NU Online

Idul Adha Berbeda pada Masa Sahabat Nabi Sudah Terjadi

Jumat, 1 Juli 2022 | 20:00 WIB

Idul Adha Berbeda pada Masa Sahabat Nabi Sudah Terjadi

Ilustrasi.

Jakarta, NU Online Jatim

Perbedaan perayaan Idul Adha sudah terjadi sejak masa sahabat Nabi. Bukan hanya pada masa sekarang. 


Dengan demikian, tidak perlu dirisaukan. Apalagi meributkan perbedaan ini sungguh tidak patut untuk dilakukan. Sebab, perbedaan Idul Adha sudah biasa di kalangan umat Islam.

ADVERTISEMENT BY OPTAD


Seperti diketahui, Pemerintah RI melalui Kementerian Agama telah menetapkan awal bulan Dzulhijjah jatuh pada 1 Juli 2022. Dengan demikian, Idul Adha bertepatan pada 10 Juli 2022. Penetapan Kementerian Agama RI tersebut berbeda dengan Pemerintah Arab Saudi yang menetapkan pelaksanaan wukuf di Arafah pada 8 Juli 2022 dan Idul Adha pada 9 Juli 2022.

 

Menyikapi perbedaan tersebut, Wakil Katib Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jakarta, KH Taufik Damas menegaskan bahwa perbedaan hari raya Idul Adha tidak perlu diributkan.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

“Perbedaan tanggal hari raya Idul Adha tidak usah diributkan. Biasa-biasa saja. Saling hormat saja,” ujar KH Taufik Damas, Jumat (1/7/2022).

 

Dia mengisahkan bahwa dulu ada seorang Tabi`in bernama Kuraib melakukan kunjungan ke Syam. Tak lama sampai, masuklah awal Ramadhan. Ia dan penduduk Syam melihat hilal pada hari Jumat. Setelah urusan selesai, Kuraib kembali ke Madinah. Ia sampai di Madinah pada akhir bulan Ramadhan.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

“Ia menceritakan kepada Ibnu Abbas bahwa penduduk Syam melihat hilal pada hari Jumat. Sedangkan Ibnu Abbas dan penduduk Madinah melihat hilal pada hari Sabtu. Kuraib bertanya kepada Ibnu Abbas: mengapa anda dan penduduk Madinah tidak ikut Muawiyah (di Syam) soal ru'yah? Ibnu Abbas menjawab bahwa dirinya dan penduduk Madinah melihat hilal pada hari Sabtu. Beginilah Rasulullah Saw. mengajarkan kami (soal ru'yah),” jelas Kiai Taufik.

 

“Jarak Syam dan Madinah sekitar 1.120 kilometer. Mathla' keduanya sudah berbeda mathla'. Apalagi jika jaraknya sejauh Arab Saudi dan Indonesia. Tentunya mathla'-nya sangat berbeda,” imbuh dia.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Sementara itu, Pengasuh Ma’had Arrohimiyyah Cengkareng dan Serang, KH Muhammad Ishom menjelaskan bahwa berbeda lebaran haji sudah biasa dari dulu. Di dalam Al-Qur’an yang jelas-jelas dikatakan "yaumul hajjil akbar" (hari haji yang agung).

 

“Itu saja terjadi perbedaan pandangan di antara sahabat seperti pendapat Ali bin Abi Thalib dengan sahabat Nabi yang lain. Padahal sudah menggunakan kata hari,” terang Kiai Muhammad Ishom, Kamis (30/6/2022) dilihat NU Online lewat Facebooknya, Kang Ishom.

 

Dia menerangkan, perbedaan sudut pandang ini pun diwarisi oleh generasi berikutnya. Kiai Ishom menukil hadits dalam kitab Tafsir at-Thabari juz VI halaman 71 yang menyebutkan, “Abu Basyar berkata: telah bersanggah-sanggahan antara Ali bin Abdullah bin Al-Abbas dengan seorang lelaki dari keluarga Syaibah mengenai kapan terjadinya hari haji yang agung. Ali bin Abdullah berkata hari itu ialah hari Idul Adha. Sedangkan pihak lainnya berpendapat hari Arafah. (Karena tidak puas) diutuslah seseorang untuk bertanya kepada Said bin Jabir. Beliau berpendapat hari itu adalah hari Idul Adha.”

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Kiai Ishom menyebut, betapa Al-Qur’an sudah menyebut kata hari, namun terjadi perbedaan tentang kapan waktunya. Apalagi puasa sunnah Arafah dan shalat sunnah Idul Adha yang tidak menyebutkan rangkaian kata hari Arafah maupun hari Idul Adha.

 

“Demikianlah logika sederhana untuk menjawab kenapa lebaran haji di Arab berbeda dengan lebaran haji di negeri kita ini: tanpa daqiq-daqiq menggunakan teori ilmu falaq. Gitu saja koq repot!” tandas Kiai Ishom.

 

Pewarta: Fathoni Ahmad
Editor: Aiz Luthfi

ADVERTISEMENT BY ANYMIND