• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 20 April 2024

Opini

Ratapan Gus Dur karena Keseringan Dituduh Liberal: Why Always Me?

Ratapan Gus Dur karena Keseringan Dituduh Liberal: Why Always Me?
KH Abdurrahman Wahid (Foto: Beritasatu)
KH Abdurrahman Wahid (Foto: Beritasatu)

Oleh: Zunus Muhammad 

Kita tidak pernah meragukan secuil pun ketegaran seorang Kiai Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Tuduhan agen zionis, liberal, kiai ketoprak, anti Islam sampai label murtad pernah disematkan pada lencana baju kebesarannya. Hanya satu ujaran keburukan yang tidak pernah ia terima; Anak PKI.

 

Rentetan ejekan itu memang terkesan aneh. Sebab dakwaan itu mengalir lebih deras jika dibandingkan dengan orang-orang yang pengetahuan agamanya lebih dangkal. Tokoh-tokoh lain yang bukan mendalami masalah agama justru bebas dari seluruh unsun dakwaan seperti yang diterima Gus Dur. 

 

Meski demikian, kita juga harus mengakui bahwa ketegaran Gus Dur tetaplah terbatas. Gus Dur memang pernah marah sewaktu orang-orang terdekatnya menyarankan istirahat di tengah kondisi kesehatannya yang terus menurun.

 

"Kalian tahu apa. Ini belum seberapa. Hadratussyaikh saja tetap berjuang meski setengah badannya lumpuh," kata Gus Dur seperti dituturkan Kiai Mustofa, pengasuh Pesantren Ayatirrahman, Parung, Bogor.

 

Lalu kapan Gus Dur terlihat mengeluh atas sikap kebesaran hatinya itu? Dalam risalah yang cukup panjang, Gus Dur pernah menulis dinamika pemikiran Kiai Wahid Hasyim. Di artikel berjudul, A Wahid Hasyim, NU, dan Islam itu, ayahnya disebut sebagai tokoh yang sangat liberal lantaran mengikuti mazhab yang mengakui supremasi hukum kontemporer dengan mengalahkan syariah.

 

Gus Dur mengisahkan, sewaktu Kiai Wahid menjabat sebagai Menteri Agama ia berani meloloskan usulan agar para siswa perempuan diterima di Sekolah Guru Hakim Agama Negeri (SGHAN). Padahal, seperti diketahui, syariah melalui karya-karya para ulama telah menetapkan empat syarat bagi kedudukan hakim Islam, yang di negeri kita menjadi bagian dari hukum agama. Dalam pandangan ini, seorang wanita tidak boleh menjadi hakim agama, sehingga tidak boleh ada hakim agama wanita. 

 

Konsekuensi dari diterimanya perempuan sebagai pelajar SGHAN jelas membawa dua pilihan; menjadi guru hakim atau hakim di pengadilan agama. Jika usulan tersebut ditolak, maka hal itu jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 yang menempatkan posisi pria dan wanita sama kedudukannya. Sebaliknya, kalau Menteri Agama menerima perempuan menjadi siswa SGHAN, sangat kentara dia telah mengubah ketentuan syariah dan berpegang pada hukum buatan manusia.

 

"Anehnya, meski pikirannya sangat liberal namun tidak pernah menerima hujatan dan gugatan dari ulama yang berpegang teguh pada syariah, termasuk ayahandanya sendiri," tulis Gus Dur. 

 

Di sini Gus Dur tampak terlihat cukup emosional.  Ia ingin menunjukan ke publik sembari melancarkan “protes” ke ayahnya. Gus Dur sendiri seakan menafikan pendapat moderat dari mazhab Hanafi yang memberikan peluang bagi perempuan berprofesi sebagai hakim. Sekalipun memang mayoritas ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa jenis kelamin laki-laki menjadi syarat sah seorang hakim. Tetapi Gus Dur tetap kekeh, berkeras hati. Dia hanya ingin mengadukan nasibnya kepada Tuhan.

 

"Why always me? Kenapa Pak Wahid tenang-tenang saja. Kurang liberalnya apa bapak," mungkin itu yang ia ingin ungkapkan.

 

Pada artikel lain, Huntington antara Fakta dan Citra, Gus Dur juga menaruh "kecemburuan" yang hampir serupa. Kali ini ia justru membidik banyak orang, termasuk kakek-kakeknya di Jombang sana. 

 

Artikel yang diterbitkan Koran Sindo, kemudian dibendel menjadi buku Gus Dur Bertutur, itu ditulis Gus Dur setelah menerima undangan diskusi panel yang diselenggarakan Koran Yomiuri Shimbun, Jepang, tahun 1997. Gus Dur di artikel pendek itu menulis kekagumannya terhadap pemikiran Fadima Orlu, seorang anggota parlemen Belanda yang berasal dari keluarga imigran Turki. Menurut Gus Dur, apa yang dikatakan Fadima Orlu terkait tiga macam manusia di negeri Kincir Angin itu benar-benar membuka hati dan perasaannya. Bagi kita, kata Gus Dur, tidak mudah untuk mengenali responsi mereka dalam menghadapi proses modernisasi. 

 

Gus Dur mencontohkan dirinya sendiri yang dituding sebagai "anti Islam" karena memberikan dukungan terhadap kelompok Ahmadiyah. Padahal, kata Gus Dur, sejak tahun 1919 KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Wahab Chasbullah, ternyata bertindak tidak berbeda. Bersama H.M Said Tjokroaminoto dan Bung Karno sering mendiskusikan bagaimana ajaran Islam berdialog dengan paham kebangsaan yang sudah berjalan berabad-abad lamanya.

 

“Tapi ketika maksud yang sama (saya) lakukan, tuduhan ‘anti Islam’ pun dikenakan kepada penulis (saya),” tulis Gus Dur. 

 

Jelas ini adalah ungkapan keluh-kesah. Gus Dur, sekali lagi ingin menunjukkan bahwa kiai-kiai terdahulu juga membuka dialog, sekalipun wacana yang didialogkan berada di seberang syariat.

 

Menariknya, dan ini mungkin salah satu keperkasaan Gus Dur-- di akhir kalimat ia selalu menampilkan diri sebagai sosok yang tegar. “Ternyata, memang sulit berbicara yang benar, bukan?”

 

Penulis adalah Redaktur NU Online

 


Editor:

Opini Terbaru