Halaqah II Nawaning Nusantara, Buya Husein Soroti Darurat Kekerasan Seksual di Pesantren
Ahad, 12 Januari 2025 | 11:00 WIB
Risma Savhira
Kontributor
Surabaya, NU Online Jatim
Tokoh ulama yang aktif mengampanyekan kesetaraan gender dalam Islam, KH Husein Muhammad atau yang akrab disapa Buya Husein menyoroti kondisi darurat kekerasan seksual yang terjadi, termasuk di lingkungan pesantren.
Menurutnya, kekerasan seksual harus segera ditangani dengan pendekatan yang adil, komprehensif, dan holistik, khususnya di institusi pendidikan berbasis agama. Buya Husein menjelaskan, kekerasan seksual tidak hanya terjadi di ranah publik, tetapi juga di institusi pendidikan, termasuk pesantren.
“Kasus-kasus tersebut melibatkan korban perempuan dari berbagai usia dan latar belakang, termasuk santriwati, dan sering kali dilakukan oleh pelaku yang menyalahgunakan kekuasaannya,” ujarnya dalam Halaqah II Nawaning Nusantara, Forum Silaturrahim Pengasuh dan Dzurriyah Muda Perempuan Pesantren se-Indonesia, Sabtu (11/01/2024).
Pihaknya menyebut, akar dari persoalan ini adalah relasi kekuasaan yang timpang, di mana pelaku menggunakan posisinya untuk melakukan tindakan kekerasan. Situasi ini menuntut pembenahan menyeluruh terhadap sistem pendidikan dan budaya di pesantren agar lebih inklusif, adil, dan menghormati Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam konteks pesantren, Buya Husein menawarkan enam langkah strategis sebagai solusi untuk mengatasi kasus kekerasan seksual:
1. Mengembangkan Perspektif Kesetaraan dan Kemanusiaan. Pesantren harus menghapus relasi diskriminasi gender dengan membangun kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang setara.
2. Pendidikan Hak-Hak Asasi Manusia yang Universal. Mengintegrasikan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah (akhlak mulia) ke dalam sistem pendidikan pesantren untuk membangun kesadaran akan hak-hak dasar manusia.
3. Metode Pendidikan yang Dialogis. Pesantren perlu mengadopsi metode pendidikan berbasis dialektika intelektual, bukan indoktrinasi, untuk menumbuhkan kesadaran kritis para santri.
4. Rekonstruksi dan Kontekstualisasi Ajaran Teks Keagamaan. Melakukan reinterpretasi ajaran yang membahas relasi gender agar lebih relevan dengan konteks zaman modern tanpa mengabaikan nilai-nilai keislaman.
5. Penerapan Nilai Adab dan Tawadhuk.Membangun budaya sosial di pesantren yang berlandaskan etika dan tawadhu (rendah hati) dalam berinteraksi dengan siapa pun.
6. Pendirian Women Crisis Center (WCC) di Pesantren. Pesantren diharapkan menjadi pelopor dalam menangani kasus kekerasan seksual melalui pendirian Women Crisis Center (WCC) sebagai lembaga yang memberikan perlindungan dan bantuan hukum bagi korban.
Buya Husein juga mengingatkan bahwa perempuan termasuk santriwati memiliki seluruh potensi kemanusiaan yang sama dengan laki-laki, baik secara intelektual, spiritual, maupun fisik. Oleh karena itu, perempuan berhak mendapatkan perlakuan setara dan penghormatan penuh atas hak-hak kemanusiaannya.
Halaqah ini dihadiri oleh para pengasuh pesantren, ulama, dan aktivis perempuan dari berbagai daerah. Dalam diskusi, para peserta sepakat untuk menjadikan pesantren sebagai ruang aman yang melindungi perempuan dari segala bentuk kekerasan.
Dengan pendekatan yang berlandaskan kesetaraan, kemanusiaan, dan nilai-nilai keislaman, diharapkan kasus kekerasan seksual di pesantren dapat ditekan, dan pesantren mampu menjadi model pendidikan yang adil dan bermartabat.
Terpopuler
1
Hukum dan Keutamaan Puasa 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah
2
Dilantik, Ansor Singosari Malang Tegaskan Pengabdian dan Inovasi Organisasi
3
Jaga Pangan Nusantara, GP Ansor Pacitan Dorong Kader ke Sektor Pertanian
4
Gus Ahmad Kafabihi Ajak Kader Ansor Aktif Dakwah Digital dan Amalkan Ijazah Kubro
5
10 Awal Bulan Dzulhijjah, Inilah Dalil Anjuran untuk Memperbanyak Dzikir
6
LF PBNU: Idul Adha di Indonesia Berpotensi Berbeda dengan Arab Saudi
Terkini
Lihat Semua