Opini

Harmoni Pancasila dan Ajaran Aswaja Perspektif Nahdlatul Ulama

Selasa, 3 Juni 2025 | 12:00 WIB

Harmoni Pancasila dan Ajaran Aswaja Perspektif Nahdlatul Ulama

Ilustrasi Pancasila. (Foto: pwnujatim.or.id)

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, sebuah tonggak penting dalam sejarah kebangsaan yang menjadi fondasi ideologis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hari ini bukan sekadar peringatan formal, melainkan momentum perenungan kolektif tentang makna kebangsaan, toleransi, dan keutuhan sosial. Pancasila sebagai dasar negara lahir dari pergulatan panjang para pendiri bangsa yang menimbang kompleksitas pluralitas Indonesia, baik dari segi agama, suku, maupun budaya.

 

Dalam sejarah kelahiran Pancasila, peran tokoh-tokoh Islam, termasuk dari kalangan ulama dan kiai Nahdlatul Ulama, tidak bisa disingkirkan begitu saja. Mereka tidak hanya ikut dalam forum resmi semacam BPUPKI dan PPKI, tetapi juga terlibat dalam lobi-lobi kebangsaan yang menghasilkan konsensus bersejarah. Pancasila bukanlah kompromi yang lemah, melainkan bentuk ijtihad kebangsaan yang agung dalam rangka menjaga keutuhan umat dan negara.

 

Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia telah menunjukkan loyalitas dan kesetiaan terhadap Pancasila sejak awal berdirinya negara ini. Sikap NU terhadap Pancasila tidak bersifat reaktif, tetapi berbasis pada pertimbangan fikih, kaidah ushuliyyah, dan prinsip maqashid syariah. Dalam konteks inilah, peringatan Hari Lahir Pancasila menjadi sangat relevan bagi warga NU untuk kembali meneguhkan komitmen kebangsaan yang telah diwariskan para muassis NU.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Pancasila sebagai Ijtihad dan Kesepakatan Nasional
Lahirnya Pancasila tidak bisa dilepaskan dari konteks historis sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam sidang tersebut, Ir Soekarno menyampaikan gagasan tentang lima sila yang dirumuskan sebagai dasar negara. Pidato monumental tersebut bukan hanya momen retoris, tetapi menjadi fondasi konseptual berdirinya Indonesia yang beragam, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.

 

Para tokoh Islam saat itu, termasuk KH Wahid Hasyim dari kalangan NU, melihat bahwa gagasan Pancasila memiliki semangat universal Islam yang selaras dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin. Walaupun sempat muncul wacana mengenai negara Islam, para ulama menyadari bahwa membangun negara dalam kerangka pluralisme menuntut kompromi bijak yang menjunjung tinggi persatuan.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Kesediaan untuk mengganti rumusan sila pertama dari “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah bentuk pengorbanan besar yang tidak lepas dari andil tokoh-tokoh NU. Keputusan tersebut bukan karena mengalah, tetapi karena memahami betul pentingnya ukhuwah wathaniyah sebagai pondasi kebangsaan.

 

Pancasila menjadi bentuk konsensus nasional (dar al-‘ahd) yang dalam literatur Islam dipandang sebagai perjanjian yang wajib ditepati. Kesepakatan ini bukan sekadar hasil politik, tetapi memiliki dimensi keagamaan dalam perspektif NU. Mematuhi perjanjian kebangsaan seperti ini termasuk bagian dari al-wafa bil 'uqud (menepati perjanjian) yang merupakan perintah syariat.

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 

Keselarasan Pancasila dengan Ajaran Aswaja
Dalam pandangan NU, tidak ada pertentangan antara Pancasila dan Islam. Setiap sila dalam Pancasila dapat dijelaskan dan diperkuat dengan prinsip-prinsip dalam ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah. Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, sejalan dengan tauhid dalam Islam, di mana keimanan kepada Allah menjadi pokok utama dalam kehidupan beragama.

 

Sila kedua tentang kemanusiaan yang adil dan beradab mencerminkan prinsip akhlak dalam Islam. Nabi Muhammad SAW diutus untuk menyempurnakan akhlak. Dalam kaidah fiqih pun ditegaskan bahwa tujuan syariat adalah menjaga jiwa dan martabat manusia. Oleh karena itu, memperjuangkan kemanusiaan berarti menjalankan salah satu maqashid syariah yang utama.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Persatuan Indonesia sebagai sila ketiga sangat erat dengan prinsip ta’awun (saling tolong-menolong) dan ittihad (persatuan) yang menjadi ruh dalam kehidupan berjamaah. NU memandang persatuan umat sebagai syarat utama tegaknya agama dan bangsa. Bahkan dalam sejarah panjangnya, NU selalu menjadi kekuatan pemersatu di tengah perbedaan pandangan politik maupun ideologi.

 

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan adalah wujud dari konsep syura dalam Islam. NU sejak lama menjalankan tradisi musyawarah dalam forum-forumnya, baik dalam organisasi maupun dalam kehidupan pesantren. Demokrasi yang dijalankan secara musyawarah adalah bentuk aplikasi nyata dari nilai-nilai Islam moderat.

 

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah cermin dari prinsip al-‘adalah, salah satu pilar utama dalam syariat Islam. Dalam banyak maqalah klasik, ditegaskan bahwa keadilan adalah sendi utama kekuasaan. Maka NU memandang perjuangan untuk keadilan sebagai bagian dari tanggung jawab keagamaan, tidak hanya politik atau sosial.

ADVERTISEMENT BY ANYMIND

 

Peran NU dalam Menjaga dan Merawat Pancasila
Muktamar ke-27 NU tahun 1984 di Situbondo menjadi momentum penting dalam sejarah relasi NU dan Pancasila. Dalam forum tersebut, NU secara resmi menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan menyatakannya sebagai dasar negara yang final. Keputusan ini lahir dari proses istikharah para ulama dan pertimbangan mendalam atas maslahat bangsa dan umat.

 

KH Ahmad Siddiq, Rais Aam PBNU saat itu, menjelaskan bahwa Pancasila bukanlah agama, tetapi juga bukan ideologi sekuler yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Pancasila adalah dasar negara yang dapat menjadi titik temu berbagai agama, budaya, dan golongan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

NU juga aktif menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam berbagai lembaga pendidikannya. Di pesantren-pesantren NU, cinta Tanah Air (hubbul wathan) diajarkan bukan hanya dalam bentuk hafalan, tetapi dalam sikap hidup sehari-hari. Santri dididik untuk berakhlak baik, menghormati simbol negara, dan menjaga kerukunan antar umat.

 

Melalui gerakan Islam Nusantara, NU memperkuat semangat berislam yang toleran, damai, dan nasionalis. Islam Nusantara bukanlah paham baru, tetapi reinterpretasi dari Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang berakar kuat di bumi Nusantara. Spirit Islam Nusantara sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang menolak ekstremisme dan menjunjung tinggi kemanusiaan.

 

Dalam konteks sosial politik, NU kerap tampil sebagai penengah di tengah konflik dan ketegangan antar kelompok. Ketika Pancasila digugat oleh kelompok radikal, NU menjadi garda terdepan dalam mempertahankan dasar negara. Para kiai NU menyadari bahwa jika Pancasila runtuh, maka keruntuhan Indonesia hanya tinggal menunggu waktu.

 

Penutup
Peringatan Hari Lahir Pancasila bagi NU bukan sekadar seremoni, melainkan muhasabah akan tanggung jawab kebangsaan. Di tengah maraknya ideologi transnasional dan gerakan yang ingin mengganti dasar negara, NU tetap kokoh pada prinsipnya: menjaga Indonesia adalah bagian dari ibadah.

 

NU bukan hanya menerima Pancasila, tetapi menjadikannya bagian dari perjuangan. Jiwa Pancasila hidup dalam khutbah-khutbah para kiai, dalam pendidikan pesantren, dan dalam gerakan sosial kemasyarakatan yang dijalankan NU di berbagai daerah. Keberpihakan pada yang lemah, memperjuangkan keadilan, dan menjaga kerukunan adalah pengejawantahan dari pengamalan Pancasila.

 

Pancasila dan NU adalah dua kutub yang saling menguatkan. Jika Pancasila adalah fondasi negara, maka NU adalah tiang penyangganya. Ketika NU mengajarkan cinta tanah air sebagai bagian dari iman, itu bukan sekadar slogan, tetapi amanah keagamaan yang telah diwariskan oleh para muassis seperti Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari, KH Wahid Hasyim, KH Abd Wahab Hasbullah, dan KH Ahmad Siddiq.

 

Kini, saat kita memperingati 1 Juni, mari meneguhkan kembali semangat juang untuk merawat Pancasila, memperkuat persatuan, dan melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa. Sebab seperti kata para ulama NU: "Mencintai tanah air adalah bagian dari iman, dan menjaga Pancasila adalah menjaga amanat ulama dan para syuhada bangsa."

ADVERTISEMENT BY ANYMIND