Menjawab Tuduhan Soekarno atas Al-Asy'ari soal Bekunya Pemikiran Islam
Rabu, 6 November 2024 | 16:00 WIB
Oleh: Musthafa Kamal *)
Soekarno pada tahun 1930-an saat masih berada di Endeh aktif menulis persoalan pembaharuan pemikiran Islam. Hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisannya yang terangkum dalam bukunya yakni, Islam Sontoloyo. Ia sangat gencar menuntut umat Islam untuk rethingking of Islam. Bahkan dalam yang demikian ini beliau tulis beberapa kali dalam suatu pembahasan.
Setidaknya cara pandang Soekarno terhadap pemikiran Islam dalam hal penggalian hukum menggunakan Al-Qur’an dan Hadis serta akal rasional. Apabila nash tersebut bertentangan dengan akal, maka akal harus mencari relevansinya dengan nash. Pemikiran ini agaknya mirip dengan pemikiran Ibnu Rusyd dalam bukunya Fasl al-Maqal fi ma Baina Syariah wa al-Ittishal:
ADVERTISEMENT BY OPTAD
وإن كانت الشريعة نطقت به، فلا يخلو ظاهر النطق أن يكون موافقاً لما أدى إليه البرهان فيه أو مخالفاً. فإن كان موافقاً، فلا قول هنالك. وإن كان مخالفاً، طلب هنالك تأويله
”Bahwa syariat apabila diungkapkan, maka teksnya adakalanya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh akal dan adakalanya tidak sesuai. Jika sesuai maka tak ada persoalan di situ. Jika tidak sesuai, maka akal harus mentakwil syariat tersebut agar sesuai dengan akal”.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Dalam satu contoh misalnya, Soekarno harus walk out dari forum rapat Muhammadiyah karena terdapat tabir atau penghalang antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, tabir merupakan simbol perbudakan bagi kaum hawa. Al-Qur’an dan Hadis tidak pernah menuntut agar mengadakan tabir melainkan agar senantiasa menjaga pandangan. Tabir mungkin sebagai sebuah tindakan preventif (Sadd Adz-Dzariat) untuk menjaga perintah nash tersebut.
Namun dengan kuatnya tekad Soekarno, ia tetap menolak pendapat tersebut dengan logika yang sama juga. ”Jika mencuri itu dilarang, lantas mengapa kita tak kunci kita punya sudut-sudut rumah, jika berkata bohong itu dilarang, mengapa kita tak jahit saja kita punya mulut. Toh, membisu tidak dilarang”.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Islam di mata Soekarno adalah agama yang terus berkembang (Panta Rei, terus mengalir. Istilah yang digunakan oleh Heraklitus) dan tidak saklek. Baginya, agama itu benar, Al-Qur’an dan Hadis benar, sementara pikiran manusia lah yang bisa benar dan salah serta terus mengalami evolusi. Sehingga tidak dibenarkan apabila akal yang dianugerahi oleh Tuhan hanya dibiarkan tidak berpikir sama sekali oleh karena ajaran taklidisme, monopoli seorang fakih dan tarikat dan sebagainya.
Dalam satu tulisannya pada bagian ”Memudakan Pemikiran Islam”, Soekarno menyingung seorang tokoh yang tersohor yakni, Imam Abu Hasan Al-Asy’ari seorang figur yang sangat dikenal di kalangan ulama sunni lebih-lebih di kalangan Nahdliyin.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Bagi Soekarno, Al-Asy’ari adalah penyebab membekunya pemikiran di kalangan Islam. Ia adalah tokoh yang menjadi pokok pangkalnya taklidisme, patriotisme (kependetaan) dalam tubuh Islam. Akibatnya, Islam tidak dapat dipikirkan secara bebas merdeka. Islam hanya menjadi alat monopoli ahli fikih dan tarikat. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah benar Al-Asy’ari pelopor dari bekunya pemikiran Islam?
