• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Metropolis

Bedah Buku NU Sidoarjo Meriahkan Harlah Jamiyah Menuju Satu Abad

Bedah Buku NU Sidoarjo Meriahkan Harlah Jamiyah Menuju Satu Abad
Bedah buku 'NU Sidoarjo' di kantor MWCNU Buduran. (Foto: NOJ/Yuli R)
Bedah buku 'NU Sidoarjo' di kantor MWCNU Buduran. (Foto: NOJ/Yuli R)

Sidoarjo, NU Online Jatim

Momentum peringatan hari lahir atau Harlah Nahdlatul Ulama (NU) ke-95 masehi di Kabupaten Sidoarjo semakin terasa khidmat. Hal tersebut seiring dengan kehadiran buku berjudul “NU Sidoarjo” yang ditulis oleh tim Pengurus Cabang (PC) Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU) Sidoarjo. 

 

Buku setebal 471 halaman yang mengupas sejarah berdirinya NU di Sidoarjo, para tokoh dan ulama kharismatik, serta jejak dokumentasi ini kemudian menjadi bahan diskusi menarik. Kegiatan  dikemas dalam bedah buku yang digelar oleh Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Kecamatan Buduran, Jumat (29/01/2021).

 

Kegiatan yang dilangsungkan di kantor MWCNU setempat ini menghadirkan Ketua PC LTNNU Sidoarjo, M Subhan sebagai tim penulis dan Wakil Rais MWCNU Buduran, KH Syaiful Hadi selaku penanggap.

 

Pada kesempatan tersebut M Subhan menceritakan proses panjang penulisan buku ini dimulai dengan pencarian sumber informasi dan dokumen.

 

“Ini diawali dari buku Sejarah NU Sidoarjo yang ditulis oleh Imron Sha, Sekretaris PCNU Sidoarjo tahun 1995 setebal 19 halaman,” kata M Subhan. Lewat buku itu pula tim penulis menjadi mengerti kalau sebelum ada PCNU Sidoarjo terlebih dulu sudah ada PCNU Sepanjang dengan H Husin sebagai ketua, lanjutnya.

 

Informasi tersebut dijadikan pijakan awal oleh tim penulis, karena nama H Husin muncul sekitar tahun 1926-1928.

 

“Lantaran sudah tidak banyak dikenal lagi oleh generasi masa sekarang, akhirnya tim melakukan pelacakan pertama dengan meminta bantuan Ketua MWCNU Taman, H Ali Imron,” ungkapnya. Kebetulan putra KH Mas Toha ini tahu rumahnya dan pernah menerima foto H Husin dari pihak keluarga sebagai kenang-kenangan, lanjut dia.

 

Tentang aspek kesejarahan, Sidoarjo menurut Subhan hebat sejak dulu. Karena hampir semua tokoh pendiri NU pernah nyantri di Sidoarjo. “Kalau tidak nyantri di Tawangsari, Siwalan Panji atau di Sono, mbah Kiai Wahab dulu pernah mondok di Tawangsari,” tutur Subhan.

 

Dirinya mengungkapkan, baru menyadari bahwa ibunda KH Abdul Wahab Hasbullah berasal dari Desa Tawangsari, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo.

 

“Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dulu saat nyantri di Siwalan Panji. Tidak hanya belajar, bahkan dijadikan menantu oleh pengasuh pesantren,” ungkapnya.

 

Dalam pandangannya, itu menunjukkan kualitas Kiai Hasyim yang sangat bagus. Bahkan KH Kholil, gurunya para pendiri NU juga pernah mondok di Siwalan Panji.”Betapa hebatnya Sidoarjo ini,” ungkapnya.

 

Menurut pandangannya, apabila diurutkan lagi pusatnya sejarah NU di Sidoarjo bersumber di Kecamatan Buduran, yakni di Desa Siwalan Panji dan Desa Sono. Lebih jauh Subhan mengemukakan, penulis sengaja menulis humor-humor di belakang buku ini agar pembaca tidak terlalu tegang saat membacanya.

 

“Kita menyadari masih sangat banyak kekurangan di dalam buku ini, kami ini rintisan kedua, rintisan pertama tulisannya Pak Imron Sah,” akunya.

 

Ditekankan wartawan senior ini bahwa sejarah harus tertulis dan jangan terucap. Karena itu dirinya bersama tim sangat berharap ada penyempurnaan lagi dari generasi yang akan datang.

 

“Hal itu untuk penulisan tokoh NU kultural  menurut saya nantinya bisa ditulis dalam buku yang kedua,” tutupnya.

 

Sementara itu, KH Syaiful Hadi berharap buku tersebut bisa lebih sempurna dan menjadi rujukan utama bagi siapa saja yang ingin mengetahui NU Sidoarjo.

 

“Pertama, kalau bicara sejarah itu ada kulturnya, sosiologi, antropologi, dan dokumennya. Yang kedua, bahwa bahasa tutur dari narasumber bisa dijadikan sumber sejarah karena pelakunya masih banyak,” katanya.

 

Dirinya juga berharap bedah buku ini juga dilakukan di MWCNU. “Sehingga bisa muncul sejarah kearifan lokal lainnya,” harap Kiai Syaiful.

 

Editor: Syaifullah

 


Editor:

Metropolis Terbaru