NU Online

Keterlibatan Langsung pada Konflik Negara Lain Jadi Bahasan Munas NU

Sabtu, 1 Februari 2025 | 13:00 WIB

Keterlibatan Langsung pada Konflik Negara Lain Jadi Bahasan Munas NU

Munas NU 2025 bahas keterlibatan dalam konflik negara lain (freepik)

Perang dan konflik akan selalu ada sepanjang umur umat manusia, termasuk di zaman modern ini. Meski banyak orang selalu mendukung perdamaian dan mengecam peperangan, serta telah ada perjanjian damai antarnegara yang tergabung di PBB, nyatanya peperangan dan penjajahan masih saja terjadi. Paling hangat tentu konflik Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, dan perang saudara di Suriah yang berujung kudeta.

 

Konflik yang melanda beberapa negara ini menjadi salah satu isu paling kompleks dan menyita perhatian dunia internasional. Palestina dan Suriah khususnya, dalam beberapa dekade terakhir terus dilanda pergolakan politik, konflik bersenjata, dan krisis kemanusiaan yang mengakibatkan jutaan orang kehilangan nyawa, tempat tinggal, serta masa depan mereka.
 

Palestina telah menjadi simbol perjuangan melawan penjajahan modern. Rakyatnya terus mengalami penderitaan akibat pendudukan yang tidak kunjung berakhir. Suriah menjadi saksi tragedi kemanusiaan yang menghancurkan peradaban negara akibat perang saudara berkepanjangan yang melibatkan berbagai pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.
 

Karena konflik melanda negara dengan mayoritas penduduk muslim, kaum muslimin di berbagai belahan dunia pun merasa prihatin dan simpati, tak terkecuali di Indonesia. Berbagai aksi mulai dari unjuk rasa dan galangan dana, hingga boikot produk senantiasa digaungkan oleh masyarakat Indonesia khususnya yang beragama Islam. Hal ini menunjukan kepedulian muslim Indonesia terhadap saudara seimannya di belahan dunia lain. 
 

Islam merupakan agama dengan ajaran yang sarat kepedulian, utamanya terhadap kaum lemah dan terzalimi. Zakat yang membawa misi pengentasan kemiskinan, ketentuan tasaruf daging kurban dan akikah yang harus ada bagian untuk fakir-miskin menjadi bukti bahwa secara ideologis, Islam memiliki semangat kepedulian terhadap kaum lemah.
 

Rasulullah saw bersabda:
 

انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رجل: يَا رَسُول الله أنصره إِن كَانَ مَظْلُوما، أَفَرَأَيْت إِن كَانَ ظَالِما كَيفَ أنصره؟ قَالَ: تحجزه أَو تَمنعهُ عَن الظُّلم فَإِن ذَلِك نَصره
 

Artinya, "Tolonglah saudaramu baik ketika ia berlaku zalim atau dizalimi. Seorang sahabat bertanya: 'Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya ketika dia dizalimi, lalu bagaimana cara menolongnya ketika ia berlaku zalim?' Rasulullah menjawab: 'Kau cegah ia dari perbuatan zalimnya, begitulah cara menolongnya'." (Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Beirut:: Dar Thuqin Najah: 2001], juz IX, halaman 22).
 

Hadits ini pada hakikatnya adalah perintah untuk menghentikan kezaliman, siapapun pelakunya. Hati nurani seorang muslim sebagai manusia sebenarnya juga secara alami memiliki kepedulian terhadap kaum lemah dan terzalimi, namun dengan adanya perintah syariat yang mengkonfirmasi kepedulian tersebut melahirkan dorongan dan keberanian lebih untuk mengejawantahkan kepedulian tersebut menjadi sebuah aksi. 
 

Bukan hal yang aneh jika umat Islam ramai-ramai membuat aksi kepedulian dengan berbagai cara. Dari berbagai cara mengekspresikan rasa peduli tersebut, beberapa orang memilih untuk turun gelanggang dan terjun secara langsung ke medan konflik dengan bergabung dengan kelompok milisi sebagai cara mereka memanifestasikan kepedulian mereka.
 

Dalam khazanah fiqih klasik dijelaskan, wajib berjihad bagi setiap laki-laki yang telah baligh ketika teritorialnya diserang. Kewajiban ini bukan hanya bagi kaum muslimin yang menempati teroterial tersebut, namun juga berlaku bagi penduduk kawasan sekitarnya yang masih dalam jangkauan 2 marhalah (kurang lebih 120 km) dari teritorial tersebut.
 

Jika pasukan di daerah tersebut dan kawasan sekitarnya dalam radius dua marhalah tidak dapat mengatasi musuh, maka kaum muslimin terkena kewajiban kolektif (fardhu kifayah) untuk turut membantu. (Zainuddin Al-Malibari, Fathul Mu'in, [Beirut:, Dar Ibn Hazm], halaman 602).
 

Barangkali selain dorongan rasa simpati dan keprihatinan, inilah yang mendasari tindakan beberapa orang yang memilih untuk ikut bergabung dengan pasukan militer di daerah konflik.
 

