• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Jumat, 3 Mei 2024

Opini

Mempelajari Kegigihan KH Abdullah Sajjad saat Agresi Belanda

Mempelajari Kegigihan KH Abdullah Sajjad saat Agresi Belanda
Almaghfurlah KH Abdullqh Sajjad. (Foto: NOJ)
Almaghfurlah KH Abdullqh Sajjad. (Foto: NOJ)

Oleh: Firdausi

KH Abdullqh Sajjad lahir di Desa Guluk-guluk Sumenep yang secara geologis lahir dari perpaduan darah Kudus Jawa Tengah dan Sumenep. Ayahnya KH Muhammad Syarqawi seorang ulama pendatang yang berasal dari Kudus, kemudian merintis Pondok Pesantren Annuqayah meski namanya ditetapkan setelah kewafatannya. Ibunya Ny Hj Qamariyah seorang putri ulama kharismatik yakni KH Idris Patapan. Beliau saudara kandung KH Khatib atau ayah KH Ahmad Jauhari pendiri Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan yang hakikatnya dari kalangan elit pesantren.

 

KH Abdullah Sajjad menikah dengan Ny Hj Shofiyah binti Munawwar binti Ruham dari Kembang Kuning. Beliau dikaruniai putra-putri, yaitu Ny Hj Maimunah (istri KH Moh Hasyim), Ny Hj Mu'adzah (istri KH Moh Khazin Ilyas), KH Ahmad Basyir, KH Ishomuddin, KH Abdul Hafidz, dan Ny Hj Arifah (istri KH Mahfoudh) . Sedangkan istri kedua Ny Hj Aminah binti Abu Ahmad yang dikaruniai putra-putri yaitu KH Abdullah Mujahid, Ny Hj Maftuhah (istri KH Fauzi Sirran), KH Abdul Basith, dan Ny Hj Zainab Khabirah (istri KH Abd Muqsid Idris).

 

Jenjang Pendidikan dan Kiprah di Pesantren

Jejak sanad keilmuan KH Abdullah Sajjad mengikuti tradisi para wali, ulama NU, dan ayahnya yakni luru ilmu kanti lalaku (santri kelana). Maksudnya beliau menuntut ilmu diberbagai pesantren atau nyantri dari satu pesantren ke pesantren lain.

 

Pertama kali nyantri di Kademangan asuhan Syaikhana Chalil Bangkalan. Kemudian ke Pesantren Tebuireng asuhan Hadratussyaikh KH M Hasyim Asy'ari. Dilanjutkan ke Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo bersama kakaknya KH Muhammad Ilyas. Pesantren terakhir ini dibawah asuhan KH Chozin. Tak sampai di situ, beliau belajar ke Makkah bersama kakaknya Kiai Ilyas dan seperguruan dengan almaghfurlah KH Abdul Wahid Hasyim.

 

Setelah pulang dari pesantren, kakaknya Kiai Ilyas mengajaknya untuk mengembangkan pesantren yang diwarisi sang ayah. Beliau mendirikan pesantren yang diberi nama Latee pada tahun 1923.

 

Beliau mengenalkan sistem madrasah seperti halnya kurikulum dan model pembelajaran di Pesantren Tebuireng. Di Latee beliau mengawali keuletannya dalam mengembangkan pesantren. Sebagian besar waktunya dituangkan untuk mengisi pengajian kitab kuning, terutama ba'dha shalat jamaah kecuali setelah Maghrib dan Subuh yang digunakan untuk pengajian Al-Qur'an.

 

Saat mengajar Al-Qur'an, beliau menerapkan model klasikal, yakni sorogan. Satu persatu santri membaca dan kiai mendengarkannya serta membetulkannya jika ada bacaan yang salah. Metode tersebut diterapkan setiap hari hingga santri menyelesaikan 30 juz. Walaupun santri tidak diwajibkan menghafal Al-Qur'an, topik dan pokok bahasan yang ada di dalam Al-Qur'an beliau hafal dan tentu memahami isinya. Pola hidup yang beliau perlihatkan sesuai dengan apa yang dipahami dari Al-Qur'an dan hadits.

 

Beliau kurang setuju pada santri yang ingin menghafalkan seluruh isi Al-Qur'an. Hal ini dikarenakan bacaan para santri menurut pemikirannya kurang baik, terutama khawatir saat santri berada di tengah masyarakat hafalannya dilupakan.

 

Kala itu Annuqayah dikenal sebagai pesantren yang mayoritas santrinya pandai dalam membaca Al-Qur'an dan tata kramanya baik.

 

Tak sampai di situ, beliau sangat senang mengajar ilmu alat, khususnya ilmu sharraf dan nahwu. Oleh karena itu, beliau turun langsung untuk mengajar para santri senior yang kemudian mereka menularkan ilmunya kepada para yunior.

