• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 19 April 2024

Opini

Membincang Sastra Pesantren dan Sastra NU

Membincang Sastra Pesantren dan Sastra NU
Penyair Madura, D Zawawi Imron. (Foto: NOJ/RB)
Penyair Madura, D Zawawi Imron. (Foto: NOJ/RB)

Oleh: Firdausi*

 

Sejak dulu hingga sekarang sastra pesantren dan NU terus dikembangkan oleh kiai, santri serta Nahdliyin. Di mana sastra dijadikan media gerakan NU bahkan menjadi materi perenungan manusia dalam menghayati keislaman, ketuhanan, kemanusiaan, keberbangsaan dan kebernegaraan. 

 

Berbicara tentang sastra dalam subkultur santri mencakup 3 macam, yaitu sastra kitab kuning, sastra lokal, dan sastra Indonesia. Ketiga jenis tersebut dijadikan landasan ijtihad oleh para wali maupun ulama dalam menjawab kebutuhan masyarakat, terutama dalam mensyiarkan agama Islam di Nusantara.

 

Sastra kitab kuning merupakan kedinamisan tradisi NU yang berdiri di atas kesusastraan, seperti natsar, syi'ir, nadham, burdah, dibaan, barzanji, manaqib Jaelani, tahlilan dan sejenisnya, yang telah menjadi urat darah warga nahdliyin. Jenis ini sanadnya tersambung kepada Rasulullah SAW dan menjadi label ke-NU-an seseorang.

 

Jika langgeng sastra pesantren, maka di situlah NU masih ada jamaahnya. Demikian pula NU menjadi sumber besar sastra dari sastra shalawat dalam segala bentuknya. Dengan demikian, lewat sastra, NU menjadi tulang punggung spiritualitas pesantren. Karena sastra pesantren secara subkultur diciptakan oleh Wali Songo dan ulama sehingga menjadi jimat untuk menjaga keutuhan NKRI.

 

Berbeda dengan sastra lokal yang gerakannya dimulai dari desa ke desa. Pilar-pilar harakah Wali Songo membayangi hati masyarakat, sehingga menjadi ritual kesehariannya, sama seperti halnya burdah mendarah daging di tengah masyarakat. Jenis ini memiliki hubungan spiritual, sosial dan alam raya. 

 

Sastra lokal hakikatnya sudah dikenalkan sejak zaman kasunanan, contohnya (Satrowardjojo, 2007):

1. Tembang "Moh Limo" yang dipopulerkan oleh Sunan Ampel. Moh Limo artinya tidak melakukan lima hal tercela, yakni moh main (tidak main judi); moh ngombe (tidak mabuk-mabukan), moh maling (tidak mencuri); moh madat (tidak menghisap candu); dan moh madon (tidak berzina). Falsafah ini sejalan dengan problem kemerosotan warga yang dikeluhkan oleh Sri Kertawijaya kepada Raden Rahmatullah kala itu.

 

2. Tembang "Tombo Ati" yang dipopulerkan oleh Sunan Bonang untuk menarik warga memeluk Islam. Raden Makdum Ibrahim memberikan lima macam pengobat jiwa yang sakit, yaitu: membaca al-Quran sekaligus artinya; rajin mengerjakan shalat tahajud di tengah malam; senang bersahabat dengan orang saleh; senang berprihatib; dan melakukan dzikir malam. Jika semua dilakukan, niscaya kehidupan akan lebih tenang dan ikhlas. Dan saat ini tembang Tombo Ati dipopulerkan lagi oleh Ustadz Opick demi menjaga keutuhan sastra lokal di tengah arus global.

 

3. Tembang "pengkur" yang dipopulerkan oleh Sunan Drajat. Raden Syarifuddin memberikan empat pokok ajaran di dalam tembang tersebut, yaitu paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; lan paring payung kang kodanan. Artinya berikahlah tongkat kepada orang buta; berikanlah makanan kepada orang kelaparan; berikanlah pakaian kepada mereka yang telanjang; dan berikan payung kepada orang yang kehujanan.