Rasulullah saw bersabda:
 

تَكَفَّلَ اللَّهُ لِمَن جاهَدَ في سَبيلِهِ، لا يُخْرِجُهُ إلَّا الجِهادُ في سَبيلِهِ وتَصْدِيقُ كَلِماتِهِ، بأَنْ يُدْخِلَهُ الجَنَّةَ، أوْ يَرْجِعَهُ إلى مَسْكَنِهِ الذي خَرَجَ منه، مع ما نالَ مِن أجْرٍ أوْ غَنِيمَةٍ
 

Artinya, "Allah memberi jaminan bagi orang yang berjihad di jalan-Nya, tidak ada alasan lain ia keluar dari rumah selain untuk jihad di jalan-Nya dan membenarkan firman-Nya. Allah memberi dua jaminan; masuk surga (jika meninggal) atau pulang ke rumahnya dengan memperoleh pahala atau harta rampasan perang (jika menang). (Al-Bukhari, IV/85).
 

Dalam hadits ini Rasulullah saw menyebut secara spesifik bahwa jaminan pahala atau surga bagi mujahid hanya diperuntukkan bagi mujahid yang tulus berjuang karena menolong agama. Karenanya, orang yang ikut berperang dengan motif selain itu, seperti berperang demi memperoleh harta atau agar disebut dan dikenang sebagai pejuang, ia tidak mendapatkan jaminan tersebut. 
 

Namun sebenarnya tidak mudah mengidentifikasi sebuah konflik untuk mengategorikan perjuangan di dalamnya sebagai jihad fi sabilillah, perlu pemahaman yang komprehensif tentang jihad, juga tentang konflik tersebut.
 

Identifikasi ini menjadi semakin rumit jika yang konflik yang terjadi di sebuah negara berlangsung antara sesama kaum muslimin. Karena biasanya kedua belah pihak saling lempar tuduhan kafir untuk melegalkan tindakan mereka memerangi lawannya, atau melabeli lawannnya sebagai pemberontak (bughat). Masuk ke dalam konflik tidak bisa serta merta disebut jihad.
 

Selain itu, perang bukanlah satu-satunya cara penyelesaian atas sebuah konflik. Adakalanya diskusi dan upaya-upaya diplomatik dapat lebih efektif untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Mengenai hal ini, dalam literatur fiqih juga dijelaskan, seorang pemimpin negara memiliki kewenangan untuk memutuskan cara mana yang hendak ditempuh untuk menyelesaikan konflik, perang atau perjanjian damai (hudnah).
 

Syekh Sa'id Ramadhan Al-Buthi menjelaskannya secara lebih spesifik: 
 

فإذا رأى الحاكم أنّ من الخير للمسلمين أن لا يجابهوا أعداءهم بالحرب والقوة، وتثبّت من صلاحية رأيه بالتشاور والمذاكرة في ذلك، فله أن يجنح إلى سلم معهم لا يصادم نصّا من النصوص الشرعية الثابتة
 

Artinya, "Ketika seorang pemimpin setelah berdiskusi berpandangan bahwa yang terbaik bagi rakyatnya adalah tidak menghadapi musuhnya dengan cara berperang, maka ia memiliki wewenang untuk melakukan perjanjian damai dengan mereka dengan ketentuan yang tidak melanggar nash syariat." (Fiqhus Sirah, [Beirut, Darul Fikr: 2019], halaman 175).
 

Dalam forum Bahtsul Masail Kubra yang diadakan Pondok Pesantren Lirboyo dan diikuti puluhan pondok pesantren se-Jawa dan Madura pada 13 Desember 2023, terjadi pembahasan terkait konflik antara Palestina dan Israel, secara lebih spesifik membahas langkah apa yang dirasa paling tepat dan efektif yang harus dilakukan pemerintah dan kaum muslim di Indonesia untuk membantu Palestina.
 

Forum tersebut memutuskan bahwa bagi pemerintah Indonesia, langkah yang harus diambil adalah mengupayakan gencatan senjata, menghentikan konflik, dan memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Yaitu melalui berbagai jalur diplomasi negara-negara dan kelompok-kelompok keagamaan di dunia, mendorong Dewan Keamanan PBB untuk lebih efektif mewujudkan perdamaian serta menggalang dana bantuan kemanusiaan untuk rakyat Palestina. Sedangkan bagi rakyat Indonesia, mendukung dan membantu segala ikhtiar yang dilakukan pemerintah. 
 

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah memastikan bahwa bentuk dukungan dan kepedulian kita terhadap saudara-saudara yang negaranya tengah dilanda konflik tidak boleh melanggar aturan hukum baik itu di negara kita, negara tertuju, maupun hukum internasional.
 

Membahas konflik di negara-negara tersebut bukan sekadar memetakan persoalan geopolitik, tetapi juga menyentuh dimensi moral, kemanusiaan, dan agama.
 

Sebagai seorang muslim, mencurahkan perhatian pada isu ini dirasa cukup penting mengingat pergolakan ini terjadi di daerah saudara seiman kita. Karena itu, mengangkat tema ini dalam diskusi publik dapat menjadi salah satu usaha untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada masyarakat sekaligus menyerukan perdamaian yang berkeadilan bagi seluruh pihak yang terlibat.
 

Secara lebih spesifik pelibatan diri dalam konflik negara lain akan di akan dibahas Musyawarah Nasional Nahdhatul Ulama (Munas NU) yang akan digelar pada 5-7 Februari 2025 mendatang.​​​​
 

 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Wakil Sekretaris LBM PWNU Jawa Tengan dan Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan, Purworejo.