Keislaman

Hukum Merayakan Maulid Nabi dengan Pawai Budaya dan Sound Horeg

Kamis, 3 Oktober 2024 | 15:30 WIB

Hukum Merayakan Maulid Nabi dengan Pawai Budaya dan Sound Horeg

Salah satu kostum perayaan maulid dengan pawai budaya (Foto:NOJ/rufait)

Indonesia merupakan negara dengan jumlah umat Islam terbanyak di dunia, negara yang juga merayakan berbagai perayaan agama Islam. Salah satu perayaan yang diadakan dengan meriah adalah Maulid Nabi, yakni peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
 

Terkadang, peringatan Maulid Nabi mengalami akulturasi dengan adat dan budaya daerah setempat, seperti halnya peringatan Grebeg Mulud di Yogyakarta dan peringatan Sekaten di kota Solo.
 

Ada fenomena unik di suatu daerah Jawa Timur, perayaan Maulid Nabi yang semestinya berjalan khidmah dan penuh spiritualitas menjadi acara layaknya karnaval dengan banyak penari dengan iringan musik sound dj remix, bahkan perayaan tersebut mendapat teguran keras dari MUI setempat, lantas bagaimana hukum merayakan Maulid yang demikian tersebut?
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

Sejatinya, tidak ada aturan tertentu dalam perayaan Maulid Nabi, akan tetapi harus memperhatikan batasan syariat Islam, serta norma yang berlaku di masing-masing daerah. Peringatan Maulid Nabi sendiri merupakan momentum untuk menghidupkan kembali nilai-nilai keislaman, ajang untuk menimba ilmu, dan meneladani akhlak-akhlak Rasulullah.
 

Terlebih dahulu mari kita bahas terkait hukum mengadakan perayaan Maulid Nabi, Imam Al-Hafizh As-Suyuthi (849-911 H) dalam fatwanya menjelaskan,
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

فَقَدْ وَقَعَ السُّؤَالُ عَنْ عَمَلِ الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ فِيْ شَهْرِ رَبِيْعِ الْأَوَّلِ، مَا حُكْمُهُ مِنْ حَيْثُ الشَّرْعُ ؟  وَهَلْ هُوَ مَحْمُوْدٌ أَوْ مَذْمُوْمٌ ؟ وَهَلْ يُثَابُ فَاعِلُهُ أَوْ لَا ؟
 

Artinya: Sungguh telah ada pertanyaaan tentang peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awwal, Bagaimana hukumnya menurut syara’ ?dan apakah termasuk terpuji atau tercela? serta apakah orang yang memperingatinya mendapatkan pahala atau tidak?
 

ADVERTISEMENT BY OPTAD

اَلْجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْإِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
 

Jawabannya : Menurutku pada dasarnya amal Maulid itu adalah berkumpulnya orang-orang , pembacaan ayat yang mudah dari Al-Qur’an, riwayat hadits-hadits tentang permulaan perihal Nabi serta tanda-tanda yang datang mengiringi kelahiran Nabi. Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, selanjutnya mereka bubar setelah itu tanpa ada tambahan-tambahan lain, itu adalah termasuk Bid’ah Hasanah (bid’ah yang baik) yang diberi pahala bagi orang yang melakukannya. Karena adanya perkara yang ada didalamnya berupa pengagungan terhadap kedudukan Nabi dan menampakkan rasa gembira dan suka cita dengan kelahiran beliau yang mulia. (Sumber: Al-Haawi Lil Fataawi karya Al-Hafizh As-Suyuthi juz I halaman 271-272, Maktabah Syamilah).
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Senada dengan pendapat Imam Suyuti dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari (1287-1366 H) juga berpendapat:
 

اَلتَّنْبِيْهُ الْأَوَّلُ يُؤْخَذُ مِنْ كَلَامِ الْعُلَمَاءِ الْآتِيْ ذِكْرُهُ أَنَّ الْمَوْلِدَ الَّذِيْ يَسْتَحِبُّهُ الْأَئِمَّةُ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ وَرِوَايَةِ الْأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِيْ حَمْلِهِ وَمَوْلِدِهِ مِنَ الْإِرْهَاصَاتِ وَمَا بَعْدَهُ مِنْ سِيَرِهِ الْمُبَارَكَاتِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُمْ طَعَامٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ وَإِنْ زَادُوْا عَلَى ذَلِكَ ضَرْبَ الدُّفُوْفِ مَعَ مُرَاعَاةِ الْأَدَبِ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ
 

Hal penting pertama : Perkara yang diambil dari perkataan para ulama yang akan diterangkan mendatang bahwasanya Maulid Nabi yang disunnahkan oleh para Imam itu adalah berkumpulnya orang-orang, pembacaan ayat-ayat  Al-Qur’an, dan pembacaan riwayat hadits-hadits tentang permulaan kenabian serta kejadian-kejadian istimewa sebelum beliau diangkat menjadi Nabi yang terjadi saat kehamilannya dan hari lahirnya serta hal-hal yang terjadi sesudahnya yang merupakan sirah (sejarah) beliau yang penuh keberkahan. Kemudian disajikan beberapa hidangan untuk mereka. Mereka menyantapnya, dan selanjutnya mereka bubar. Jika mereka menambahkan atas perkara diatas dengan memukul rebana dengan menjaga adab, maka hal itu tidak apa-apa. : (At-Tanbihaatul Waajibaat Liman Yashna’ul Maulida Bil Munkaraat halaman 10-11).
 