 

Selain ilmu tata bahasa Arab, tidak lupa mengajarkan ilmu-ilmu agama lain. Untuk materi tauhid, beliau memudahkan santri dengan manadzamkannya. Seperti kitab Qatrul Ghaits peninggalan ayahnya yang berupa tulisan tangan yang dilengkapi syakal dan arti bagi mufradat yang dianggap sulit. Isi kitab tersebut dinadzamkan agar mudah diajarkan pada santri. Contoh lainnya ilmu hadits, fiqih, tasawuf, dan sangat antusias saat mengajar kitab al-Hikam. Di mana beliau sering menulis istighotsah yang terdapat pada akhir kitab tersebut lalu dibagi-bagikan kepada sebagian santri kalong yang terdiri dari masyarakat.

 

Selama hidupnya yang penuh pengabdian kepada masyarakat, kiai Sajjad masih menyempatkan diri menulis karya yang berjudul Mandzumatu Masail (syair tentang masalah keimanan atau syair cara berakidah dalam bentuk tanya-jawab).

 

Visi pendidikan yang beliau idamkan adalah masyarakat Islam lewat pengkaderan santri di pesantren. Hal ini sesuai dengan paham ayahnya yaitu Islam Ahlusunnah wal Jama’ah yang bermadzhab Syafi'i.

 

Kiai Sajjad dikenal memiliki jiwa sosial tinggi. Salah satu bukti adalah beliau merintis pengajian umum bagi masyarakat sekitar yang dilaksanakan setiap Jumat malam. Sehingga beliau dijadikan tempat peraduan atau curhatan masyarakat saat mengalami problematika kehidupan.

 

Saking dekatnya dengan masyarakat, pada tahun 1947 beliau menjadi kepala desa di Guluk-guluk. Pelantikannya bersamaan dengan agresi Belanda yang tidak menerimanya sebelumnya melakukan gencatan senjata sebagai konsekuensi dari perjanjian Lingarjati. Keuntungan yang didapat oleh Indonesia berupa de facto kekuasaan Indonesia atas pulau Jawa dan Sumatera, sedangkan keuntungan yang diperoleh pihak Belanda adalah memecah belah NKRI.

 

Saat menjadi tokoh di Guluk-guluk muncul juga kelompok asing yang membid'ahkan amaliah pesantren dan masyarakat. Beliau mengecam kelompok tersebut untuk membela amaliah masyarakat Madura yang dominan bertradisi NU. Wajar beliau tajam menguasai kitab karya Ibnu Arabi Fushuhu Al-Hikam. Bahkan putranya KH Abdul Basith pernah mendapatkan kitab yang dikenal ekstrim pandangan tasawufnya. Di mana Kiai Sajjad sengaja menghiasi catatan pinggir kritis tersebut agar pembaca berhati-hati dan tidak muncul kesalahpahaman dalam menyimpulkan karya Ibnu Arabi.

 

Kiprah sebagai Hizbullah

Pimpinan Laskar Santri dan Laskar Sabilillah di Sumenep semula dipegang oleh KH Muhammad Ilyas, lalu diserahkan kepada KH Abdullah Sajjad. Beliau keliling Madura terutama daerah Pamekasan dan Sumenep, dengan mengajak masyarakat berjuang membela agama, negara, dan bangsa. Kemudian masyarakat bergabung dalam Laskar Sabilillah dan Hizbullah. Yang pertama barisan para kiai dan santri, sementara barisan kedua adalah barisan masyarakat dan anak muda. Semuanya digunakan untuk menghalang dan menghimpun kekuatan dalam menentang Belanda yang ingin menguasai Sumenep. Beliau juga dibantu oleh keponakannya almaghfurlah KH Moh Khazin. Beliau membawa pasukan bergerak di front terdepan. Bahkan sering terlibat pertempuran dengan pihak tentara Belanda di Pamekasan dan Sumenep pada bulan Agustus 1947.

 

Sebagai kepala desa dan pemimpin agama, Kiai Sajjad tidak bisa berpangku tangan ketika melihat masyarakat berada dalam keadaan sengsara. Sehingga beliau memfokuskan perjuangan gerilyanya hingga tanggal 25 November 1947. Kala itu warga Madura dan pasukan TNI mampu mempertahankan serangan Sekutu yang cukup berpengalaman di perang dunia dan memiliki senjata yang canggih.

 

Pasukan TNI menyatu dengan rakyat begitu pula ulama dan umara ikut berperang bersama barisan Kiai Sajjad. Hal ini membuktikan bahwa Laskar Hizbullah dan Sabilillah menunjukkan hebatnya perang kemerdekaan Madura. Sejak itulah fungsi pesantren sementara beralih menjadi tempat pelatihan prajurit Sabilillah dan Hizbullah.

