Salah satu ibadah yang disarankan kala memasuki bulan Sya’ban adalah puasa. Nabi Muhammad SAW menyempatkan juga untuk puasa di bulan Sya’ban dengan sejumlah keterangan pendukung. Hanya saja, perlu dicatat bahwa ada sejumlah aturan yang hendaknya diperhatikan saat ingin melaksanakan ibadah ini.
Puasa Sya’ban adalah puasa yang dilakukan di bulan Sya’ban. Hukumnya sunah berdasarkan hadits-hadits shahih dari Nabi Muhammad SAW yang di antaranya adalah 2 hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ؛ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ. وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ)
Artinya: Diriwayatkan dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW sering berpuasa sehingga kami katakan: Beliau tidak berbuka. Beliau juga sering tidak berpuasa sehingga kami katakan: Beliau tidak berpuasa. Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadhan; dan aku tidak pernah melihat beliau dalam sebulan (selain Ramadhan) berpuasa yang lebih banyak daripada puasa beliau di bulan Sya’ban. (Muttafaqun ‘Alaih. Adapun redaksinya adalah riwayat Muslim).
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: ... كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً. (رواه مسلم)
Artinya: Diriwayat dari ‘Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW sering berpuasa Sya’ban seluruhnya, beliau sering berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja. (HR Muslim).
Hanya sampai 15 Sya’ban
Merujuk Imam an-Nawawi, para ulama menjelaskan bahwa redaksi kedua: ‘Beliau sering berpuasa Sya’ban kecuali sedikit saja’, merupakan penjelas bagi redaksi pertama, yaitu: ‘Rasulullah SAW sering berpuasa Sya’ban seluruhnya’. Redaksi kedua itu menjelaskan, maksud Rasulullah SAW sering berpuasa Sya’ban seluruhnya adalah berpuasa pada sebagian besarnya. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Al-Majmû’ Syarhul Muhaddzab, juz VI, halaman: 386).
Selain itu, ada hadits yang mengharamkan puasa pada separuh kedua bulan Sya’ban, yaitu:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا اِنْتَصَفَ شَعْبَانَ فَلَا تَصُومُوا. (رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ)
Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, sungguh Rasullah SAW bersabda: Ketika Sya’ban sudah melewati separuh bulan, maka janganlah kalian berpuasa. (HR Imam Lima: Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits ini maka puasa Sya’ban haram dilakukan bila dimulai pada tanggal 16. Puasa Sya’ban harus dimulai sebelum tanggal tersebut, sejak tanggal 1 atau paling maksimal tanggal 15. Bila sampai tanggal 15 belum berpuasa, maka haram berpuasa pada tanggal 16 sampai akhir Sya’ban sesuai petunjuk hadits tersebut.
Pengecualian
Dalam menjelaskan permasalahan ini secara lebih detail As-Sayyid al-Bakri menjelaskan 3 pengecualian keharaman puasa separuh kedua bulan Sya’ban sebagaimana berikut:
1. Disambung dengan puasa pada hari-hari sebelumnya, meskipun dengan puasa tanggal 15 Sya’ban. Semisal orang puasa pada tanggal 15 Sya’ban, kemudian terus berpuasa pada hari-hari berikutnya, maka tidak haram.
2. Bertepatan dengan kebiasaan puasa. Semisal orang biasa puasa Senin Kamis atau puasa Dawud, maka meskipun telah melewati separuh Sya’ban ia tetap tidak haram berpuasa sesuai kebiasaannya.
3. Merupakan puasa nazar atau puasa qadha’, meskipun qadha dari puasa sunah. Bila demikian maka tidak haram. (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Mu’în pada I’ânatut Thâlibîn, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, halaman: 273-274).
Setelah memperhatikan berbagai ketentuan hukum di atas, puasa Sya’ban dapat dilakukan satu, dua, atau tiga hari dan seterusnya sampai satu bulan penuh. Adapun Rasulullah tidak memuasainya satu bulan penuh agar tidak disalahpahami bahwa hukumnya adalah wajib. (Ibnu Hajar al-Haitami, Al-Fatâwal Kubral Fiqhiyyah, [Beirut, Dârul Fikr] juz II, halaman: 82).
Hikmah Puasa Sya’ban
Hikmah kesunahan memperbanyak puasa Sya’ban sangat banyak. Yang paling utama karena Sya’ban adalah bulan yang sering dilalaikan manusia sebab terjepit di antara dua bulan mulia yaitu Rajab dan Ramadhan, sehingga disunahkan puasa Sya’ban agar tidak lalai.
