Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Keislaman

Resolusi 2023: Hindari Selingkuh karena Dilaknat Agama

Resolusi tahun 2023 setiap kepada pasangan sah dan menghindari selingkuh. (Foto: NOJ/HaloDokter)

Apa yang hendaknya menjadi komitmen atau resolusi pada tahun 2023 ini? Setidaknya ada keinginan kuat dalam diri yang hal tersebut menjadi kebulatan tekad untuk direalisasikan pada tahun ini. Salah satunya adalah setia kepada pasangan sah, dalam artian hindari selingkuh


Perlu diketahui bahwa secara harfiah, resolusi diartikan sebagai pernyataan berisi tuntutan tentang suatu hal. Sedangkan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), resolusi didefenisikan sebagai putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang). Jika merujuk pada KBBI, resolusi pas digunakan dalam konteks tuntutan hasil rapat satu kelompok, organisasi atau semacamnya yang akan diajukan.


Namun saat ini, kata resolusi mengalami perluasan makna. Tahun baru 2023, sebagian masyarakat mungkin sudah menulis apa saja resolusi dan harapan di tahun baru.  Agar resolusi 2023 bisa sukses terwujud, kita perlu menerapkan beberapa tips agar resolusi tersebut tidak menjadi wacana saja. Dan di antara resolusi 2023 adalah untuk tidak menyakiti pasangan sah, apalagi selingkuh.


Karena seperti diketahui bahwa akhir-akhir ini baik di kota maupun desa perselingkuhan semakin marak. Baik itu yang memulainya kalangan laki-laki maupun perempuan. Bahkan terbaru, peselingkuhan dilakukan seorang laki-laki dengan ibu mertuanya, naudzubiullahu mindzalik


Islam dan Perselingkuhan 
Perlu diketahui bahwa perselingkuhan adalah yang menjadi salah satu pemicu tingginya angka perceraian. Karenanya, dalam pandangan Islam, upaya apapun yang merusak keutuhan rumah tangga orang lain adalah haram. Bahkan tindakan merusak hubungan rumah tangga orang lain termasuk dalam kategori dosa besar. 


Salah satu argumentasinya adalah meminang (khitbah) seorang perempuan yang sudah dipinang laki-laki lain saja dilarang, apalagi mendekati dan merusak hubungan seorang wanita dengan suaminya. 


Dalam sebuah hadits dikatakan:  


وَمَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَلَيْسَ مِنَّا -رواه النسائي


Artinya: Dan barang siapa yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya maka ia bukan termasuk dari golongan kami. (HR An-Nasai). 


Dari penjelasan singkat ini maka dapat dipahami bahwa hubungan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang statusnya masih bersuami adalah hubungan terlarang. Dan lelaki tersebut dianggap sebagai perusak. Jika pada akhirnya keduanya bercerai, kemudian si perempuan menikah dengan laki-laki selingkuhannya, apakah hubungan terlarang tersebut berdampak bagi status hukum pernikahan mereka? 


Madhzab Maliki

Pendapat yang sangat keras disampaikan oleh Madzhab Maliki. Jika ada seseorang laki merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, kemudian suaminya menceraikan perempuan tersebut, lantas laki-laki yang merusak hubungan itu, setelah selesai masa iddah, menikahinya maka pernikahannya harus dibatalkan, walaupun setelah terjadi akad nikah. Sebab terdapat kerusakan dalam akad. Perhatikan penjelasan berikut ini: 


 وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْأَجْهُورِيُّ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى مَا نَصُّهُ ذَكَرَ الْأَبِيُّ مَسْأَلَةً مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا أَنَّهُ يُفْسَخُ , وَلَوْ بَعْدَ الْبِنَاءِ , فَإِنَّهُ نُقِلَ عَنْ ابْنِ عَرَفَةَ أَنَّ مَنْ سَعَى فِي فِرَاقِ امْرَأَةٍ لِيَتَزَوَّجَهَا فَلَا يُمْكِنُ مِنْ تَزْوِيجِهَا وَاسْتَظْهَرَ أَنَّهُ إنْ تَزَوَّجَ بِهَا يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ لِمَا يَلْزَمُ عَلَى ذَلِكَ مِنْ الْفَسَادِ


Artinya: Syaikh Ali al-Ajhuri RA berkata—bunyinya adalah—bahwa Al-Abiyyu menjelaskan masalah orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya, bahwa pernikahan keduanya (lelaki yang merusak dan wanita yang dirusak) itu harus dibatalkan walau setelah akad nikah. Pandangan ini sebenarnya dinukil dari Ibnu Arafah yang menyatakan, bahwa barang siapa yang berusaha memisahkan seorang perempuan dari suaminya agar ia bisa menikahi perempuan tersebut, maka tidak mungkin baginya (tidak diperbolehkan, pent) untuk menikahinya. Dan hal ini menjadi jelas bahwa jika lelaki menikahihnya maka pernikahannya harus dibatalkan baik sebelum atau sesudah akad karena hal itu menyebakan kerusakan dalam (akad, pent). (Muhammad bin Ahmad bin Muhammad ‘Alisy, Fath al-‘Ali al-Malik fi al-Fatwa ‘ala Madzhab al-Imam Malik, Bairut-Dar al-Ma’rifah, tt, juz, 1, halaman: 397)     


