• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Senin, 29 April 2024

Opini

Urgensi Bermadzhab di Tengah Fenomena ‘Madzhab Soekarno’

Urgensi Bermadzhab di Tengah Fenomena ‘Madzhab Soekarno’
Ir Soekarno atau Bung Karno. (Foto: NOJ/ PS)
Ir Soekarno atau Bung Karno. (Foto: NOJ/ PS)

Oleh: Safilatul Khoirot *)
 

Sumber rujukan utama umat muslim ialah Al-Qur’an dan Sunnah. Namun, Al-Qur’an dan sunnah tidak dapat dipahami secara tekstual, tetapi juga diperlukan pemahaman secara kontekstual yang dapat diperoleh dengan cara istinbat (menggali hukum). Oleh karena itu, para ulama salafus saleh mengerahkan tenaga dan pikirannya dengan melakukan beberapa penelitian untuk bisa mendapatkan hukum sesuai yang dimaksud Al-Qur’an dan hadits. Hal ini akrab dikenal dengan proses ijtihad. Seseorang yang melakukan ijtihad disebut sebagai mujtahid.

 

Setiap mujtahid tentu memiliki pandangan yang berbeda dalam mencetuskan suatu hukum sesuai dengan latar belakang dan kondisi mereka yang kemudian menjadi ciri khas mereka masing-masing dan disebut sebagai madzhab. Tidak hanya itu, menjadi seorang mujtahid terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi, salah satunya ialah sumber hukumnya merujuk pada Al-Qur’an dan hadits.

 

Namun seiring berkembangnya zaman, terdapat sebagian kelompok yang enggan mengikuti madzhab yang sumber hukumnya jelas dari Al-Qur’an dan hadits bahkan terkodifikasi dan lebih memilih untuk mengikuti tokoh yang dianggap lebih layak namun justru tidak memenuhi syarat sebagai mujtahid dan diakui sebagai madzhab. Madzhab Soekarno merupakan salah satu contoh dari hal yang dimaksud.

 

Melihat realita yang terjadi, paham madzhab Soekarno tidaklah sesuai dengan teks hukum berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Oleh karenanya, seorang dapat dikatakan mujtahid dan pendapatnya layak dikatakan madzhab ketika telah memenuhi beberapa syarat. Di antaranya, harus menguasai bahasa Arab, menguasai ilmu usul fikih, menguasai ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, memahami hadits, mengetahui masalah-masalah ijma’ dan kejadiannya, serta mengetahui metode qiyas.

 

Bermadzhab sangat penting bahkan sebuah keharusan untuk mengikuti ulama-ulama yang telah mumpuni dan mencukupi syarat dalam ber-ijtihad, terutama dalam menjalankan ibadah yang bersifat furu’ sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 43: “Maka bertanyalah kalian kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.”

 

Firman Allah tersebut menjadi indikasi kuat bahwa Allah memerintahkan umat Islam yang tidak paham terhadap isi Al-Qur’an dan hadits untuk mengikuti atau bermadzhab pada mereka atau ulama yang lebih ahli perihal ilmu. Dengan tujuan memelihara dan menjauhi dari kesalahpahaman.

 

Terdapat empat madzhab yang disepakati oleh para ulama sebagai madzhab yang memiliki otoritas dan lebih dipercaya dalam menafsirkan Al-Qur’an  dan hadits, serta memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid. Yakni, madzhab Syafi’i, madzhab Hanafi, madzhab Maliki, dan madzhab Ahmad bin Hanbal atau Hanbali.

 

Sementara untuk madzhab soekarno, pada dasarnya bukan tidak bisa, hanya saja lebih pada ketidakmungkinan. Pasalnya, sosok tersebut tidak mempunyai keahlian berupa hukum fikih. Dengan kata lain, tidak pernah ditemukan fikih karangan atau hasil ijtihad Ir Soekarno, sehingga madzhab yang demikian tidak bisa diikuti.

 

Mengenai hukum ikut pada imam atau madzhab selain madzhab yang empat, ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwasanya tidak boleh ikut kepada selain madzhab yang empat, yakni Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sebagian ulama menyatakan boleh mengikuti madzhab selain madzhab empat dengan syarat tidak untuk difatwakan, dalam artian hanya untuk konsumsi pribadi.

 

*) Safilatul Khoirot, santri dan mahasiswi Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.


Opini Terbaru