Selain itu, juga karena Sya’ban merupakan bulan laporan tahunan amal manusia kepada Allah SWT, sehingga disunahkan puasa Sya’ban agar saat laporan tahunan tersebut orang dalam keadaan berpuasa. Demikian ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
عن أُسَامَةَ بْنِ زَيْدٍ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ. قَالَ: ذَاكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ. (رواه النسائي وأبو داود وابن خزيمة. صحيح)
Artinya: Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid RA: Aku berkata: Wahai Rasulullah, saya tidak pernah melihat anda berpuasa satu bulan dari berbagi bulan sebagaimana puasa anda dari bulan Sya’ban. Beliau menjawab: Sya’ban itu bulan yang dilupakan manusia di antara Rajab dan Ramadhan. Sya’ban adalah bulan yang di dalamnya amal-amal dilaporkan kepada Tuhan semesta alam, maka aku senang amalku dilaporkan sementara aku sedang dalam kondisi berpuasa. (HR An-Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Khuzaimah. Shahîh). (Al-Haitami, Al-Fatâwal Kubrâ, juz II, halaman: 82; dan Ahmad bin Ali bin Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bâri Syarhu Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Ma’rifah, 1379 H], juz IV, halaman: 210).
Keutamaan Puasa Sya’ban
Adapun keutamaan puasa Sya’ban di antaranya adalah mendapatkan syafaat Rasulullah SAW pada hari kiamat kelak. Syekh Nawawi al-Bantani berkata:
وَالثَّانِي عَشَرَ صَوْمُ شَعْبَانَ، لِحُبِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صِيَامَهُ. فَمَنْ صَامَهُ نَالَ شَفَاعَتَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: Puasa sunah yang keduabelas adalah puasa Sya’ban, karena kecintaan Rasulullah SAW terhadapnya. Karenanya, siapa saja yang memuasainya, maka ia akan mendapatkan syafaat belau di hari kiamat. (Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fi Irsyâdil Mubtadi-în, [Bairut, Dârul Fikr], halaman: 197).
Tata Cara Puasa Sya’ban
Puasa Sya’ban secara teknis dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Niat dalam hati
Niat puasa baik dilakukan dengan niat puasa mutlak, seperti: Saya niat puasa, atau dengan cara yang lebih baik sebagaimana berikut:
نَوَيْتُ صَوْمَ شَعْبَانَ لِلّٰهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma sya’bâna lilâhi ta’âlâ.
Artinya: Saya niat puasa Sya’ban karena Allah ta’âlâ.
Selain niat di dalam hati juga disunahkan mengucapkannya dengan lisan. Sebagaimana puasa sunah lainnya, niat puasa Syaban dapat dilakukan sejak malam hari hingga siang sebelum masuk waktu zawal (saat matahari tergelincir ke barat), dengan syarat belum melakukan hal-hal yang membatalkan puasa sejak terbit fajar atau sejak masuk waktu subuh. (Al-Malibari, Fathul Mu’în, juz II, halaman: 223).
2. Makan sahur
Lebih utama makan sahur dilakukan menjelang masuk waktu subuh sebelum imsak.
3. Menahan diri
Melaksanakan puasa dengan menahan diri dari segala hal yang membatalkan, seperti makan, minum dan semisalnya.
4. Menjaga diri
Lebih menjaga diri dari hal-hal yang membatalkan pahala puasa seperti berkata kotor, menggunjing orang, dan segala perbuatan dosa.
Rasulullah SAW bersabda:
كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعِ وَالْعَطَشِ (رواه النسائي وابن ماجه من حديث أبي هريرة)
Artinya: Banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan kehausan. (HR an-Nasa’i dan Ibnu Majah dari riwayat hadits Abu Hurairah RA). (Abul Fadl al-‘Iraqi, Al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyad: Maktabah Thabariyyah, 1414 H/1995 M], juz I, halaman: 186).
Artikel diambil dari: Tata Cara Puasa Sya’ban: Hukum, Hikmah, Keutamaaan, dan Niat
5. Segera berbuka puasa
Saat tiba memasuki waktu maghrib hendaknya segera berbuka atau membatalkan puasanya. (Ibrahim al-Bajuri, Hâsyiyyatul Bâjuri ‘alâ Ibnil Qâsim al-Ghazi, [Semarang, Thoha Putra], juz I, halaman: 292-294).