Jika kita cermati pandangan Madzhab Maliki di atas, maka konsekwensinya adalah pihak perempuan yang telah diceraikan suaminya haram dinikahi oleh si lelaki yang menyebabkan perceraian tersebut selama-lamanya. Namun ada juga pandangan lain dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa yang demikian itu tidak selamanya haram dinikahi. Dan hal ini dianggap tidak bertentangan dengan pandangan di atas yang menyatakan harus dibatalkan baik sebelum akad maupun setelahnya.


Perhatikan penjelasan berikut: 


 مَنْ أَفْسَدَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا فَطَلَّقَهَا زَوْجُهَا ثُمَّ تَزَوَّجَهَا الْمُفْسِدُ الْمَذْكُورُ بَعْدَ انْقِضَاءِ عِدَّتِهَا فَلَا يَتَأَبَّدُ تَحْرِيمُهَا عَلَيْهِ وَذَلِكَ لَا يُنَافِي أَنَّ نِكَاحَهُ يُفْسَخُ قَبْلَ الْبِنَاءِ وَبَعْدَهُ


Artinya: Barang siapa merusak hubungan seorang istri dengan suaminya kemudian si suami menceraikannya, lalu si lelaki perusak tersebut menikahinya setelah selesai masa iddah, maka keharaman perempuan tersebut atas si lelaki perusak tidak menjadi selamanya. Dan hal itu tidak bertentangan dengan pandangan yang menyatakan bahwa pernikahannya harus dibatalkan sebelum akad atau sesudahnya. (‘Ali al-‘Adwi, Hasyiyah al-‘Allamah asy-Syaikh ‘Ali al-‘Adwi pada Hamisy Abi ‘Abdillah Muhammad al-Kharsyi, Syarh al-Kharsyi ‘ala Mukhtashar Khalil, Bulaq-al-Mathba’ah al-Amiriyah, 1317 H, juz, 3, halaman: 170-171) 


Madzhab Syafii dan Hanafi

Sedang menurut Madzhab Hanafi dan Syafii perusakan terhadap hubungan istri dengan suaminya tidak mengharamkan pihak yang merusak untuk menikahinya. Tetapi pihak yang merusak itu termasuk orang yang paling fasik, tindakannya merupakan maksiat yang paling mungkar dan dosa yang paling keji di sisi Allah SWT.


Perhatikan pendapat berikut ini: 


 اَلْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ قَالُوا: إِنَّ إِفْسَادَ الزَّوْجَةِ عَلَى زَوْجِهَا لَا يُحَرِّمُهَا عَلَى مَنْ أَفْسَدَهَا بَلْ يَحِلُّ لَهُ زَوَاجُهَا وَلَكِنْ هَذَا الْإِنْسَانُ يَكُونُ مِنْ أَفْسَقِ الْفُسَّاقِ وَعَمَلُهُ يَكُونُ مِنْ أَنْكَرِ أَنْوَاعِ الْعِصَيَانِ وَأَفْحَشِ الذُّنُوبِ عِنْدَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


Artinya: Para ulama Madzhab Hanafi dan Syafii berpendapat bahwa perusakan hubungan seorang istri dengan suaminya tidaklah menyebabkan haram bagi pihak laki-laki yang merusakknya untuk menikahinya, bahkan menikahinya itu halal bagi bagi si lelaki perusak. Tetapi si perusak ini termasuk orang yang paling fasik, tindakannya termasuk salah satu kemaksiatan yang paling mungkar, dan dosa yang paling keji di sisi Allah SWT kelak pada hari kiamat

 

Terlepas dari perbedaan pandangan para ulama mengenai hukum pernikahan orang yang merusak rumah tangga orang lain, yang jelas tindakan tersebut adalah masuk kategori dosa besar, dan sudah seharusnya dihindari. Dengan pertimbangan saddudz-dzariah (menutup jalan keburukan), maka pandangan dari Madzhab Maliki yang menyatakan bahwa lelaki yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya diharamkan untuk menikahinya selamanya, adalah perlu dijadikan pertimbangan. 

 

Artikel diambil dariHukum Pernikahan yang Dihasilkan dari Perselingkuhan

 

Pesan yang ingin disampaikan bahwa jangan sekali-kali mengganggu kehidupan rumah tangga orang lain karena itu masuk kategori dosa besar di sisi Allah SWT dan menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Wallahu a’lam.

Syaifullah
Editor: Ahmad Karomi

Artikel Terkait