• logo nu online jatim
Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network
Sabtu, 27 April 2024

Keislaman

Perayaan Maulid Nabi Bid’ah Hasanah atau Sebenarnya Bukanlah Bid’ah?

Perayaan Maulid Nabi Bid’ah Hasanah atau Sebenarnya Bukanlah Bid’ah?
Tampak masyarakat merayakan maulid dengan membaca shalawat (Foto:NOJ/karomi)
Tampak masyarakat merayakan maulid dengan membaca shalawat (Foto:NOJ/karomi)

Oleh: Iroda Auliya*


Berbagai literatur analisis perspektif Al-Qur’an dan hadits tentang perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW telah banayak dielaborasi oleh para penulis. Yakni memaparkan kebolehan juga termasuk sebagian dari amal shalih dan merupakan bid’ah hasanah dalam mengadakan sebuah perayaan (Muzakki, 2016 ). Berikut ini gambaran bid’ah dari lintas madzhab.


Dalam madzhab Hanafi, Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiyah Ibnu Abidin, juz 1, halaman: 376, menyatakan: “Bid’ah terkadang wajib hukumnya seperti membuat dalil kepada penduduk yang sesat, belajar ilmu nahwu untuk paham terhadap Al-Kitab (Al-Qur’an) dan as-sunnah. dan mandub hukumnya seperti memperbarui, contohnya membangun sekolah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada As-Shodru Al-Awwal (kepemimpinan Rasulullah). Makruh hukumnya seperti menghias-hias masjid. Dan mubah hukumnya seperti merasa puas ketika makan, minum dan menggunakan baju”.


Sedangkan madzhab Maliki: Ahmad bin Yahya al-Wansyarisi dalam Mi’yar Al-Mu’rib menyatakan: “Ulama’ madzhab Maliki walaupun mereka sepakat untuk mengingkari bid’ah secara umum, namun kenyataannya adalah bid’ah menurut mereka terbagi menjadi lima bagian. Yang benar soal bid’ah adalah apabila dihadapkan pada kaidah syariah maka menyesuaikan dengan hukum kaidah syariah tersebut.”


Adapun dalam Madzhab Syafi’i: Abu Nuaim meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i: “Bid’ah itu ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Apabila ia sesuai dengan sunnah Nabi maka tergolong kepada bid’ah terpuji, begitu pun dengan sebaliknya. Imam Syafi’I berargumen kepada perkataan Umar bin Khattab dalam pelaksanaan shalat tarawih di bulan Ramadhan : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. 


Terakhir, dalam Madzhab Hanbali: Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Jami’ Al-Ulum wal Hukm menyatakan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah perkara baru yang tidak ada dasar dalilnya dalam syariah. Adapun perkara yang memiliki dasar argumentasi syariah, maka itu bukanlah bid’ah dalam istilah syariah, walaupun bisa di sebut bid’ah secara bahasa.” A Fatih Syuhud, Ahlusunnah Wal Jamaah, halaman: 109. 


Dari pemaparan tersebut para ulama Ahlusunnah Wal Jama’ah mengerucutkan pembagian bid’ah menjadi dua; yakni bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Tidaklah semua yang benar terjadi saat ini berlainan dengan zaman Rasulullah SAW menjadikannya suatu bid’ah. Tak ayal bila pakaian, kendaraan dan makanan pun akan menjadi bid’ah.


Oleh karena itu, cara pandang filsafat tentang bid’ah  harus bercirikan radikal dan rasional. Radikal yang dimaksud adalah memberikan  ruang bebas untuk berfikir namun dengan batasan rasio (masuk akal). Namun, aliran yang mengklaim bid’ah perilaku kalangan NU tidak sepenuhnya salah. Mereka menyandarkan ucapan itu kepada hadits riwayah Tirmidzi bahwasanya Nabi Muhammad SAW bersabda:


ايّاكم و محدثات الأمور , فإن شر الأمور محدثتها , و إن كل محدثة بدعة , و إن كل بدعة ضلالة 


Artinya: Jauhkanlah dari memperbarui perkara. Karena seburuk-buruknya perkara adalah membuat hal baru (inovasi). Dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” 

 

Dalam hadits lain riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad bersabda:


من احدث في امرنا هذا ما ليس منه فهو رد 


Artinya: Barang siapa yang membuat hal baru dalam perkara yang bukan berasal dariku, maka ia tertolak.” 


Setidaknya hadits itulah yang menguatkan argumen anti-bid’ah bagi aliran Wahabi (A Fatih Syuhud, 2019).


Termasuk dari perayaan maulid Nabi ini juga tergolong kategori bid’ah menurut cara pandang mereka. Sebagaimana mereka menegaskan ucapannya kepada fatwa yang menyatakan bahwa ulama salaf tidak melakukan itu. Namun, sebagian yang lainnya mengkategorikan perayaan maulid ini sebagai bid’ah hasanah yang boleh untuk dilakukan. Mengutip keterangan bid’ah dari Al-Baihaqi dalam Manaqib As-Syafi’i, juz 1, halaman: 468; Abu Nuaim, dalam Hilyatul Auliya, juz 9, halaman: 113, Imam Nawawi dalam Tahdzibul Asma wal Lughat, halaman: 277.


Oleh karena itu, warga NU menyatakan bahwa perayaan maulid Nabi Muhammad SAW ini termasuk dalam kategori bid’ah hasanah atau boleh jadi perayaan ini sebenarnya bukanlah suatu bid’ah jika mengacu makna implisit hadits.


Esensi Implisit Hadits

Terdapat ungkapan hadits qauliyah yang diceritakan dari Abu Qatadah al-Ansori pada bab Puasa Sunnah di dalam kitab Bulugul Maram min Adillatil Ahkam karangan Al-Hafidz Ibn Hajar al-Asqalani;


عَنْ اَبِي قَتَادَةَ الأَنْصَارِى رَضِى الله عَنْهُ اَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْاِثْنَيْنِ, فَقَالَ : ذَلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ ,  وَبُعِثْتُ فِيْهِ, وَاَنْزَلَ عَلَىَّ فِيْهِ . رواه مسلم


Artinya: Diceritakan dari Abu Qatadah al-Ansori RA, sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya  tentang puasa hari Senin, maka Rasulullah menjawab: “Itu adalah hari kelahiranku dan pertama aku diutus dan pertama di turunkan wahyu kepadaku." HR Muslim, Bulughul Maram, halaman: 143.


Pada riwayat hadits tersebut, jika ditilik esensi secara implisit bahwa sebenarnya Nabi Muhammad SAW sudah merayakan hari kelahirannya dengan cara berpuasa atau beribadah secara samar tanpa sepengetahuan manusia.


Sebagai seorang utusan maka metode yang digunakan beliau  tidak lain adalah ranah Ibadah. Beda halnya dengan manusia biasa yang mengatas namakan sebagai umat beliau, berperan aktif untuk merayakan maulid Nabi dengan cara yang berbeda-beda di setiap tempat atau tradisi daerah masing-masing. Bentuk perayaan ini bukanlah bertujuan untuk membuat hal-hal baru (bid’ah) melainkan ekspresi cinta para umat kepada baginda Nabi. 


Historis Maulid Nabi

Meninjau dari sejarah pertama kali yang merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW adalah Al-Mudzaffar Abu Sa’id, seorang raja di daerah Irbil, Baghdad. Dia melakukan bersama masyarakat dengan bersama-sama berkumpul di suatu tempat sembari membaca ayat-ayat Al-Qur’an, membaca sejarah perjalanan dan perjuangan Nabi Muhammad SAW, melantunkan shalawat dan syair-syair (pujian) kepada Rasulullah, serta juga berisikan ceramah agama maupun mauidhah. (Al-Bakri bin Muhammad Syatho, I’anah at-Thalibin, juz 3, halaman: 363).


Sama halnya sebuah riwayat yang menjelaskan bahwa Abu Lahab paman Nabi yang kafir, tidak akan menerima siksa pada hari Senin. Hal itu dikarenakan inilah reward Allah kerna Abu Lahab sangat bersuka ria atas kelahiran keponakannya, yakni Nabi Muhammad SAW. Bahkan ia juga mengekspresikan rasa bahagianya kepada sang pemberi kabar, yakni budaknya dengan membebaskan tuntutan budak kepadanya. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, juz 11 halaman: 431)


Oleh karena itu, Allah memberikan limpahan rahmat-Nya kepada orang yang turut senang atas lahirnya Rasulullah. Bahkan orang kafir sekalipun seperti Abu Lahab. 


*Mahasantri Pondok Pesantren Ainul Hasan, Wonorejo, Maron dan Mahasiswi Program Studi Perbandingan, Fakultas Syariah Universitas Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo.


Keislaman Terbaru