Sesungguhnya tulisan mengenai tuduhan dan jawaban atas tuduhan kepada Al-Asy’ari telah banyak ditulis oleh para cendekiawan Islam sebut saja misalnya, Ulil Abshar Abdalla. Tulisan Ulil mengenai jawaban atas tuduhan itu sangat-sangat ringan untuk dicerna. Dalam tulisannya, Gus Ulil menjawabnya pertama-tama dengan sebuah pertanyaan apakah anak cucu atau dengan kata lain pengikut Al-Asy’ari mengalami kemunduran dalam wilayah pemikiran Islam?
Para pengikut Al-Asy’ari dalam konteks Indonesia tentu sangat banyak sekali. Perlu diingat dalam paham teologis, mayoritas masyarakat muslim di Indonesia mengikuti preskpektif Al-Asy’ari. Dan tak jarang dari mereka yang memiliki pemikiran yang melampaui zamannya.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Sebagai contoh misalnya, KH Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Jelas jamak diketahui bahwa Gus Dur banyak berperan dalam ihwal pembaharuan pemikiran Islam yang lebih kritis dan progresif. Bukan hanya itu, Gus Dur juga berperan dalam memperkenalkan pemikiran Islam dari cendikiawan timur seperti misalnya Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Abid Al-Jabiri, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain sebagainya.
Kembali ke pembahasan awal, persoalan kemudian hari ini Islam mengalami kemunduran dalam hal pemikiran kita semua harus mengiyakan itu. Namun bukan berarti mengalamatkan tuduhan bahwa yang harus bertanggung jawab atas hal ini adalah Al-Asy’ari. Tuduhan yang semacam ini menurut penulis sangatlah berlebihan dan tidak mendasar. Sebab Al-Asy’ari hanya hendak meluruskan paham teologis dengan pendekatan yang menurutnya benar melalui ajaran sifatiyah-nya. Hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih.
Untuk mendiagnosa dan memberikan terapi atas kenyataan bahwa pemikiran Islam hari ini mengalami kemunduran tentu harus dianalisis secara komprehensif. Pastinya kenyataan hari ini bahwa Islam telah mundur secara sumbangsih pemikiran karena umat Islam hari ini tidak membaca ulang atau bahasa Soekarno tidak heorientie dan hecorrectie atas pendapat-pendapat pemikir di masa lalu. Sehingga gagal dan gagap dalam melihat realitas hari ini.
Meski begitu, pemikiran-pemikiran Soekarno seputar pembaharuan Islam layak direfleksikan kembali. Bahwa hari ini pemikiran Islam harus dikoreksi dan rekonstruksi agar sesuai dengan keadaan zaman.
Soekarno menulis bahwa ”Pokok tidak berubah, agama tidak berubah, Islam sejati tidak berubah, firman Allah dan sunah Nabi tidak berubah, tetapi pengertian manusia tentang hal-hal ini lah yang berubah. Pengoreksian pengertian itu selalu ada dan mesti selalu ada”. Pintu ijtihad tidak ditutup dan tertutup. Sehingga koreksi harus senantiasa ada tanpa memandang status quo.
Menurut penulis, tuduhan Soekarno atas Al-Asy’ari mungkin dialamatkan kepada para pengikutnya yang kolot dan hendak menjadikan Islam berada di bawah kaki ulama yang konservatif dan irasionalistis. Oleh karena itu, Soekarno ingin bahwa Islam Indonesia harus melaju dan bersanding dengan zaman dengan tetap bermuara pada nash syar’i dan rasionalitas.
Pada akhirnya, rekonsiliasi pemikiran Soekarno maupun Al-Asy’ari melalui anak cucu ideologisnya sama-sama hendak menjadikan Islam sebagai agama yang shalih li kulli zaman wa makan agama yang relevan serta mampu menjawab tantangan ruang dan waktu.
*) Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND