Apakah Maulid Nabi itu Bid'ah dan Kenapa Nabi Tidak Merayakannya?
Jumat, 13 September 2024 | 19:00 WIB
Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW seringkali diperingati oleh umat Islam, terutama kalangan Nahdliyin. Perayaan ini kemudian dikenal dengan istilah Maulid Nabi. Meskipun Rasulullah lahir pada 12 Rabiul Awwal tahun 570 M di Makkah, tradisi Maulid tidak hanya diperingati pada tanggal tersebut.
Para pecinta Nabi SAW telah memperingati momen penting ini setiap hari, mulai dari awal hingga akhir bulan. Bahkan, ada yang mengadakan peringatan di luar bulan Rabiul Awwal, dan sebagian lainnya menjadikannya acara yang berlangsung sepanjang bulan.
Dalam buku Sejarah Maulid Nabi tahun 2015 yang dicatat oleh Ahmad Sauri dikatakan bahwa kebiasaan bangsa Arab dalam perayaan memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW atau yang sering disebut Maulid Nabi sudah dilakukan oleh masyarakat Muslim sejak tahun kedua hijriah. Catatan tersebut merujuk pada Nuruddin Ali dalam kitabnya Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa.
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Di samping banyaknya umat Islam yang merayakan Maulid Nabi, masih ada sebagian kelompok yang mengatakan bahwa memperingati hari kelahiran Nabi SAW adalah perbuatan bid'ah karena di zaman Nabi hingga para sahabat tidak ada perayaan semacam itu. Mereka juga beranggapan bahwa merayakan Maulid Nabi tidak ada tuntutan dalam syariat Islam. Lantas, bagaimana hukum memperingati Maulid Nabi? Serta bagaimana tanggapan dari ulama-ulama salaf maupun kontemporer?
Perlu diketahui, dalam Islam dikenal istilah ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah. Singkatnya, ibadah mahdlah adalah ketentuannya pasti tidak dapat dikurangi maupun ditambah seperti halnya salat, puasa, zakat, dan sebagainya. Sedangkan ibadah ghairu mahdlah ini ada peluang diperkenankan dalam syariat untuk kemudian ditambah, contohnya seperti shalawatan. Shalawatan itu perintahnya jelas di Al-Qur'an tapi petunjuknya tidak dijelaskan oleh Nabi SAW, dan ini tidak bid'ah karena sifatnya adalah ghairu mahdlah.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Allah SWT dalam salah satu ayat Al-Qur'an menjelaskan tentang Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi Muhammad saw, serta perintah untuk bershalawat kepada Rasulullah bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman sebagai berikut,
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤئِكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
ADVERTISEMENT BY OPTAD
Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya."
Imam Qurthubi dalam kitab Tafsir Al-Jāmi' Li Ahkām Al-Qur'ān Jilid XIV, halaman 232, mengatakan bahwa ada tiga bentuk shalawat. Pertama, shalawat Allah kepada Nabi Muhammad adalah anugerah rahmat dan keridhaan. Kedua, shalawat para malaikat adalah doa penuh ampunan. Sementara yang ketiga, shalawat umat pada Rasulullah adalah pengagungan tak terhingga.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Tidak hanya perintah bershalawat, tapi Allah juga menganjurkan kepada umat Islam agar menyambut gembira anugerah dan rahmat Allah, dengan diutusnya Rasulullah SAW, seperti firman Allah:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Artinya: "Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad SAW) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira." (QS.Yunus: 58)
ADVERTISEMENT BY ANYMIND
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsiri الفضل dan الرحمة. Ada yang menafsiri kedua lafadz itu dengan Al-Qur’an dan ada pula yang memberikan penafsiran yang berbeda. Abu Syaikh meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA bahwa yang dimaksud dengan الفضل adalah ilmu, sedangkan الرحمة adalah Nabi Muhammad SAW.
Pendapat yang masyhur yang menerangkan arti الرحمة dengan Nabi SAW ialah karena adanya isyarat firman Allah SWT yaitu:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Artinya: "Kami tidak mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS. Al-Anbiya’:107). [Abil Fadhol Syihabuddin Al-Alusy, Ruhul Ma’ani, juz 11, halaman: 186]
Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 di atas. [Sayyid Muhammad al-Maliki al-Hasani,
Dalil Peringatan Maulid menurut Para Ulama
Fatwa Al Hafizh Ahmad Ibnu Hajar al ‘Asqalani (773-852 H)
وَقَدْ سُئِلَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ حَافِظُ الْعَصْرِ أَبُو الْفَضْلِ اِبْنُ حَجَرٍ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ ، فَأَجَابَ بِمَا نَصُّهُ أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلَكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً وَإِلَّا فَلَا
Artinya: "Syaikhul Islam Al Hafizh Abul Fadhl Ibnu Hajar ditanya tentang amaliyah Maulid, maka beliau menjawab : “Pokok utama dalam amaliyah Maulid adalah bid’ah yang tidak diriwayatkan dari ulama salaf as shalih dari tiga generasi (sahabat, tabi’in, dan atba’ut tabi’in). Meskipun begitu, bid'ah tersebut (perayaan Maulid Nabi) mencakup kebaikan-kebaikan dan kebalikannya (keburukan), Akan tetapi Maulid tersebut mengandung kebaikan-kebaikan dan sebaliknya. Maka barangsiapa yang berusaha meraih kebaikan dalam Maulid dan menjauhi yang buruk, maka termasuk bid’ah yang baik (hasanah). Jika tidak, maka tidak disebut bid’ah hasanah”. (Sumber: Al Haawi Lil Fataawi karya Al-Hafizh As-Suyuthi juz I halaman 282, Maktabah Syamilah).
Berkenaan dengan hukum perayaan maulid, Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi menyebutkan redaksi sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ
Artinya: "Hukum asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salafussaleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)."
Imam Al-Hafizh As-Suyuthi (849-911 H) dalam fatwanya juga menambahkan,
فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ ؟ وَهَلْ هُوَ مَحْمُوْدٌ أَوْ مَذْمُوْمٌ ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا ؟
Artinya: "Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal, Bagaimana hukumnya menurut syara’ ? dan apakah termasuk terpuji atau tercela ? serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala atau tidak?"
اَلْجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Artinya: "Menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya orang-orang , pembacaan ayat yang mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permulaan perihal Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi. Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu adalah termasuk Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang melakukannya. Karena adanya perkara yang ada didalamnya berupa pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran beliau yang mulia." (Sumber: Al-Haawi Lil Fataawi karya Al-Hafizh As-Suyuthi juz I halaman 271-272, Maktabah Syamilah).
Senada dengan pendapat Imam Suyuti dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqolani, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari (1287-1366 H) juga berpendapat:
اَلتَّنْبِيْهُ الْأَوَّلُ يُؤْخَذُ مِنْ كَلَامِ الْعُلَمَاءِ الْآتِيْ ذِكْرُهُ أَنَّ الْمَوْلِدَ الَّذِيْ يَسْتَحِبُّهُ الْأَئِمَّةُ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةِ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِيْ حَمْلِهِ وَمَوْلِدِهِ مِنَ الْإِرْهَاصَاتِ وَمَا بَعْدَهُ مِنْ سِيَرِهِ الْمُبَارَكَاتِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُمْ طَعَامٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ وَإِنْ زَادُوْا عَلَى ذَلِكَ ضَرْبَ الدُّفُوْفِ مَعَ مُرَاعَاةِ الْأَدَبِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ
Artinya: "Hal penting pertama: Perkara yang diambil dari perkataan para ulama yang akan diterangkan mendatang bahwasanya Maulid Nabi yang disunnahkan oleh para Imam itu adalah berkumpulnya orang-orang, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, dan pembacaan riwayat hadits-hadits tentang permulaan kenabian serta kejadian-kejadian istimewa sebelum beliau diangkat menjadi Nabi yang terjadi saat kehamilannya dan hari lahirnya serta hal-hal yang terjadi sesudahnya yang merupakan sirah (sejarah) beliau yang penuh keberkahan. Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, dan selanjutnya mereka bubar. Jika mereka menambahkan atas perkara diatas dengan memukul rebana dengan menjaga adab, maka hal itu tidak apa-apa." Sumber : (At-Tanbihaatul Waajibaat Liman Yashna’ul Maulida Bil Munkaraat halaman 10-11).
Walhasil, perayaan Maulid Nabi bukanlah suatu perbuatan yang tidak ada tuntutannya dalam syara', karena peringatan Maulid merupakan ibadah yang sifatnya ghoiru mahdhoh. Jikalau memang Maulid Nabi itu bid'ah, maka tergoling bid'ah yang hasanah (baik) bukan dholalah (sesat), seperti halnya pembukuan Al-Qur'an di masa Khalifah Utsman bin Affan.
Selain itu, perihal kenapa Nabi SAW serta para sahabat khususnya Khulafaur Rasyidin tidak menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi ini dijelaskan oleh Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam karyanya Husnul Maqshid fi Amalil Mawlid . Berikut ini kutipannya:
وإن كان النبي صلى الله عليه وسلم لم يزد فيه على غيره من الشهور شيئا من العبادات وما ذلك إلا لرحمته صلى الله عليه وسلم بأمته ورفقة بهم لأنه صلى الله عليه وسلم كان يترك العمل خشية أن يفرض على أمته رحمة منه بهم
Artinya: "Nabi Muhammad saw tidak menambahkan sedikitpun ibadah pada bulan Rabiul Awal dibanding bulan lainnya kecuali karena kasih sayang dan keramahan Nabi Muhammad saw terhadap umatnya. Rasulullah saw meninggalkan amal tersebut karena khawatir datang perintah kewajiban untuk umatnya (ia meninggalkannya) sebagai bentuk rahmatnya terhadap mereka.” (Jalaluddin As-Suyuthi, Husnul Maqshid fi Amalil Mawlid, (Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: tanpa tahun, halaman 67).
Keengganan Rasulullah SAW untuk menyelenggarakan peringatan maulid semasa hidupnya mengandung hikmah tersendiri. Keengganan itu tidak lain merupakan bentuk kasih sayang Nabi Muhammad saw agar tidak menambah beban bagi umatnya ke depan. Karena jikalau Rasulullah SAW menyelenggarakan perayaan semisal Maulid Nabi ditakutkan hal tersebut menjadi wajib hukumnya. Wallahu a’lam.
ADVERTISEMENT BY ANYMIND