Pendidikan

Perluas Jejaring Akademik, FTIK IAI Tabah Gelar Seminar Internasional

Rabu, 16 Juli 2025 | 20:00 WIB

Perluas Jejaring Akademik, FTIK IAI Tabah Gelar Seminar Internasional

Seminar internasional oleh FTIK IAI Tabah Lamongan. (Foto: NOJ/ Istimewa)

Lamongan, NU Online Jatim

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) Institut Agama Islam Tarbiyatut Tholabah (IAI Tabah) Lamongan menyelenggarakan seminar internasional, Selasa (15/07/2025). Seminar bertajuk "Reinventing Education in 21st Century: Innovation, Values, and Transformative Pedagogies in Digital Era" ini digelar secara daring melalui Zoom Meeting dan dihadiri oleh kurang lebih 153 peserta.

 

Dekan FTIK IAI Tabah Lamongan, Nur Hakim, berharap agar kegiatan ini menjadi sarana bertukar gagasan. Selain itu, diharapkan pula dapat membuka peluang kolaborasi antar negara serumpun yang memiliki akar budaya dan keislaman yang sama. 

 

"Baik dalam hal kolaborasi penelitian, pertukaran dosen atau mahasiswa, serta peningkatan kualitas akademik," ujarnya.

 

Ia menegaskan, seminar tersebut wujud komitmen FTIK IAI Tabah dalam mendorong internasionalisasi keilmuan, memperluas jejaring akademik, serta memperkaya wawasan global mahasiswa dan dosen di bidang pendidikan Islam dan keguruan. 

 

“Tema yang diangkat sangat relevan dengan kompleksitas dan tantangan lintas batas di era digital saat ini,” ungkapnya. 

 

Diharapkan kegiatan ini dapat terus menambah wawasan luas bagi seluruh civitas akademika serta memperluas jejaring kolaborasi di tingkat internasional, demi menciptakan pendidikan yang lebih relevan dan adaptif terhadap perubahan zaman.

 

Acara ini menghadirkan empat pembicara dari berbagai institusi. Meliputi, Abd Majid bin Mohd Isa dari INTI International University Malaysia, Wilaiman Ka-J dari Fatoni University Thailand, Suyadi dari Universitas Borneo Tarakan, dan Nurul Hidayati dari IAI Tabah Lamongan.

 

Abd Majid bin Mohd Isa memaparkan bahwa di abad ke-21 literasi digital telah menjadi keterampilan vital untuk menavigasi dunia yang semakin terhubung. "Dengan pesatnya kemajuan teknologi digital, literasi tradisional saja tidak lagi memadai," jelasnya.  

 

Profesor bidang pendidikan ini mengatakan, literasi digital mencakup kemampuan mengakses, menganalisis, mengevaluasi, menciptakan, dan mengomunikasikan informasi menggunakan perangkat digital. “Meskipun tantangan seperti kesenjangan digital dan penyebaran misinformasi juga turut serta,” ucapnya. 

 

Abd Majid menambahkan bahwa universitas di Malaysia diizinkan memperbarui kurikulum kapan saja, dan pendidikan di sana menganut asas demokratisasi mengingat adanya kesenjangan generasi antara guru dan siswa.

 

Sementara itu, Wilaiwan Ka-J, menyampaikan bahwa artificial intelligence (AI) dan teknologi tidak akan pernah sepenuhnya menggantikan koneksi dan interaksi antar manusia. Sebaliknya, perangkat digital ini dirancang untuk memperkuat dan menjaga nilai-nilai serta keyakinan inti masyarakat. 

 

“Sekaligus menyediakan cara-cara baru untuk berinteraksi dan berkolaborasi,” ungkapnya. 

 

Wilaiwan berpendapat bahwa platform digital membuka peluang eksplorasi yang lebih luas bagi mahasiswa, misalnya tugas terjemah yang tidak lagi sebatas teks, tetapi bisa dalam bentuk pembuatan video. Pembelajaran berbasis proyek semacam ini diyakini dapat meningkatkan kreativitas sesuai harapan abad ke-21.

 

“Di Thailand, tidak hanya revisi kurikulum yang berkelanjutan, tetapi para guru juga dituntut untuk meningkatkan keterampilan dan teknik pedagogis mereka agar dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini. Pengurangan kesenjangan generasi (generation gap) dianggap penting,” ungkapnya. 

 

Sejalan dengan pandangan tersebut, Nurul Hidayati, mengemukakan pentingnya integrasi nilai-nilai keislaman ke dalam pedagogi transformatif di era digital. “Tujuannya adalah untuk mengembalikan pendidikan pada fungsi sejatinya, yakni memanusiakan manusia (insan kamil),” ucapnya. 

 

Pembicara terakhir, Suyadi, mengawali paparannya dengan mengutip Charles Darwin bahwa spesies yang paling kuat untuk survive bukan karena paling pintar tetapi yang bisa beradaptasi terhadap perubahan.

 

"Literasi dan keterampilan abad ke-21 harus dimiliki oleh mahasiswa agar punya problem solving skill untuk survive," terang mantan Dekan FKIP Universitas Borneo Tarakan ini.    

 

Ia menekankan bahwa guru dan pendidik harus memikirkan masa depan mahasiswa, membekali mereka dengan kreativitas, keterampilan komunikasi, kolaborasi, akses penelitian dan informasi, serta critical thinking. Karakter pembelajaran abad 21 juga bergeser dari teacher-centered menjadi student-centered, dengan guru berperan sebagai fasilitator dan pembimbing. 

 

“Tanpa memahami teknologi di dunia pendidikan, kita akan jauh dari peradaban. Teknologi memungkinkan ulama mengajarkan ilmu kepada lebih banyak orang melalui platform digital,” pungkasnya.