 

Sebelum berangkat ke Pamekasan untuk bergabung dengan pasukan lainnya, para pejuang diperintahkan berpuasa terlebih dahulu selama 7 hari dan diberi azimah berupa sepotong lidi kecil untuk diletakkannya di dalam peci agar selamat dari hantaman peluru Belanda. Lalu dibawalah pasukannya ke panglima laskar yakni Kiai Khazin untuk segera berangkat ke Pamekasan. Sedangkan posisi beliau terus bersiaga di perbatasan Pamekasan dan Sumenep agar tentara Belanda tidak sampai masuk ke wilayah tersebut.

 

Pertempuran terus berjalan hingga akhirnya dipukul mundur sampai ke daerah Branta Pamekasan. Hingga akhirnya Belanda mengutus telik sandi dan mengirim pasukan khusus untuk menangkap Kiai Sajjad agar tentara Belanda mudah memasuki kawasan Sumenep. Namun untuk menangkap beliau tak kunjung berhasil karena para santri dan masyarakat Guluk-guluk bersama-sama melindunginya.

 

Pada suatu saat para santri dan Laskar berhasil dipukul mundur oleh tentara Belanda karena kekuatan musuh dipersenjatai peralatan yang modern. Ketidakseimbangan melahirkan kekalahan yang kala itu minimnya persenjataan. Saat itu muncullah imbauan untuk mengosongkan Pesantren Annuqayah yang dijadikan camp dan pusat penyusunan strategi perang.

 

Kiai Sajjad bersembunyi di Karduluk tepatnya di kediaman KH Ahmad Bahar. Sebelumnya sempat dianjurkan untuk bersembunyi di pulau Jawa. Saran tersebut ditolak oleh beliau dengan alasan tidak ingin meninggalkan warga dan keluarganya di Guluk-guluk. Sementara Kiai Khazin mengikuti saran Kiai Bahar untuk mengungsi ke Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukerejo, Sumberrejo, Batuputih Situbondo. Karena tempat tersebut dianggap keramat oleh Belanda dan sulit ditembus oleh senjata modernya. Sedangkan Kiai Ilyas menetap di Dusun Berca, daerah Guluk-guluk.

 

Kurang lebih 4 bulan lamanya Kiai Sajjad mengungsi. Tiba-tiba datanglah seorang suruhan atau kurir Belanda dengan membawa sepucuk surat berbahasa Madura yang menyatakan bahwa Guluk-guluk sudah kondusif. Isi surat tersebut membujuk beliau untuk kembali ke Latee. Sejumlah pihak mencegah untuk kembali ke Guluk-guluk dengan alasan surat tersebut bagian dari tipu daya Belanda untuk menangkap Kiai Sajjad. Bahkan pihak pimpinan Pesantren Annuqayah di pengungsian tidak menyetujui kembali ke pesantren.

 

Sore harinya beliau berangkat dari pengungsiannya dan masyarakat menyambutnya. Bahkan beliau melaksanakan shalat Ashar bersama santri dan masyarakat sekitar. Suasana tenang sebagaimana mestinya. Namun ketika usia shalat Maghrib berjamaah, tentara Belanda datang ke Latee dan meminta kepada beliau agar bersedia dibawa ke markas Belanda di Kemisan, sekitar 1 km di utara pesantren.

 

Semua pejuang di bawah asuhannya ingin ikut bersama untuk mendampingi Kiai Sajjad. Hingga akhirnya beliau mengatakan bahwa urusan dengan pihak Belanda akan diselesaikan sendiri dan meminta kepada santri dan masyarakat untuk tetap tenang.

 

Kiai Sajjad berangkat memenuhi panggilan Belanda dan tak ingin menjadikan santri dan masyarakat sebagai korban. Meskipun mempunyai firasat buruk atau berbuat curang, beliau tetap jantan untuk menghadiri undangan musuh.

 

Ketika sampai di markas Belanda, Kiai Sajjad ditipu. Beliau harus rela menebusnya dengan nyawanya sendiri. Namun sebelum dieksekusi hukuman mati, beliau meminta untuk shalat sunnah sebagai permintaan terakhir. Permintaan tersebut dituruti oleh Belanda. Di saat beliau sedang khusyuk dalam shalatnya, terdengar 3 kali suara ledakan senapan api menerjang tubuh beliau. Seketika tubuh Kiai Sajjad meninggal dunia tersungkur dalam posisi sujud. Jenazahnya dibawa diam-diam oleh pihak keluarga lalu dikebumikan di lingkungan pesantren. Sementara Kiai Khazin pun ikut berpulang keharibaan Allah SWT dikarenakan sakit saat di pengungsian.

 

Kemerdekaan Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat. Untuk mempertahankan kedaulatan menumpahkan beribu-ribu darah para syuhada termasuk Kiai Sajjad dan laskar lainnya. Laskar Sabilillah dan Hizbullah salah satu wadah perjuangan umat Islam pada masa perang kemerdekaan untuk mengusir para penjajah dari tanah Indonesia khusus Madura.

 

Adalah Wakil Sekretaris Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama Pragaan Sumenep dan Dzurriyah KH Muhammad Syarqawi.


Editor:

Opini Terbaru