-humaniora diajarkan secara kritis, sekaligus mampun beradaptasi dengan kamajuan teknologi informasi mutakhir. Santri juga dididik untuk tidak hanya pandai membaca kitab kuning, tetapi juga membaca realitas sosial, mengenali ketidakadilan, dan memiliki keberanian moral untuk membela kebenaran. Nilai-nilai HAM, kesetaraan gender, pluralisme, perdamaian, dan keberpihakan pada kaum mustadh'afin menjadi napas pendidikan di Bumi Cendikia. Ia mewariskan bukan hanya pengetahuan, tapi semangat juang yang tak kenal lelah untuk menegakkan keadilan.

 

Ruang Sunyi Mas Imam Aziz
Akhirnya, di masa-masa akhir hayatnya aku bersyukur sedang dekat-dekatnya dengan almarhum. Aku melihat jalan hidup mas Imam yang sebenarnya banyak melahirkan perubahan yang berarti dimanapun kiprahnya, tetapi ia adalah tokoh yang tidak pernah silau dengan sanjungan, juga cenderung menghindari publikasi atas apa yang dia perankan. Ia memilih sembunyi di ruang sunyi dari gempitanya hiruk pikuk kehidupan social politik yang melingkupinya. Sepertinya, itulah laku sufi almarhum, sebagaimana kata Ibnu Athoillah dalam Kitab Hikam:



ادفن وجودك في أرض الخمول، فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه

 

"Pendam eksistensi mu dari kemasyhuran, karena sesuatu yang tidak tumbuh dari sesuatu yang dipendam tidak akan sempurna hasilnya" 

 

Dan dalam syarahnya Hikam diberi penjelasan:

 

لا شيء أضر علي المريد من الشهرة وانتشار الصيت

 

"Tidak ada sesuatu yang berbahaya bagi seorang murid (berharap ridlo Allah), daripada suatu kemasyhuran dan popularitas”

 

Demikian kesaksian saya atas Mas Imam Aziz, beliau adalah orang baik dan Surga adalah tempat yang sangat layak baginya. Al Fatihah.

 

Penulis: Imam Baehaqi