Home Metropolis Malang Raya Madura Tapal Kuda Kediri Raya Matraman Pantura Khutbah Keislaman Tokoh Rehat Jujugan Nusiana Opini Pendidikan Pemerintahan Parlemen Pustaka Video Risalah Redaksi NU Online Network

Keislaman

Ibadah Khusus Rebo Wekasan, Bagaimana Hukumnya?

Rebo wekasan adalah rabu terakhir bulan Shofar (Foto:NOJ/albalad)

Rebo Wekasan merupakan salah satu nama hari yang dipercayai oleh sebagian masyarakat sebagai hari diturunkannya bala, musibah, penyakit. Hal ini merujuk pada kitab Kanzun Najah Was-Surur karya Abd Hamid Quds menjelaskan banyak para waliyullah yang mempunyai pengetahuan spiritual tinggi (kasyf) mengatakan bahwa pada setiap tahun, Allah menurunkan 320.000 macam bala bencana ke bumi dan semua itu pertama kali terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar atau popular dengan Rebo Wekasan.


Berkaitan dengan kepercayaan yang telah menjadi tradisi bahwa Rebo Wekasan adalah hari datangnya malapetaka di akhir bulan Safar, Sebagian masyarakat pun melakukan ritual Rebo Wekasan seperti shalat tolak bala’, berdoa dengan doa-doa khusus, minum air jimat dan bersedekah, silaturahim, berbuat baik kepada sesama dan sejenisnya.


Ritual tersebut tentu saja tidak ada tuntunannya dalam agama Islam, akan tetapi nilai yang terkandung dalam sebagian ritual masih memiliki sisi keislaman. Misalkan, shalat Rebo Wekasan dilakukan dengan niat shalat sunnah mutlak, bukan niat khusus shalat Rebo Wekasan. Sebab dalam salah satu hadits disebutkan:


عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم


Artinya: Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Safar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).


Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi SAW terhadap tradisi yang berkembang di masa jahiliyah. Ibnu Rajab menulis: Maksud hadits di atas, orang-orang jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Safar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut.


Dalam penanggalan Jawa, Rebo Wekasan disebut juga Rebo Pungkasan dari bulan Sapar, yang mana pada awalnya dilakukan sebab berkaitan dengan mitos pertemuan Sultan Agung dengan Nyai Roro Kidul. Tak ayal, di beberapa daerah mengadakan selametan, syukuran sekaligus doa bersama agar dijauhkan dari musibah.


Berbeda dalam literatur keislaman, tepatnya kitab Fathul Malik Al-Majid atau disebut dengan kitab Mujarrobat ad-Dairobi dan juga kitab Al-Jawahir Al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-‘Atthar (w. th 970 H), Hasyiyah as-Sittin, dan sebagainya, menyarankan umat Islam untuk shalat dan berdoa memohon agar dihindarkan dari bala’ hingg penyakit.


Tata-cara yang dianjurkan adalah shalat 4 rakaat; setiap satu rakaat membaca surat Al-Fatihah dan surat Al-Kautsar 17 kali, Al-Ikhlas 5 kali, Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian setelah salam membaca doa khusus yang dibaca sebanyak 3 kali. Waktunya dilakukan pada pagi hari (waktu dhuha).


Memang ada hadits daif yang menerangkan tentang rabu terakhir di setiap bulan, yaitu:


عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي


Artinya: Dari Ibn Abbas, Nabi SAW bersabda: Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus. (HR. Waki’ dalam Al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam At-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, Al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, halaman: 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, Al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, halaman: 23).


Selain dha’if, hadits ini juga tidak berkaitan khusus bulan Safar maupun persoalan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib) saja. Hadis ini secara implisit juga menegaskan bahwa bulan Safar sama seperti bulan-bulan lainnya. 


Tradisi Rebo Wekasan memang bukan bagian dari syariat Islam, bahkan tata caranya tidak disebutkan secara jelas dalam kitab hadis maupun kitab fikih. Akan tetapi beberapa amaliah ibadah sunnah serta anjuran berbuat baik di dalamnya terdapat nilai keislaman, seperti menganjurkan shalat sunnah dan doa, melakukan wirid dzikir, memperbanyak bersedekah, menghormati para wali.


Oleh karena itu, hukum ibadah di hari Rebo Wekasan sangat bergantung pada tujuan dan teknis pelaksanaan. Jika niat dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan syariat, maka hukumnya boleh. Tapi bila terjadi penyimpangan (baik dalam keyakinan maupun caranya), maka hukumnya haram.


Walhasil, bulan tidak memiliki kehendak sendiri, tidak mampu mengubah nasib makhluk lain. Semuanya berjalan sesuai kehendak Allah. Sudah seharusnya semua waktu, baik hari rabu di bulan lain maupun rabu akhir di bulan Safar diisi dengan beberapa kegiatan yang bersifat taqarrub kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama.

Ahmad Karomi
Editor: Syaifullah

Artikel Terkait