• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Kamis, 25 April 2024

Opini

Gus Dur dalam Penuturan Gus Sholah

Gus Dur dalam Penuturan Gus Sholah
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. (Foto: NOJ/RMc)
Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dan KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah. (Foto: NOJ/RMc)

Tulisan ini adalah hasil wawancara tahun 2019 yang dilakukan Kuni Samsahayah (keponakan kami) dan Iffah Azizah kepada KH Salahuddin Wahid atau Gus Sholah tentang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tulisan dimuat di Majalah ‘Kharisma’ Madrasah Muallimin Muallimat Bahrul Ulum Tambakberas. Berikut ringkasannya.

 

Gus Dur adalah anak tertua dari enam bersaudara putra-putri KH Wahid Hasyim dan Nyai Solichah. Gus Dur lebih tua 2 hingga 3 tahun dari saya. Ayah kami wafat pada tahun 1953 pada usia 39 tahun, karena kecelakaan lalu lintas. Gus Dur ikut bersama bapak pada waktu terjadi kecelakaan. Adik bungsu kami lahir enam bulan setelah ayah wafat.

 

Ibu yang membesarkan kami yang pada waktu itu baru berusia 30 tahun saat ayah wafat. Ibu mampu menerjemahkan keinginan bapak dalam mendidik putra-putrinya. Ibu bercerita bahwa bapak pernah menyatakan keinginan untuk mempunyai putra yang menjadi seorang kiai, seorang dokter dan seorang insinyur. Seorang adik kami pernah kuliah di Fakultas Kedokteran UI, dan seorang lagi kuliah di ITB lalu pindah ke Fakultas Ekonomi UI, tetapi keduanya tidak menyelesaikan kuliah.

 

Kami bersekolah di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi) dan SD Perwari di Jakarta. Gus Dur melanjutkan ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Jakarta lalu pindah ke Yogyakarta pada 1954. Di Yogyakarta, Gus Dur tinggal di rumah kenalan ibu dan bersekolah di SMEA (seperti SMK) sambil ngaji di Krapyak. Setelah itu Gus Dur mondok di Pesantren Tegalrejo Magelang yang dipimpin oleh KH Chudhori, seorang alumni Pesantren Tebuireng.

 

Setelah itu Gus Dur mondok di Tambakberas selama sekitar 3 tahun. Gus Dur mengaji kepada KH A Fattah Hasyim, suami dari Nyai Musyarrafah (adik ibu kami). Gus Dur sangat mengagumi Kiai Fattah. Di Tambakberas Gus Dur mengajar Bahasa Inggris. Saat itulah Gus Dur berkenalan dengan Ibu Shinta Nuriyah.

 

Pada 1963 Gus Dur berangkat ke Kairo untuk kuliah di Al Azhar. Menurut KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, selama di Al Azhar Gus Dur hampir tidak pemah kuliah karena mata kuliah di tahun pertama sudah dikuasai saat ngaji menjadi santri Kiai Fattah. Waktu Gus Dur dihabiskan untuk membaca banyak buku dan menonton film di bioskop. Gus Dur merasa bahwa Al Azhar bukan tempat yang tepat bagi dirinya untuk kuliah.

 

Setelah itu Gus Dur pindah ke Baghdad untuk belajar sastra Arab. Di Baghdad Gus Dur mempunyai teman dekat seorang Yahudi yang membentuk pandangan dan sikap Gus Dur terhadap Israel. Baghdad adalah tempat bertemunya Barat dan Islam. Bisa dibilang bahwa kehidupan Gus Dur di Baghdad banyak membentuk pandangan dan sikap Gus Dur terhadap agama lain.

 

Setelah selesai kuliah, Gus Dur tinggal di Belanda selama sekitar satu tahun. Tampaknya kehidupan Gus Dur di Baghdad dan Eropa banyak membentuk pandangan dan sikap terhadap agama lain. Di Eropa, Gus Dur juga sempat belajar bahasa Prancis yang dikuasainya secara pasif. Gus Dur dan adik bungsu kami, Hasyim Wahid memang punya bakat untuk belajar bahasa dengan cepat.

 

Sebagai kakak tertua, Gus Dur tidak lama hidup bersama adik-adiknya. Apalagi adik-adik saya, hanya beberapa tahun serumah dengan Gus Dur. Saat kecil, Gus Dur tidak beda dengan anak lain, seperti bermain layang-layang lainnya.

 

Sejak remaja Gus Dur sudah senang membaca buku-buku serius. Gus Dur juga suka buku seperti Winnetou dan cerita silat karangan Chin Yung, penulis yang amat terkenal di Hongkong. Kami juga membaca buku-buku di atas. Daya ingat Gus Dur amat kuat. Spektrum bacaannya amat luas.

 

Pada 1971 awal, Gus Dur kembali ke Indonesia dan tinggal di Jombang sampai akhir 1970-an. Selama di Jombang Gus Dur mengajar di Tambakberas dan di Institut KH Hasyim Asy'ari. Dan pada Oktober 1971 Gus Dur menikah dengan Shinta Nuriyah. Sebenarnya Gus Dur telah menikah dengannya pada awal 1968 yang diwakili oleh Mbah Kiai Bisri Syansuri (ayah ibu kami), karena tidak ingin dilangkahi oleh saya yang menikah pada Februari 1968.

 

Setelah menikah, Gus Dur dan keluarga tinggal di Pesantren Denanyar dengan merintis kehidupan keluarga dibantu Shinta Nuriyah yang berjualan es mambo dan berbagai dagangan lain. Gus Dur juga diangkat menjadi Sekretaris Pesantren Tebuireng. Mahasiswa yang pernah mengkuti kuliah yang diberikan Gus Dur bercerita bahwa perkuliahan menarik dan berbobot.

 

Pendeta Wismoadhy pimpinan GKJW (Gereja Kristen Jawi Wetan) yang tinggal di Malang bercerita bahwa pada 1974 kedatangan tamu yang memperkenalkan diri sebagai keluarga Pesantren Tebuireng bernama Abdurrahman Wahid. Gus Dur ingin diperkenalkan dengan para pendeta GKJW. Menurut saya, itu adalah dialog pertama Islam dan Kristen di Indonesia.

 

Pada 1973 atau 1974 Gus membantu  Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, (LP3ES), perintis LSM di Indonesia dalam menjalankan program pengembangan pesantren. Pesantren yang dibina adalah Pabelan Magelang, Guluk-guluk Sumenep, Cipasung Tasikmalaya, Tebuireng dan lain-lain. Beberapa pesantren mendapat Kalpataru, sebuah penghargaan prestasi bidang lingkungan hidup.

 

Nasihin Hasan yang bekerja di LP3ES selama beberapa tahun pada sekitar pertengahan 1970-an bercerita bahwa Gus Dur sering ke kantor LP3ES dan meminta kertas dan meminjam mesin ketik lalu memulai menulis. Tidak terlalu lama tulisan itu selesai dan dikirim ke redaksi Majalah Tempo dan minggu depannya sudah dimuat. Gus Dur memang punya bakat dalam menulis. Saat sekolah di SD pemah menang lomba menulis se-Jakarta.

 

Selama tinggal di Jombang Gus Dur aktif memberi pengajian di berbagai tempat di Jawa Timur. Selain mempunyai kemampuan menulis, Gus Dur juga punya kemampuan tinggi sebagai pembicara. Bisa bicara di depan rakyat banyak maupun di depan kalangan akademisi. Ceramah atau pengajian Gus Dur berisi pemikiran yang bernas tapi diselingi humor yang cerdas. Setelah dikenal oleh para aktivis di Jakarta, Gus Dur juga sering diundang menjadi pembicara di Jakarta atau bahkan di luar negeri.

 

Pada akhir 1970-an, Gus Dur dan keluarga pindah ke Jakarta. Karena belum punya rumah, maka harus mengontrak rumah dan karena itu harus berpindah-pindah. Gus Dur harus merintis kembali kehidupan keluarga di Jakarta.

 

Setelah terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), kegiatan Gus Dur makin meningkat, harus sering ke luar kota. Peran Shinta dalam mendidik putri-putrinya amat penting.

 

Gus Dur adalah orang yang kurang memperhatikan kesehatan. Kurang menjaga makanan yang tidak baik bagi kesehatan. Kalau sakit, tidak segera ke dokter untuk bisa mengetahui sejauh mana tingkat keseriusan penyakit yang diderita. Pada awal 1990-an, Gus Dur menjalani operasi usus, dan pada I998 harus menjalani operasi otak karena terserang stroke.

 

Gus Dur adalah orang yang tidak peduli terhadap uang. Kalau menerima hadiah uang dari seorang atau menerima honor ceramah lalu ada orang yang datang minta bantuan, maka uang yang ada di tangannya langsung diserahkan kepada orang yang meminta.

 

Gus Dur mudah ditemui oleh siapa pun. Tidak pilih-pilih tamu. Dalam istilah bahasa asing, Gus Dur adalah seorang egaliter. Orang yang ingin mengundang Gus Dur untuk ceramah atau memberi pengajian, siapa pun orangnya, diterima dengan baik.

 

Gus Dur juga orang yang berani bersikap, bahkan ada kalanya terlalu berani. Keberanian itu menurun dari kakek-kakeknya, dari kedua orang tuanya dan juga sebagai hasil dari pendidikan ibu kami yang mendorong putra-putrinya untuk berani mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan yang mengandung risiko. Alhamdulillah putra-putri keluarga Wahid Hasyim tumbuh menjadi pribadi yang berani mengambil sikap dalam situasi apa pun. Kami tumbuh menjadi pribadi yang memegang prinsip, tidak oportunis, asal cari selamat.

 

Semoga tulisan amat singkat ini bisa memberi tambahan informasi tentang Gus Dur. Juga bisa memberi ilham serta memberi contoh keteladanan yang bisa kita tiru.


Editor:

Opini Terbaru