Surabaya, NU Online Jatim
Hubungan seks sedarah atau inses dipandang dari sudut pandang apapun tetap mencederai nilai-nilai moral. Hal tersebut harus dicegah agar tidak meluas dan menimbulkan dampak yang buruk bagi keluarga dan masyarakat.
Dokter Umum Klinik Healthcare Kalisari, Jakarta Timur Salwa menjelaskan upaya yang dapat dilakukan masyarakat Indonesia untuk mencegah terjadinya hubungan seksual sedarah di dalam keluarga.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Pertama, memberikan edukasi seksual kepada masyarakat atau keluarga terutama untuk anak-anak usia dini.
"Kita harus mengajarkan anak batasan-batasan tubuh yang boleh dipegang atau tidak, yang boleh disentuh atau tidak, yang boleh dilihat atau tidak, menggunakan istilah yang jelas dan tidak tabu. Misalnya penis, vagina, agar anak tidak bingung saat melapor," jelasnya saat diwawancarai NU Online pada Ahad (25/5/2025).
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Ia menambahkan, pendidikan seks usia dini bisa dimulai dengan hal sederhana. Seperti saat memandikan anak atau saat buang air kecil dan besar, orang tua harus meminta izin atau bilang permisi ketika hendak membersihkannya.
"Dan bilang ke anak tidak boleh sembarangan orang menyentuh atau melihat (kemaluan), hanya anak saja," ungkapnya.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Kedua, membangun keterbukaan komunikasi dalam keluarga. Menurut Salwa, hubungan inses justru dipicu oleh ketidakbahagiaan atau ketidakharmonisan hubungan keluarga. Misal, hubungan ayah dan ibu tidak harmonis sehingga anak menjadi pelampiasan.
"Dan harus dibangun komunikasi yang terbuka, jadi anak itu bisa bebas bercerita dan aman bercerita ke ibu atau ayahnya," tuturnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Ketiga, batasi interaksi yang berisiko. Misalkan saja pelukan yang berlebihan antara anak dan orang tua, tidur di kasur yang sama antara anak dan orang tua saat anak sudah beranjak dewasa, tidur sekasur antara anak laki-laki dan perempuan ketika mereka mulai tumbuh dewasa.
Keempat, menolak normalisasi candaan seksual terhadap sedarah dalam keluarga, seperti mencium atau memegang sesuatu yang tabu seperti payudara atau bokong. "Tegas menolak hal tersebut," ujarnya.
Kelima, perkuat internalisasi nilai-nilai agama dan moral. Nilai-nilai agama dan moral bersifat memagari seseorang agar tidak berbuat asusila seperti melakukan kekerasan seksual apalagi sedarah.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
"Intinya agama sebagai pegangan hidup utama dan kasih tahu anak, kalau terjadi sesuatu yang tidak pantas harus melapor. Dan tidak takut melaporkan tersebut apalagi ke Komnas HAM atau ke manapun itu. Jadi langkah-langkah tadi harus diterapkan di keluarga," katanya.
Dokter alumni Madrasah Aliyah (MA) Raudlatul Ulum Guyangan Trangkil Pati Jawa Tengah ini mengatakan, hubungan seks sedarah atau inses merupakan hal yang melanggar nilai-nilai universal, termasuk nilai etik dan sosial. Menurutnya, inses akan dipandang tabu di semua budaya dan agama.
"Karena berpotensi merusak struktur sosial dan keluarga," tuturnya.
Ia menambahkan kemunculan grup-grup sejenis fantasi sedarah di medsos dianggap buruk karena menormalisasi hubungan sedarah. Ini berbahaya secara etika dan sosial. Bahkan kehadiran grup tersebut dapat dikategorikan melanggar hukum apabila di dalamnya berisi hasutan-hasutan untuk berhubungan inses apalagi melibatkan anak di bawah umur.
Salwa menegaskan, kemunculan grup seperti di atas dapat memicu munculnya predator-predator seksual. "Mereka akan mencari cara, mencari informasi dan lain-lain sehingga mereka membenarkan hasrat seksual yang salah untuk mereka," ucapnya.
"Jadi jelas, meskipun grup semacam ini dibungkus di ruang fantasi, tetap saja berbahaya. Dapat menormalkan perilaku yang merusak, melanggar hukum dan mencederai nilai-nilai kemanusiaan," lanjutnya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND