• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Selasa, 15 Oktober 2024

Madura

Bacakan Rubaiyat Manaqib KH Muhammad Syarqawi dan Annuqayah

Bacakan Rubaiyat Manaqib KH Muhammad Syarqawi dan Annuqayah
Suasana Akrab Anjangsana Keliling Rutin Bani Syarqawi. (Foto : NOJ/ Firdausi).
Suasana Akrab Anjangsana Keliling Rutin Bani Syarqawi. (Foto : NOJ/ Firdausi).

Sumenep, NU Online Jatim

Rubaiyat adalah jalan suci bagi pemikir manusia, sebuah petualangan pikiran dan puisi yang membuat para penikmat puisi bisa terhubung secara pribadi antara abad ke 11 hingga ke dunia modern.

 

Seperti halnya K. M. Faizi seorang pengasuh pondok pesantren Al-Furqan Annuqayah daerah Sabajarin Guluk-Guluk dan juga seorang penyair dari pesantren yang melahirkan karya sastra dalam bentuk rubaiyat yang berkisah tentang perjalanan para pejuang yang lahir di Annuqayah.

 

Dosen Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (Instika) tersebut menjelaskan bahwa Rubaiyat Manaqib KH. Muhammad Syarqawi dibuat pada tanggal 17 Agustus 2019 dan dibacakan saat peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-74 di bukit Lancaran.

 

"Hari ini kami bacakan lagi di acara Akrab ke-5 Anjangsana Keliling Rutin Bani Syarqawi yang diselenggarakan di pondok pesantren Nurul Islam Karangcempaka Bluto dengan tujuan agar para Syarqawi Muda mengenal, mengingat, dan bisa mengambil ibrah perjuangan para leluhur terutama saat mensyiarkan agama Islam di Sumenep dan melawan penjajah," ungkapnya, Senin (12/10).

Tak sampai disitu, adapun teks puisinya sebagai berikut.

Pada tahun 1887 tahun Matahari.
Datanglah seorang lelaki saleh ke tempat ini.
Menanam dua batang pohon sawo.
Kata orang: itulah pokok pijak sebagai sandi.

Kiai Syarqawi meneroka sebidang tanah.
Semula hanyalah kandang, sedekah sebagai jariyah.
Sepetak huma yang jadi cikal-bakal bagi pesantren yang bernama Annuqayah.

 

 

Dari Kudus Kiai Muhammad As-Syarqawi berasal.
Bersama istri janda Kiai Gemma pindah ke Prenduan.
Setelah mengaji di Lasem, Hijaz, konon juga Pattani.
Guluk-Guluk, Madura-lah menjadi akhir jujukan.
Dari duapuluh lima keturunannya.
Duabelas orang yang menjadi penerusnya.

Sedangkan tigabelas lainnya wafat selagi kecil dan belum berkeluarga.
Mereka nyai Shalehah, Zubaidah, dan Jauharatun Naqiyah.

Adapun Abdullah Siraj, Abdullah Sajjad, dan Aisyah adalah adinda Kiai Bukhari, Idris, As’ad, dan Ilyas.
Yang terakhir Hamidah dan Halimatus Sa’diyah.
Said, Zainal Abidin, Sa’duddin, dan Rahmah.
Jawahir, Yahya, As’ad, dan Qomariyah.

Yasin, Abdul Malik, Na’imah, dan Maryam adalah 13 putra yang wafat belia, termasuk Aminah.
Dari enam kali pernikahan dan istri-istri.
Lahirlah banyak putra dan putri.

Merekalah yang melanjutkan langkah perjuangan.
Berrkah Kanjeng Sinuhun Sunan Kudusi.

Anak seberinda menyebar ke berbagai tempat.
Mengabdi dan menjadi pengayom umat.
Ada yang jadi petani, niagawan, dan pegawai.
Sebagian besar di bidang ilmu berkhidmat.
Bukan saja semata-mata di Pulau Madura.

Anak cucu Kiai Syarqawi ada di mana-mana.
Di Jawa, Sumatera, hingga Kalimantan.
Bahkan tercatat hingga di mancanegara.

Di Guluk-Guluk, empat orang putra bermukim.
Kiai Idris pindah ke Lempong, barat laut patobin.
Kiai Ilyas ke Lubangsa, Kiai Sajjad ke Latee.
Sementara Nyai Aisyah pindah ke Sabajarin.

Baru pada tahun sembilan belas tiga puluh tiga.
Annuqayah pun disemat sebagai nama.
Artinya bersih, tapi dengan maksud ilmiah.
Karena mengacu pada kitab ilmu agama.

 

Annuqayah adalah nama kitab karya As-Suyuthi.
Dijadikan nisbat oleh Kiai Khazin bin Ilyas Syarqawi.
Sebagai penanda peralihan bentuk pengajian.
Ke bentuk tingkatan dalam pengajaran madrasi.
Putra-putri Kiai Syarqawi diharuskan mengajar.
Baik dengan tingkah laku atau di langgar.
Itulah warisan agung sebagai leluri.
Dakwah bil-hal, dakwah memberi teladan.

Kiai Idris membangun jaringan ke luar.
Sedangkan Kiai Ilyas atur strategi dan mulang.

Sementara Kiai Sajjad yang maju melawan penjajah
Kiai Husain menantu mengayomi masyarakat sekitar.

Kiai Sajjad akhirnya gugur di Lapangan Kemmisan.
Karena taktik licik tentara penjajah kolonial.
Darah syahidnya menguar semerbak kesturi.

Demikian kata para penggotong memberikan kesaksian.
Itulah bercak darah perjuangan menuju merdeka.
Suatu hari kelam dalam Agresi Militer II Belanda.
Di ujung tahun 1947, muramlah langit pesantren.

Kiai Khazin menyusul wafat, seakan turut berduka.
Sang pahlawan telah pergi menorehkan sejarah.
Tapi anak cucu tak boleh berhenti apalagi menyerah.
Dengan pendidikan dan pengajaran.

Perjuangan harus berlanjut, haram berakhir sudah.
Wahai para santri Annuqayah, jangan lemah!
Kini kalian tahu, mengapa santri wajib tegar dan gagah.
Sebab yang hidup tak boleh redup melawan kebodohan.
Biarlah sang syahid yang wafat melawan penjajah.

 

Kontributor: Firdausi
Editor: Romza


Editor:

Madura Terbaru