• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 26 April 2024

Metropolis

Shalat Idul Adha di Rumah, Simak Penjelasan MUI

Shalat Idul Adha di Rumah, Simak Penjelasan MUI
Foto: suara.com
Foto: suara.com

Surabaya, NU Online Jatim

Kondisi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat Pandemi Covid-19 membuat segala urusan harus dilaksanakan tidak seperti biasanya. Tidak terkecuali Shalat Idul Adha pada tanggal 20 Juli 2021 mendatang sebaiknya dilaksanakan di rumah.  

 

Menurut anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Mukti Ali Qusyairi bahwa prosesi Lebaran Idul Adha tidak boleh hanya dipandang sebagai dimensi ritual tahunan semata. Karena shalat Idul Adha dan kurban memiliki dimensi-dimensi dan makna yang fungsional untuk mewujudkan tujuan pewahyuan risalah keislaman.

 

“Mungkin sebagian masyarakat mengasumsikan bahwa shalat Idul Adha harus berjamaah, padahal itu tidak. Karena hukum shalat Idul Adha sendiri adalah sunah muakkadah, itu menurut pendapat Imam Syafi'i. Jadi, pelaksanaannya boleh dilakukan secara munfarid (sendiri), yakni tidak berjamaah,” kata Kiai Mukti Ali sebagaimana ditulis NU Online, Jumat (16/07/2021).

 

Kiai muda lulusan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir ini menjelaskan, sebagaimana tertuang dalam kitab Hasyiyah Ibrahim al-Bajuri ala Fathil Qarib bahwa tidak ada kewajiban melakukan shalat Idul Adha secara berjamaah di masjid. Apalagi di musim wabah pandemi seperti sekarang kewajiban untuk melaksanakannya di rumah lebih ditekankan sebagai ikhtiar memutus rantai penularan.

 

“Melakukan shalat Idul Adha di masjid itu lebih utama karena memuliakan masjid, kecuali bila ada udzur (halangan). Nah, sekarang kan udzurnya pandemi, kalau memaksakan untuk kumpul di masjid itu kan bisa bahaya,” jelasnya.

 

Lebih lanjut Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DKI Jakarta ini mengungkapkan, dalam Qawaid al-Fiqhiyyah (Kaidah-Kaidah Fikih) bahwa bahaya itu harus dihilangkan dan harus dihindari agar tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain. Maka, sudah jelas imbauan yang dikeluarkan oleh Kementerian Agama RI bertujuan untuk mencegah terjadinya kemudaratan. 

 

“Kalau berkumpul kemudian saling menularkan berarti kan membahayakan orang lain dan itu hukumnya haram,” terangnya.

 

Kiai Mukti Ali juga menyampaikan, perasaan dilematis tentu akan menyelimuti hati umat muslim mengingat sebelumnya terdapat pula aturan peniadaan shalat Idul Fitri di rumah saja. Namun, momentum ini tanpa disadari justru dapat menambah ganjaran pahala bagi yang menaatinya. 

 

“Pertama, shalatnya sah meskipun munfarid. Kemudian dia juga mendapat pahala karena berusaha untuk tidak membahayakan orang lain dan dirinya sendiri,” tuturnya.

 

 

Ia juga mengingatkan kembali esensi sebenarnya dari Lebaran adalah memohon ampunan dalam rangka menambah ketaatan kepada Allah SWT. “Jadi, Lebaran itu bukan untuk orang yang memperindah pakaiannya atau kendaraannya, tetapi Lebaran itu untuk orang yang diampuni dosanya,” tandas Kiai Mukti Ali.


Editor:

Metropolis Terbaru