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

Dari fatwa di atas, menunjukkan bahwa perayaan Maulid Nabi merupakan perkara yang baik, jika di dalamnya diisi dengan perkara-perkara baik seperti membaca ayat suci Al-Qur'an, menyajikan makanan, serta membahas beberapa hadits Nabi SAW, yang esensinya adalah mengagungkan dan meneladani Rasulullah SAW.
 

Dalam deskripsi kasus di atas, perayaan Maulid Nabi tidak menjadi sarana menghidupkan akhlak dan dakwah Nabi SAW, melainkan menjadi sarana menjauhkan umat dari ajaran dan akhlak Nabi Muhammad, dikarenakan adanya beberapa tindakan yang dianggap melanggar etika Islam.
 

Terdapat beberapa hal, yang dikritik bahkan dikencam oleh beberapa pihak terkait penyelenggaraan perayaan Maulid Nabi di salah satu daerah di Jatim tersebut. Memang, dalam perayaan tersebut terdapat banyak unsur yang melanggar syariat, seperti halnya ikhtilat yang diharamkan (bercampurnya laki-laki dan perempuan tanpa batas), khuyala' (berjalan dengan tujuan sombong dengan pakaian-pakain nyentrik), tabdzir (pemborosan), dan hal-hal lainnya yang dianggap melanggar etika Islam.
 

Dalam kitab Hasyiyah I'anatut Thalibin disebutkan bahwa ikhtilat itu merupakan perkara bid'ah yang buruk dan dapat mengarah kepada perbuatan haram:
 

ومنه - من البدع السيئة - الوقوف ليلة عرفة أو المشعر الحرام، والاجتماع ليالي الختوم آخر رمضان، ونصب المنابر والخطب عليها فيكره ما لم يكن فيه اختلاط الرجال بالنساء بأن تتضام أجسامهم فإنه حرام وفسق.
 

Artinya: Di antara bid'ah yang buruk adalah berkumpul pada malam Arafah atau al-Masy'ar al-Haram, serta berkumpul pada malam penutupan akhir Ramadhan, dan memasang mimbar serta berkhutbah di atasnya. Ini makruh selama tidak ada campur baur antara pria dan wanita yang menyebabkan tubuh mereka bersentuhan, karena hal itu haram dan merupakan tindakan fasik, (Hasyiyah I’anatut Thalibin : 1/313).
 

Unsur lain yang dikecam oleh banyak pihak yakni penampilan para penari yang tidak menutup aurat di depan khalayak umum, dalam kitab Asnal Mathalib dijelaskan bahwa berpakain sopan dan menutup aurat merupakan suatu adab dan juga haram membuka aurat di hadapan orang lain,
 

لَا يَخْفَى أَنَّ مَحَلَّ عَدِّ السِّتْرِ مِنَ الْآدَابِ إِذَا لَمْ يَكُنْ بِحَضْرَةِ مَنْ يَرَى عَوْرَتَهُ مِمَّنْ لَا يَحِلُّ لَهُ نَظَرُهَا أَمَّا بِحَضْرَتِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ وَكَشْفُ الْعَوْرَةِ بِحَضْرَتِهِ حَرَامٌ كَمَا صَرَّحَ بِهِ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ وَجَزَمَ بِهِ صَاحِبُ التَّوَسُّطِ وَالْخَادِمِ وَالْبَلْقِينِي فِي فَتَاوِيهِ.
 

Artinya: Jelas bahwa hukum menutup aurat termasuk adab ketika tidak ada orang yang dapat melihat aurat tersebut, yaitu mereka yang haram baginya melihatnya. Namun, jika ada orang yang dapat melihat aurat, maka menutup aurat menjadi wajib, dan membuka aurat di hadapan mereka adalah haram, sebagaimana dijelaskan dalam Syarh Muslim dan ditegaskan oleh para ulama seperti al-Tawassut, al-Khadim, dan al-Balqini dalam fatwa-fatwanya, (Asna al-Mathalib fi Syarh Raudh al-Thalib (1/45).
 