 

4. Tembang "Ilir-ilir" milik Sunan Kalijaga yang liriknya menggunakan melodo Arab dan Jawa. Tembang yang diciptakan oleh Raden Syahid mempunyai tafsir yang sarat dengan dakwah Islam. Misalnya "tak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar". Ungkapan ijo royo-royo bermakna hijau, lambang Islam. Sedangkan Islam sebagai agama baru diamtsalkan penganten anyar alias penganten baru.

 

5. Macapat dengan lagu ‘Sinom dan Kinanthi’ yang diciptakan Sunan Muria mampu mengajak masyarakat untuk mengamalkan syariat agama. Cara dakwah inilah oleh Raden Umar Said dikenal dengan sebutan ‘topo ngeli’, yakni menghanyutkan diri dalam masyarakat, tetapi tidak tertelan arus.

 

Orang Madura juga memiliki sastra lokal yang bergenre puisi tembang lagu dolanan, contohnya (Muhlas Samani, 2013):

 

1. Tembang "Ghei' Bintang", yang mana kata alun-alun dimaknai sebagai bentuk iman yang dimiliki oleh seorang anak dan mencintai kedua orang tuanya, hingga si anak tersebut bertemu lagi di padang mahsyar.

 

2. Tembang "Pa'opa' iling" yang sering dinyanyikan oleh orang tua untuk meninabobokkan anaknya. Lagu ini memiliki makna bahwa orang Madura menjunjung tinggi nilai-nilai agama Islam, hingga mewajibkan anaknya mengaji sejak dini ke langgar. Ngaji di sini bukan sekadar mengaji al-Qur'an tetapi kegiatan mencari ilmu dunia-akhirat bagi bekal kehidupan di masa mendatang.

 

3. Tembang "Pajjhar lagghu" yang memiliki makna bahwa masyarakat Madura menjadikan bercocok tanam sebagai pekerjaan utama bagi kaum petani. Walau tanah Madura kurang subur, dengan semangat kerja yang giat dan pantang menyerah mereka dapat hidup dari bercocok tanam. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Madura untuk bergotong royong dalam bertani. Dalam kaitan ini semua anggota keluarga memiliki peran dan melaksanakan peran secara bergotong royong.

 

4. Tembang "Ngapote" yang dimaknai etos kaum nelayan yang ikhlas mencari nafkah bagi istri dan anak walaupun abhental ombhe' dan asapok angin (diterjang ombak besar dan diselimuti angin kencang).

 

Yang terakhir adalah sastra Indonesia yang masih dipandang hiburan dan belum memiliki maqam yang setara dengan sastra kitab kuning dan sastra lokal, yang keduanya disakralkan oleh Nahdliyin. Namun dengan hadirnya santri di pesantren, sastra Indonesia diangkat derajatnya hingga menyentuh penghayatan orang desa yang mana nilai syiirnya memiliki nuansa spiritual. Seperti halnya D Zawawi Imron yang menafsirkan mars syubbanul wathan dan dituangkannya ke dalam sebuah puisi:

Kita minum air Indonesia menjadi darah kita.
Kita makan beras, buah-buahan, dan ikan-ikannya menjadi daging kita.
Kita menghirup udara Indonesia menjadi nafas kita.
Kita bersujud di atas bumi Indonesia adalah sajadah kita.
Bila tiba kita mati, daging dan tulang-belulang kita yang busuk bersatu lagi dengan harumnya bumi Indonesia.

 

Inilah ruh sastra Indonesia yang diejawantahkan oleh seorang kiai dan santri. Penciptaannya berdasarkan niat tulus. Sehingga mampu membuka masa depan dalam menggerakkan agama, bangsa, negara, dan masyarakat global.

 

Satra NU yang ditradisikan oleh para kiai, santri, hingga kreator mampu meritualkan harakah ke-NU-an yang mengimplementasikan khittah sebagai gerakan sastra kitab kuning, sastra lokal, dan sastra Indonesia yang bernuansakan keumatan serta keindonesiaan.
 

*Adalah Wakil Sekretaris Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWCNU) Pragaan, Sumenep.


Editor:

Opini Terbaru