Senada dengan pendapat di atas, dalam hal memakai pakaian yang tidak sesuai dengan kebiasaan setempat ataupun norma yang berlaku dapat dihukumi makruh:
 

د - الْأَلْبِسَةُ الْمُخَالِفَةُ لِعَادَاتِ النَّاسِ: ١٦ - لُبْسُ الْأَلْبِسَةِ الَّتِي تُخَالِفُ عَادَاتِ النَّاسِ مَكْرُوهٌ لِمَا فِيهِ مِنْ شُهْرَةٍ، أَيْ مَا يُشْتَهَرُ بِهِ عِنْدَ النَّاسِ وَيُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، لِئَلَّا يَكُونَ ذَلِكَ سَبَبًا إِلَى حَمْلِهِمْ عَلَى غِيبَتِهِ، فَيُشَارِكُهُمْ فِي إِثْمِ الْغِيبَةِ.
 

Artinya: Memakai pakaian yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat adalah makruh, karena dapat menimbulkan ketenaran (menjadi pusat perhatian). Ini berarti pakaian yang membuat orang lain menunjuknya dan menjadi bahan pembicaraan, sehingga hal itu bisa menjadi sebab orang lain melakukan ghibah (menggunjing), yang mana dia turut berpartisipasi dalam dosa ghibah tersebut. (Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah (6/136)
 

Dalam perayaan Maulid Nabi tersebut juga terdapat unsur khuyala' (berjalan berlenggak-lenggok dengan kesombongan) ini merupakan suatu keharam juga perbuatan dosa,
 

وَمِنْ مَعَاصِي الرَّجُلِ (التَّبَخْتُرُ فِي الْمَشْيِ) كَالتَّمَايُلِ أَوْ تَحْرِيكِ الْيَدَيْنِ عَلَى غَيْرِ هَيْئَةٍ مُعْتَدِلَةٍ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ
 

Artinya: Termasuk dari dosa laki-laki adalah berjalan dengan sombong, seperti berlenggak-lenggok atau menggerakkan tangan secara berlebihan yang tidak sesuai dengan sikap yang wajar, atau hal-hal yang semacamnya, (Mirqat al-Su’ud al-Tasdiq, hal. 92).
 

Walhasil, perayaan Maulid Nabi pada dasarnya merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam, karena terdapat unsur memuliakan dan meneladani Rasulullah SAW. Tentu, jika perayaan ini dilakukan dengan tujuan yang benar tanpa melanggar syariat Islam maka akan mendapat pahala, akan tetapi jika perayaan ini dilakukan dengan tujuan yang tidak benar dan banyak terjadi keharaman maka perayaan yang demikian dapat dihukumi haram dan yang merayakan akan mendapat dosa.
 

Sebagai penutup, penulis mengutip fatwa dari Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari, bahwasannya perayaan Maulid Nabi yang di dalamnya terdapat unsur-unsur yang melanggar syariat Islam tidak diperbolehkan dan bahkan haram untuk menghadirinya.
 

Pasalnya, pada hakikatnya perayaan tersebut merusak sakralitas kemuliaan hari kelahiran Nabi dan sama sekali tidak memberikan hormat kepadanya,
 

فَاعْلَمْ أَنَّ عَمَلَ الْمَوْلِدِ اِذَا أَدَّى اِلىَ مَعْصِيَةٍ رَاجِحَةٍ مِثْلَ الْمُنْكَرَاتِ وَجَبَ تَرْكُهُ وَحَرُمَ فِعْلُهُ
 

Artinya: “Ketahuilah! Sungguh setiap perayaan maulid jika menjadi penyebab terjadinya maksiat yang nyata, seperti terjadinya kemungkaran, maka wajib untuk meninggalkannya dan haram mengadakannya.” (KH Hasyim Asy’ari, at-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, halaman 19).
 

عمل المولد مع فعل المنكرات سوء أدب ونوع استهانة وايذاء برسول الله، وأن الذين يعملونه وقعوا في ذنب عظيم قريب من الكفر ويخشى عليهم من سوء الخاتمة ولا ينجيهم منه الا بالتوبة أو عفو الله تعالى. فلو قصدوا بذلك الاستخفاف والاستهزاء برسول الله فلا شك في كفرهم
 

Artinya: Perayaan maulid nabi beserta kemungkaran di dalamnya merupakan bentuk tidak beradab, meremehkan dan menyakiti Rasulullah. Sungguh orang-orang yang mengadakannya akan terjerumus pada dosa besar dan dekat dengan kekafiran, serta dikhawatirkan mati dalam keadaan su’ul khatimah, dan tidak ada yang bisa menyelamatkan mereka dari (dosa tersebut) selain tobat atau ampunan dari Allah. Jika mengadakan acara tersebut bertujuan untuk menganggap remeh dan merendahkan Rasulullah, maka tidak perlu diragukan dalam kekafirannya. (KH Hasyim Asyi’ari, at-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ul Maulid bil Munkarat, halaman 45).
 

Maka dari itu, perayaan maulid Nabi Muhammad yang di dalamnya terdapat unsur keharaman atau bisa menimbulkan kemaksiatan seperti kasus diatas, meskipun itu akulturasi budaya setempat tetap harus ditinggalkan dan tidak boleh diadakan, karena hal itu pada hakikatnya merendahkan kemuliaan dan keagungan Rasulullah SAW. Wallahu a’lam.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND